Kamis, 24 Mei 2012

Kekerasan Negara dan Polisi Moral

Gambar : Rakyat Merdeka Online

Ribut-ribut kedatangan Lady Gaga ke Indonesia telah menguras energi bangsa ini. Masyarakat seakan terpecah pada kelompok “kami” dan “mereka” yang berdiri vis a vis secara diametral. Perdebatan yang seharusnya berada di jalur privat lalu bergeser memenuhi ruang-ruang publik sehingga memekakkan telinga warga yang tidak terkait dengan persoalan sesungguhnya.
Debat yang berlangsung selama ini lebih banyak berkutat pada kebebasan ekspresi versus nilai-nilai tradisional/religius. Perdebatan ini sudah tentu bagaikan jalan tak berujung karena standar posisi setiap pendapat berada pada posisi yang sejajar sehingga menutup setiap pertautan yang mungkin bisa dilakukan. Posisi yang sejajar itu berada pada ruang yang berbeda sehingga hampir mustahil dilakukan rekonsiliasi bahkan dengan iming-iming persatuan bangsa sekalipun.
Persoalan yang tidak kalah substansial berkaitan dengan kedatangan Lady Gaga adalah persoalan besar yang dihadapi bangsa ini. Persoalan besar itu adalah bagaimana kesiapan negara melakukan upaya perlindungan terhadap sebagian warga sambil berusaha meneguhkan diri agar negara tidak dikendalikan oleh sebagian warga yang lain.
Sejatinya negara ini seringkali menunjukkan gerak acak yang membingungkan. Semua warga masih ingat bagaimana negara berusaha mengukuhkan diri menjadi “polisi moral” yang mengintervensi ruang-ruang privat warga, bukan untuk alasan menjaga ketertiban melainkan mengatur apa yang harus dirasakan sekaligus menafikan suatu etika atau bahkan estetika. UU anti pornografi dan pornoaksi, kebebasan berekpresi melalui UU ITE adalah sebagian kehendak negara dalam memasung warganya. Bahkan dalam beberapa hal, negara menunjukkan bagaimana negara mempertontonkan diri sebagai pihak yang paham soal moral ketimbang warganya sendiri.
Di lain sisi, berlawanan dengan pihak yang paling paham soal moral, negara menunjukkan diri sebagai "aktor/pelaku kekerasan".  Kekerasan pasca pemberontakan PKI, Tanjung Priok, Tragedi 27 Juli, Tragedi Mei 1998, Kasus Mesuji, Cikeusik, Temanggung, Kejadian di Pelabuhan Bima adalah contoh bagaimana negara berusaha mengaplikasikan kekerasan pada warganya.
Haryatmoko dalam Kata Pengantar buku “kekerasan negara menular ke masyarakat” karya Rieke Dyah Pitaloka menuliskan bahwa kekerasan negara itu bisa diwujudkan melalui berbagai cara. Pertama, represi yang dilakukan langsung oleh aparat negara dengan berbagai sarana koersifnya. Kedua, melatih paramiliter menjadi kelompok setia kepada penguasa untuk melaksanakan tugas-tugas kotor (kriminal) dengan membungkam, mengintimidasi, memeras, meneror, menculik sampai membunuh. Ketiga, melatih para kriminal (preman) untuk melaksanakan proyek insidental seperti kerusuhan, penculikan atau pembunuhan. Untuk menghilangkan jejak, para preman itu akan dihabisi setelah tugas-tugas terlaksana. Keempat, menciptakan konflik horisontal antar kelompok masyarakat yang berbeda etnis/agama. Konflik horisontal membutuhkan kondisi matang, maka perlu rekayasa agar terjadi radikalisasi kelompok tertentu.
