Selasa, 12 Juni 2012

Penguatan Kelembagaan dan Hukum menghadapi Konflik Etnis


“Mengurangi konflik harus dengan menguatkan kelembagaan dan hukum karena tanpa keduanya, warga akan kembali mengusung identitas dalam suatu kontestasi”


Kalimat dari Prof. Jacques Bertrand itu mengakhiri acara diskusi sekaligus bedah buku “Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia” yang diadakan di Gedung Widya Graha LIPI Jl. Gatot Subroto. Tidak ada gebyar berlebihan dalam diskusi itu, semua berjalan khusuk dan tenang menyiratkan keprihatinan peserta atas maraknya konflik etnis di Nusantara sejak akhir 1990-an.

Diskusi tertanggal 12 Juni 2012 itu berjalan menarik dengan penanggap DR. Muridan S. Widjojo (Peneliti LIPI) dan Sofyan Munawar Asgart (Organisasi DEMOS).

Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Jacques Bertrand sejak tahun 1996 ini pada dasarnya menceritakan bahwa kekerasan etnis pada akhir 1990-an bisa dijelaskan antara lain dengan menganalisis model kebangsaan Indonesia dan pelembagannya selama masa Orde Baru Presiden Soeharto. Akhir 1990-an merupakan suatu titik simpang kritis dalam sejarah pasca-kemerdekaan Indonesia, dimana transformasi kelembagaan telah membuka saluran-saluran guna merundingkan kembali unsur-unsur model kebangsaan; peran islam dalam lembaga-lembaga politik, arti penting relatif dari pemerintah pusat dan daerah, akses dan representasi kelompok-kelompok etnis dalam lembaga-lembaga negara, serta definisi dan makna “bangsa” Indonesia. Transformasi kelembagaan periode ini merupakan salah satu dari tiga titik simpang penting yang telah mendefinisikan kembali model kebangsaan dan memodifikasi keseimbangan hambatan dan peluang perundingan ulang mengenai hubungan diantara kelompok-kelompok etnis (hal. 5)

Ketiga titik simpang itu, menurut Prof. Jacques adalah : pertama, periode pembentuksn model kebangsaan Indonesia ketika konsep mengenai bangsa Indonesia mulai terbentuk dan dilembagakan dalam suatu negara kesatuan pada 1950; kedua, periode reformasi kelembagaan dimulai sekitar 1957, dengan dicampakkannya lembaga-lembaga demokrasi liberal dan diganti dengan sistem kekuasaan otoriter yang terpusat dan kuat. Pada titik persimpangan ini, yang berakhir pada 1968, Presiden Soekarno dan penerusnya Soeharto menegaskan kembali prinsip-prinsip model kebangsaan yang dibangun pada 1950 tetapi melembagakannya secara berbeda. Karena bukan merupakan hasil kesepakatan luas, model tersebut kian dipaksakan oleh negara dibawah kekuasaan Orde Baru Soeharto. Akibatnya terbentuklah ketegangan yang tak bisa dipertahankan dengan kelompok-kelompok tersingkir atau yang menolak syarat-syarat inklusinya. Ketegangan itu mengakibatkan kerusuhan etnis, dengan tanda-tanda perubahan kelembagaan yang kian meningkat ketika kekuasaan Soeharto sampai pada tahun-tahun terakhirnya. Titik simpang yang ketiga dimulai dengan mundurnya Soeharto pada Mei 1998. Periode ketidakstabilan ini memperburuk ketegangan-ketegangan yang telah menumpuk selama tiga puluh tahun sebelumnya dan mengakibatkan pecahnya sejumlah konflik etnik (hal. 7-8)

Buku ini sangat menarik karena secara nyata menyuguhkan konflik-konflik etnis yang terjadi seperti konflik di Kalimantan, Maluku, Poso, Papua, Timor-timur dan Aceh. Pengalaman penulis yang langsung berinteraksi dengan kalangan akar rumput di daerah-daerah konflik menambah kekayaan khazanah buku ini.

Tidak hanya piawai membongkar masalah dan penyebab lahirnya konflik etnis, Prof. Jacques juga mampu menawarkan solusi mengatasi maraknya konflik etnis di Indonesia. Solusi itu adalah dengan memberikan otonomi khusus, dengan kondisi :
Pertama, unit-unit federal atau otonomi akan bisa berjalan dengan baik ketika batas-batas teritorial mereka bersesuaian dengan kelompok yang relatif homogen. Kedua, suatu lingkungan politik demokratis lebih kondusif bagi pemindahan kekuasaan politik yang berhasil. Demokrasi yang terbangun dengan baik bisa dengan lebih baik menjamin bahwa perundingan mengenai perubahan kelembagaan dilaksanakan sepenuhnya dan bahwa proses hukum bisa diakses untuk menyelesaikan pertikaian. Ketiga, terdapat peluang yang lebih baik untuk menurunkan ketegangan etnis ketika pembagian kekuasaan atau pemindahan kekuasaan antara pusat dan berbagai unit-unitnya jelas. Keempat, sebahian pakar berpendapat bahwa desentralisasi keuangan mungkin sama pentingnya dengan pemindahan kekuasaan politik. Kekuasaan politik tanpa kendali atas sumber-sumber keuangan bisa tak berarti apa-apa (hal. 303-304)

Meski menawarkan otonomi sebagai solusi, Prof. Jacques juga menyadari bahwa otonomi merupakan kebijakan yang berhasil untuk mengelola hubungan antara pusat dan daerah-daerah tetapi tidak cukup untuk menghilangkan gerakan etnonasionalisis di Aceh (meski saat ini lumayan berhasil-Pen) dan Papua. Sementara kekuasaan politik dan keuangan yang lebih terdesentralisasi akan menjawab banyak tuntutan di beberapa daerah, ia juga bisa mencegah pembentukan identifikasi etnis lebih jauh melawan pusat. Akan tetapi dalam kasus-kasus yang sudah ada, langkah-langkah harus diambil untuk mengurangi ancaman etnonasionalitas. Otonomi khusus hanya mengatasi keluhan-keluhan yang berdasarkan pada sentralisasi kekuasaan politik dan keuangan, tetapi tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan terhadap pusat. Ia menawarkan sedikit jaminan bahwa pusat tidak akan memaksakan lebih banyak sentralisasi setelah ia mengatasi kelemahan-kelemahannya, ia tidak menjawab tuntutan-tuntutan untuk mengurangi penindasan, dan ia tidak memberikan keadilan bagi pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan di kedua daerah itu sebagai akibat kekuasaan orde baru (hal. 342)

Buku ini dikritik oleh para penanggap sebagai terlalu membuka ruang yang lebih longgar bagi penyebutan “konflik etnis”. Dalam buku ini, istilah itu mencakup berbagai konflik, termasuk konflik berlatar belakang agama, ras ataupun antar golongan. Selain itu, buku ini dianggap juga terlalu ambisius, menyederhanakan persoalan konflik di Indonesia kedalam suatu buku yang secara rril sesungguhnya dapat dipecah dalam dua atau tiga buku yang sama tebalnya. Selain itu, buku ini juga kurang mengeksplorasi penyebab lain dalam suatu konflik etnis seperti peran media, fundamentalisme pasar dan atau agama.

Terlepas dari berbagai kekurangan kecil diatas, buku ini telah menyuguhkan analisis yang cermat dan komprehensif karena berhasil mengurai benang kusut dimensi konflik dan refleksi kebangsaan para pihak secara simultan dalam dinamika historis yang terus berkembang.

Terima kasih Prof. Jacques Bertrand


Tidak ada komentar:

Posting Komentar