Dalam beberapa kasus yang
menjadi perhatian, publik seringkali menyaksikan perlakuan yang berbeda dilihat
dari kaca mata hati nurani. Pihak tertentu yang di awal berupaya membongkar
suatu masalah seringkali menjadi orang pertama pula yang harus terjerembab
karenanya. Penegakan hukum bagaikan pisau bermata dua. Ketika suatu masalah itu
diangkat ke permukaan dan menjadi konsumsi publik, pihak pengungkapnya harus
bersiap-siap menerima tusukan pertama.
Padahal keberadaan para
pembuka kasus atau pembongkar masalah seringkali menjadi pintu masuk ke perkara
yang sesungguhnya. Pengungkapan kasus tidak dapat dilakukan hanya melalui
mekanisme intersepsi (penyadapan) atau analisis terhadap masalah melainkan juga
melalui kerja-kerja sunyi para penyelidik/penyidik dalam mengupayakan
orang-orang yang bersedia memberi kesaksian.
Persoalan demikian, telah
menjadi perhatian para penegak hukum sedunia, sehingga kemudian muncul beberapa
istilah melalui berbagai aturan perundang-undangan untuk melindungi pihak-pihak
yang demikian. Tulisan ini mencoba untuk menelusuri istilah-istilah demikian,
termasuk upaya perlindungannya.
1.
WHISTLEBLOWER
Istilah whistleblower seringkali diterjemahkan
sebagai “peniup peluit”. Istilah ini muncul sebagaimana layaknya suatu
pertandingan olahraga yang selalu menghadirkan tiupan peluit dari wasit sebagai
pertanda ada sesuatu hal yang perlu mendapat perhatian. Dalam perkembangannya, whistleblower sering diartikan sebagai pelaku kriminal yang
membongkar kejahatan. Dalam konteks ini, whistleblower
meminjam istilah Prof. Indriyanto
Seno Adji adalah inner-circle criminal yang
dianggap memiliki daya potensial untuk membuka tabir kejahatan lebih
signifikan.
Secara yuridis, whistleblower sebagaimana PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi
suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu
tindak pidana korupsi dan bukan pelapor.
Tidak jelas sejak
kapan istilah whistleblower mulai
muncul, namun yang jelas, sebagaimana istilah “money laundering”/pencucian uang, istilah ini juga sangat lekat
dengan dunia kejahatan atau mafia. Begitu kuatnya persaudaraan sesama anggota
organisasi kejahatan mafia, organisasi ini sangat sulit untuk dibongkar kecuali
ada anggota yang berkhianat. Pelaku yang membelot dan kemudian mendapat
perlindungan penegak hukum ini kemudian dijuluki sebagai whistleblower (“peniup peluit”) atau pertanda yang mengagetkan
orang lain/publik dan “membangunkan” anggota organisasi mafia sekaligus memaksa
penegak hukum bergerak mengungkapnya.
Secara umum,
pemahaman publik tentang whistleblower terbagi
dua macam. Pemahaman pertama, whistleblower
adalah orang yang mengungkap suatu tindak kejahatan namun tidak terlibat di
dalamnya. Sedangkan pemahaman yang kedua memasukkan pengungkap kejahatan
sebagai whistleblower meskipun juga
terlibat di dalamnya.
Berdasarkan Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan
bagi Whistleblower dan Justice Collaborator, kedua istilah ini
mendapat pemisahan yang tegas. Pemahaman pertama, tetap disebut sebagai whistleblower,
sedangkan pemahaman yang
kedua dikategorikan sebagai Justice Collaborator. Menurut SEMA tersebut, whistleblower adalah seseorang yang mengetahui dan
melaporkan tindak pidana tertentu yang bukan pelaku tindak pidana itu. Apabila
pelapor (whistleblower ) dilaporkan balik oleh terlapor, maka perkara yang
dilaporkan pelapor didahulukan.
Perbedaan praktik
yang terjadi dalam memperlakukan whistleblower
ini sangat kental antara Indonesia dan negara-negara lain dalam sistem
Eropa Kontinental ataupun sistem Anglo Saxon. Kalau di Indonesia, perlindungan
yang terjadi sangat lemah dan bahkan sering berubah menjadi pelaku yang lebih
dahulu di proses. Ccontoh yang paling kental berkaitan dengan hal ini adalah
Vincentius Amin Sutanto (akuntan PT. Asian Agri yang mengetahui seluk beluk
penggelapan pajak di perusahannya) dan Agus Condro (Politisi DPR dalam kasus
cek pelawat). Ketika mereka berteriak membongkar upaya pelanggaran hukum di
tempatnya bekerja, tiba-tiba mereka dijadikan tersangka atas kasus yang mereka
laporkan. Di negara lain dalam sistem Eropa Kontinental ataupun sistem Anglo
Saxon, whistleblower mendapat
perlindungan yang sangat ketat, mulai dari perlindungan dari pengungkapan nama
dan identitas ke publik hingga perlindungan terhadap diri dan keluarganya dalam
menjalani kehidupan selanjutnya. Di negara-negara tersebut peran whistleblower sangat diutamakan untuk
dilindungi mengingat sulitnya mengungkap kejahatan terorganisasi.
2.
JUSTICE
COLLABORATOR
Pengertian Justice
Collaborator secara yuridis dapat
ditemukan pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011
tentang Perlakuan bagi Whistleblower
dan Justice Collaborator. Pada SEMA
tersebut, Justice Collaborator dimaknai
sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang
mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Dalam Surat
Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),
Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan
penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset
hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada beberapa
pedoman, yaitu :
a. Yang
bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana
dimaksud dalamSEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku
utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di
dalam proses peradilan.
b. Jaksa
penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah
memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik
dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara
efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar
dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana.
c. Atas
bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana
dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat
mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :
i.
Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus,
dan/atau
ii.
Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang
paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara
dimaksud
Dalam
pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.