Dalam buku yang merupakan inti dari tesis Rieke Dyah Pitaloka atas dasar tulisan-tulisan Hannah Arendt diungkapkan benang merah yang menghubungkan kekerasan negara dengan tindak kekerasan yang dilakukan masyarakat. Tulisan itu menunjukkan bagaimana kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil berasal dari kedangkalan berpikir dan ketidakmampuan menilai secara kritis.  Yang menjadi “penyakit” utamanya adalah ketidakberpikiran. Tidak berpikir berbeda sama sekali dengan bodoh. Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh, berpikir secara sistemik (bukan sistematis).  Dan karena tak berpikir, ia seringkali tak sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu kejahatan brutal. Maka salah satu hal mendasar yang dibutuhkan untuk menjadi penjahat brutal adalah ketidakberpikiran. Kedua hal tersebut (kedangkalan berpikir dan ketidakmampuan menilai secara kritis) terjadi akibat masyarakat terkondisikan menganggap kejahatan sebagai hal yang biasa, yang oleh Arendt disebut sebagai banality of evil (banalitas kejahatan).
Konsep ini sejalan dengan teori Hegemoninya Antonio Gramsci yang menjelaskan bahwa bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa
Kalau Hegemoninya Gramsci cenderung bebas nilai dan mempersepsikan penguasaan nilai sebagai bagian dari “proyek” negara, banality of evil-nya Arendt lebih mengarah pada sisi negatif umat manusia untuk menganggap kejahatan sebagai bagian dari sistem negara dan jauh dari nilai-nilai “kekerasan”. Kedua teori ini dimungkinkan untuk dipergunakan pada saat bersamaan, menyesuaikan dengan eskalasi yang hendak dibangun
Gambar : News.Infogue
Kekerasan yang tersistematis mulai dari penguasaan basis-basis pemikiran hingga terstimulisasi pada tindakan kekerasan di lapangan menciptakan suatu skema kejahatan kekerasan yang sempurna. Menurut Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Postrealitas, pelaku “kejahatan yang sempurna” itu hanyalah negara. Sistem kejahatan yang sempurna menghilangkan barang bukti, membungkam saksi, menciptakan alibi, merekayasa motif, mencari kambing hitam, mereduksi pelaku, dan membangun kontra pencitraan. Kejahatan sempurna menciptakan kondisi ”minimalisme hukum” dan menghasilkan ”minimalitas kebenaran”. Kejahatan sempurna bekerja melalui ”pembunuhan tanda-tanda”, yaitu penghancuran tanda bukti (barang bukti, rekaman, dokumen, saksi, tempat perkara) dan kondisi psikis pelaku (hipnotis, pembungkaman, pembisuan).  
Sifat Paradoks negara yang disatu sisi bertindak sebagai “polisi moral” sedangkan di sisi lain bertindak sebagai pelaku kekerasan menegaskan kegamangan dalam menentukan sikap tegas posisi negara dalam setiap masalah. Negara cenderung bersifat reaktif memadamkan masalah berdasarkan kekuatan kelompok penekan (pressure group) yang berada di sekeliling masalah.
Dalam suatu negara demokrasi yang mapan, kekuatan kelompok penekan (pressure group) adalah prasyarat demokrasi yang memberikan kontribusi positif sebagai modal sosial . Modal sosial ini pada gilirannya mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas masyarakat. Robert Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu nilai mutual trust (kepercayaan)  antara anggota masyarakat  dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Modal sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama.
Di Indonesia, kekuatan kelompok penekan (pressure group) itu berwujud pada berbagai kelompok yang tersebar berdasarkan keyakinan agama, etnis latar belakang, ideologi ataupun kesamaan identitas lainnya. Multikultur yang menjadi ciri negara juga dengan mudah ditemukan pada kelompok-kelompok tersebut. Keragaman itu di satu sisi memperkaya khazanah bernegara meski di sisi lain juga sangat rentan dengan kekerasan dan pemaksaan.
Sebenarnya, tidak ada persoalan berkaitan dengan politik multikultur bangsa ini. Secara kultural, keragaman itu telah terbangun sejak negara ini didirikan. Pada tataran akar rumput, multikultural itu tidak pernah menjadi masalah. Ia baru menjadi masalah ketika dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang jauh dari kesan damai yang selama ini ada. Ketika kekuatan kelompok penekan dikerahkan untuk mematahkan dominasi negara dalam bidang hukum dan ketertiban (meski dilakukan atas nama kepentingan tertentu) maka negara sesungguhnya sedang mengalami penyakit yang akut, apalagi kalau kemudian negara takluk pada keinginan kelompok-kelompok itu.
Cermin kegamangan negara dapat dengan jelas dilihat pada rencana pelaksanaan konser Lady Gaga. Negara yang diwakili Polisi pada awalnya menutup peluang pelaksanaan konser di Indonesia. Entah disadari atau tidak, hal itu bersesuaian dengan tekanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Dengan dalih alasan keamanan, Polisi menolak mengeluarkan rekomendasi konser. Ini aneh, karena Polisi sebagai perwujudan negara seharusnya tidak boleh takut dengan persoalan ketidakamanan, bahkan bila perlu, maju ke depan menciptakan keamanan bagi seluruh warga. Konsep pendekatan ketidakamanan ini sesungguhnya lebih bermakna ketidakmauan ketimbang sekedar ketidakmampuan negara. Penolakan ini tentu saja mendapat tekanan dari kelompok-kelompok lain yang terus mengharapkan Polisi agar menggunakan alasan lain yang lebih rasional ketimbang sekedar “takut” terhadap ancaman. Polisi akhirnya gamang dan mengubah pandangan awal dengan janji akan menelaah ulang permohonan jaminan keamanan dari sponsor, bahkan bukan tidak mungkin menyetujuinya.
Pada titik ini, Polisi sedang menggunakan pendekatan Arendt untuk menutupi penolakan awal konser sekaligus menstimulasi benak warga bahwa negara sudah tepat dalam mengambil tindakan berkaitan dengan konser.
Para pengamat atau pemerhati hukum seharusnya tidak larut dengan situasi ini. Mari terus berpikir !!!

Jumat, 11 Mei 2012

Quo Vadis Penyiksaan oleh Penegak Hukum


Pada Januari 2012, organisasi Kemitraan yang bekerja sama dengan LBH dan Uni Eropa mengeluarkan hasil riset bertajuk “ Penyiksaan di Bumi Cenderawasih : Studi tentang Realitas dan Toleransi Penyiksaan di Propinsi Papua ”. Riset itu penting karena menggambarkan bagaimana perilaku penyiksaan yang masih kental dipraktikkan oleh aparat penegak hukum sekaligus mengukur tingkat toleransi masyarakat, korban, dan aparat penegak hukum terhadap kekerasan, yang meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual di fokuskan di Papua. 
Dari tabel Prevalensi Penyiksaan yang dimuat pada Hal. 56, terlihat bahwa keseluruhan responden mengakui adanya penyiksaan oleh Polisi pada saat penangkapan, 96 % responden membenarkan adanya penyiksaan pada tahap pemeriksaan, 74 % responden pada saat penahanan dan 15 % responden ketika proses penghukuman. Tangan “penyiksaan” Jaksa terlihat pada saat pemeriksaan dan penahanan yang masing-masing diakui oleh 4 % responden serta 15 % pada saat penghukuman. Petugas Rutan/Lapas juga memiliki andil melakukan penyiksaan yang dibenarkan oleh 22 % responden pada saat penahanan serta 70 % ketika masa penghukuman.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum belum beranjak dari mindset penyiksaan untuk mendapatkan alat-alat bukti yang sesungguhnya telah dilarang dalam KUHAP. Pelarangan itu terlihat secara tersurat pada Pasal 183 KUHAP : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dari rangkaian kalimat Pasal 183 KUHAP tersebut terdapat kata-kata “...alat bukti yang sah...”, yang tidak ditemukan penjelasan secara lebih lanjut. Namun demikian, secara logika kata-kata itu dapat dimaknai bahwa setiap perolehan, perlakuan maupun penggunaan alat bukti harus dilakukan dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Perolehan,  dapat menentukan sah tidaknya alat bukti berkaitan dengan cara, lokasi atau waktu pengambilan alat bukti yang bersih/tidak terkontaminasi ataupun dimanipulasi oleh pihak lain. Perlakuan, berkaitan dengan cara mengelola alat bukti, penyimpanan sejak alat bukti itu diambil hingga kemudian dipergunakan untuk memperkuat pembuktian. Sedangkan Penggunaan, alat bukti itu harus pula dilakukan sesuai dengan logika perundang-undangan dan tidak digunakan untuk tujuan-tujuan lain yang tidak jelas.
KUHAP memang tidak memiliki penjelasan yang tegas tentang apa yang dimaksud dengan “...alat bukti yang sah...”. Ini berbeda dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, pada Pasal 36 ayat (2) : “ Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum”. Serta ayat (3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
UU Mahkamah Konstitusi tersebut sejalan dengan sistem hukum common law yang memiliki asas “Exclusionary Rules” di dalam hukum pidana. Asas ini menentukan bahwa setiap bukti yang diperoleh apabila tidak sesuai dengan hukum atau bertentangan dengan hukum (illegal) harus dianggap tidak mempunyai kekuatan dalam pembuktian (unlawful gathering evidence atau onrechtmatigeverkrijgen bewijs). Meskipun dalam sistem hukum nasional asas “Exclusionary Rules” ini tidak dinyatakan secara tegas, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengakuinya sebagai sesuatu yang eksis melalui tulisannya “Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana” . Varia Peradilan No. 296 Juli 2010, “Dan kelalaian di dalam memperhatikan atau memegang asas “exclusionary rules” ini mengakibatkan dakwaan, tuntutan dan atau putusan menurut hukum tidak dapat diterima atau batal demi hukum”.
Dalam asas “exclusionary rules” terkandung doktrin “fruit of the poisoneous tree”. Doktrin ini kalau diartikan secara gramatikal berarti bahwa pohon yang beracun pasti pula mengandung buah yang beracun. Jika dibawah ke khazanah pembuktian, doktrin ini mengandung makna bahwa suatu proses pengambilan dan pengelolaan alat bukti yang menyalahi aturan yang berlaku, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan persidangan.
Doktrin “fruit of the poisoneous tree” sangat kuat dipegang dalam sistem common law seiring dengan kekuatan pembuktian physical evidence yang lebih “diutamakan” ketimbang testamentary evidence. Pihak yang berhak melakukan penilaian terhadap sah tidaknya alat bukti ketika diperoleh tentu saja adalah Hakim. Hal ini dituangkan dalam adagium yang sering diulang-ulang dalam sistem peradilan pidana sebagai “no evidence no case”.
Sebaliknya dalam sistem pembuktian di Indonesia, testamentary evidence jauh lebih diutamakan ketimbang physical evidence. Ini dapat dilihat dalam Pasal 184 KUHAP yang lebih mengedepankan keterangan saksi dan keterangan ahli ketimbang barang bukti yang kadangkala hanya dianggap sebagai petunjuk.
Kalau Doktrin “fruit of the poisoneous tree” dibawa ke dalam sistem pembuktian pidana Indonesia, maka setiap bentuk penyiksaan yang dilakukan sejak dari tahap penyidikan hingga berakhirnya proses pemeriksaan dapat dianggap sebagai bentuk tekanan yang secara langsung mempengaruhi hasil pemeriksaan (Berita Acara Pemeriksaan/berkas perkara), hasil penuntutan (surat dakwaan) ataupun hasil dari persidangan (putusan hakim). Ini sesuai dengan Pasal 117 (1) KUHAP : “keterangan tersangka dan/atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan/atau dalam bentuk apapun”.

Rabu, 09 Mei 2012

Kasus Afriyani : Penuntut Umum dan Penasihat Hukum sama-sama Tidak Tahu


Foto : DetikNews

Kasus Afriyani Susanti, pelaku yang menabrak sembilan pejalan kaki hingga tewas di seputaran Halte Tugu Tani Jakarta Pusat memasuki babak baru. Perkara tersebut akhirnya disidangkan di PN Jakarta Pusat dengan dakwaan pertama melakukan pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Pasal lain yang didakwakan adalah Pasal 311 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 310 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ada yang janggal dari penggunaan pasal-pasal tersebut terhadap kasus “kecelakaan” yang dilakukan oleh Afriyani. Dari sisi historis, penggunaan Dakwaan Pasal 338 untuk kasus demikian baru dilakukan sekali dalam sejarah hukum Indonesia, yaitu dalam Kasus Marojohan Silitonga alias Ramses Silitonga, pengemudi metro mini yang tercebur di Kali Sunter pada tahun 1994. Ramses akhirnya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas dasar Pasal 338 KUHP. Penetapan hukuman bagi Ramses ini kemudian dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Agung (MA).
Ketika perkara Afriyani berada pada tahap penyidikan, berbagai silang pendapat telah muncul berkaitan penggunaan Pasal 338 KUHP dalam berkas perkara. Pada saat itu, pembicaraan seluruhnya berkisar pada teori kesengajaan (dolus) dan perbandingannya dengan teori kelalaian (culpa). Para ahli terjebak pada pembahasan antara perbedaan yang sangat tipis antara dolus eventualis dan culpa lata. Pada titik ini pendukung penggunaan Pasal 338 KUHP mendapat angin dengan menyodorkan yurisprudensi kasus Ramses. Penyidik yang juga terpengaruh dengan perdebatan ini lalu memilih untuk menggunakan Pasal 338 KUHP sebagai pasal yang diancamkan sekaligus mengamini keinginan keluarga korban dan sebagian masyarakat yang menghendaki agar Afriyani dihukum seberat-beratnya.
Berkaitan dengan rencana pemidanaan ini, Penyidik Polisi menggunakan Pasal 338 KUHP karena ancamannya yang berat (15 tahun) ketimbang mengedepankan Pasal 311 ayat (5), UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang hanya 12 tahun. Sikap mengedepankan rencana pemidanaan sebenarnya tidak dapat dijadikan sebagai landasan menentukan pasal dalam berkas perkara. Penentuan pasal, murni harus didasarkan pada perbuatan materiil yang dilakukan pelaku dan bukan karena alasan-alasan lain di luar yuridis perkara. Kejadian seperti ini boleh jadi sering ditemui pada berbagai kasus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang lalu dipadankan dengan Pasal 335 KUHP hanya agar pelakunya dapat dilakukan penahanan. Sekali lagi, penentuan pasal yang disangkakan pada pelaku harus murni berdasarkan perbuatannya dan bukan faktor lain di luar itu.
Kembali ke Pasal 338 KUHP yang dikenakan pada Afriyani pada tahap penyidikan dan penuntutan, terdapat perbedaan yang sangat signifikan kalau hendak dibandingkan dengan Kasus Ramses. Ketika Kasus Ramses terjadi, Undang-Undang lalu Lintas yang berlaku adalah UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada UU No. 14 Tahun 1992, khususnya Bab XIII tentang Ketentuan Pidana dari Pasal 54 sampai Pasal 70 (sebanyak 17 Pasal), tidak ada satupun pasal yang mengatur tentang cara mengemudikan kendaraan bermotor hingga mengakibatkan orang lain luka berat atau meninggal dunia.
Sebaliknya pada UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan khususnya pada Bab XX tentang Ketentuan Pidana yang terentang dari Pasal 273 hingga Pasal 317 (sejumlah 45 pasal) dicantumkan dua pasal (Pasal 310 dan 311) yang mengatur tentang cara mengemudikan kendaraan bermotor hingga mengakibatkan orang lain luka berat atau meninggal dunia. Pada pasal 310, pembuat UU memberikan penekanan pada upaya mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. Ini menjawab tudingan bahwa pelaku tidak memiliki unsur kesengajaan dalam melakukan perbuatan (baik culpa levis atau culpa lata maupun culpa yang disadari ataupun tidak disadari). Demikian pula pada pasal 311, pembuat UU menggariskan klausul tentang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan atau berakibat mencelakakan nyawa atau barang. Artinya, menggunakan pertimbangan kasus Ramses dalam perkara Afriyani adalah sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.
Apa arti perbedaan ini ? Perbedaan ini mengandung makna berlakunya asas Systematische Specialiteit atau kekhususan yang sistematis, artinya ketentuan pidana yang bersifat khusus apabila pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus atau ia akan bersifat khusus dari khusus yang telah ada (Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, 2009, hal. 171).
Dalam perkara Afriyani, penyidik atau penuntut umum sejak awal telah dihadapkan pada pilihan untuk menggunakan Pasal-pasal dalam KUHP atau UU tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Perbuatan Afriyani jika dikaji lebih mendalam tercakupi oleh Pasal-pasal KUHP maupun oleh UU tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam kondisi demikian, Penyidik ataupun Penuntut Umum harus menentukan pilihan, mana yang lebih khusus dari kedua aturan itu. Oleh karena UU tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah aturan yang lebih khusus/spesifik berkaitan dengan perbuatan mengemudikan kendaraan bermotor, maka seharusnya, sejak awal UU inilah yang dipergunakan sebagai landasan berkas perkara untuk kemudian menjadi dasar dakwaan. Dengan kata lain, penggunaan pasal 338 KUHP dalam perkara Afriyani adalah hal yang terlalu berlebihan dan menyiratkan ketidakpahaman asas Systematische Specialiteit atau kekhususan yang sistematis.
Kelemahan dari pembuat UU adalah bahwa dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak dicantumkan klausul yang secara khusus mengatur tentang penempatan pasal-pasalnya sebagai aturan yang bersifat kekhususan yang sistematis, meskipun sebagai asas sesungguhnya tidaklah pula salah bila tidak dinyatakan secara tegas.
Kondisi ini berbeda dengan UU Tindak Pidana Korupsi. UU No. 31 tahun 1999 khususnya pada Pasal 14 menyebutkan bahwa : “setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.”  Klausul Pasal 14 inilah yang memfilter agar tidak semua perbuatan yang merugikan keuangan/perekonomian negara sebagai tindak pidana korupsi. Betapa banyak perbuatan pidana yang lebih tepat dan lebih khusus menggunakan UU Perbankan, Perpajakan, Kehutanan dll ketimbang memaksakan UU Tindak Pidana Korupsi.
Penggunaan asas Systematische Specialiteit atau kekhususan yang sistematis dalam perkara Afriyani juga berguna untuk menyaring apa yang disebut sebagai concursus idealis. Tidak dapat dibayangkan bagaimana kalau concursus idealis diterapkan dalam perkara ini, meskipun secara teori hal itu dimungkinkan. Concursus Idealis sebagaimana diatur Pasal 63 ayat (1) KUHP merupakan salah satu bentuk gabungan tindak pidana, yang terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan tetapi dengan bentuk satu perbuatan itu ia telah melanggar beberapa peraturan pidana.
Dalam konteks Afriyani, sesuai teori concursus idealis, perbuatannya telah melanggar Pasal 338 KUHP dan juga Pasal 311 ayat (5) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kalau kedua pasal yang sangat berbeda stratanya ini disandingkan dan didakwakan kepada Afriyani maka hukumannya akan menjadi sangat tidak manusiawi.