“Mengurangi konflik harus dengan
menguatkan kelembagaan dan hukum karena tanpa keduanya, warga akan kembali
mengusung identitas dalam suatu kontestasi”
Kalimat dari Prof. Jacques
Bertrand itu mengakhiri acara diskusi sekaligus bedah buku “Nasionalisme dan
Konflik Etnis di Indonesia” yang diadakan di Gedung Widya Graha LIPI Jl. Gatot
Subroto. Tidak ada gebyar berlebihan dalam diskusi itu, semua berjalan khusuk
dan tenang menyiratkan keprihatinan peserta atas maraknya konflik etnis di
Nusantara sejak akhir 1990-an.
Diskusi tertanggal 12 Juni 2012
itu berjalan menarik dengan penanggap DR. Muridan S. Widjojo (Peneliti LIPI)
dan Sofyan Munawar Asgart (Organisasi DEMOS).
Penelitian yang dilakukan oleh Prof.
Jacques Bertrand sejak tahun 1996 ini pada dasarnya menceritakan bahwa
kekerasan etnis pada akhir 1990-an bisa dijelaskan antara lain dengan
menganalisis model kebangsaan Indonesia dan pelembagannya selama masa Orde Baru
Presiden Soeharto. Akhir 1990-an merupakan suatu titik simpang kritis dalam
sejarah pasca-kemerdekaan Indonesia, dimana transformasi kelembagaan telah
membuka saluran-saluran guna merundingkan kembali unsur-unsur model kebangsaan;
peran islam dalam lembaga-lembaga politik, arti penting relatif dari pemerintah
pusat dan daerah, akses dan representasi kelompok-kelompok etnis dalam
lembaga-lembaga negara, serta definisi dan makna “bangsa” Indonesia.
Transformasi kelembagaan periode ini merupakan salah satu dari tiga titik
simpang penting yang telah mendefinisikan kembali model kebangsaan dan
memodifikasi keseimbangan hambatan dan peluang perundingan ulang mengenai
hubungan diantara kelompok-kelompok etnis (hal. 5)
Ketiga titik simpang itu, menurut
Prof. Jacques adalah : pertama,
periode pembentuksn model kebangsaan Indonesia ketika konsep mengenai bangsa
Indonesia mulai terbentuk dan dilembagakan dalam suatu negara kesatuan pada
1950; kedua, periode reformasi
kelembagaan dimulai sekitar 1957, dengan dicampakkannya lembaga-lembaga
demokrasi liberal dan diganti dengan sistem kekuasaan otoriter yang terpusat
dan kuat. Pada titik persimpangan ini, yang berakhir pada 1968, Presiden
Soekarno dan penerusnya Soeharto menegaskan kembali prinsip-prinsip model
kebangsaan yang dibangun pada 1950 tetapi melembagakannya secara berbeda.
Karena bukan merupakan hasil kesepakatan luas, model tersebut kian dipaksakan
oleh negara dibawah kekuasaan Orde Baru Soeharto. Akibatnya terbentuklah ketegangan
yang tak bisa dipertahankan dengan kelompok-kelompok tersingkir atau yang
menolak syarat-syarat inklusinya. Ketegangan itu mengakibatkan kerusuhan etnis,
dengan tanda-tanda perubahan kelembagaan yang kian meningkat ketika kekuasaan
Soeharto sampai pada tahun-tahun terakhirnya. Titik simpang yang ketiga dimulai dengan mundurnya Soeharto
pada Mei 1998. Periode ketidakstabilan ini memperburuk ketegangan-ketegangan
yang telah menumpuk selama tiga puluh tahun sebelumnya dan mengakibatkan
pecahnya sejumlah konflik etnik (hal. 7-8)
Buku ini sangat menarik karena secara
nyata menyuguhkan konflik-konflik etnis yang terjadi seperti konflik di
Kalimantan, Maluku, Poso, Papua, Timor-timur dan Aceh. Pengalaman penulis yang
langsung berinteraksi dengan kalangan akar rumput di daerah-daerah konflik
menambah kekayaan khazanah buku ini.
Tidak hanya piawai membongkar
masalah dan penyebab lahirnya konflik etnis, Prof. Jacques juga mampu menawarkan
solusi mengatasi maraknya konflik etnis di Indonesia. Solusi itu adalah dengan
memberikan otonomi khusus, dengan kondisi :
Pertama, unit-unit federal atau
otonomi akan bisa berjalan dengan baik ketika batas-batas teritorial mereka
bersesuaian dengan kelompok yang relatif homogen. Kedua, suatu lingkungan
politik demokratis lebih kondusif bagi pemindahan kekuasaan politik yang
berhasil. Demokrasi yang terbangun dengan baik bisa dengan lebih baik menjamin
bahwa perundingan mengenai perubahan kelembagaan dilaksanakan sepenuhnya dan
bahwa proses hukum bisa diakses untuk menyelesaikan pertikaian. Ketiga,
terdapat peluang yang lebih baik untuk menurunkan ketegangan etnis ketika
pembagian kekuasaan atau pemindahan kekuasaan antara pusat dan berbagai
unit-unitnya jelas. Keempat, sebahian pakar berpendapat bahwa desentralisasi
keuangan mungkin sama pentingnya dengan pemindahan kekuasaan politik. Kekuasaan
politik tanpa kendali atas sumber-sumber keuangan bisa tak berarti apa-apa
(hal. 303-304)
Meski menawarkan otonomi sebagai
solusi, Prof. Jacques juga menyadari bahwa otonomi merupakan kebijakan yang
berhasil untuk mengelola hubungan antara pusat dan daerah-daerah tetapi tidak
cukup untuk menghilangkan gerakan etnonasionalisis di Aceh (meski saat ini
lumayan berhasil-Pen) dan Papua. Sementara kekuasaan politik dan keuangan yang
lebih terdesentralisasi akan menjawab banyak tuntutan di beberapa daerah, ia
juga bisa mencegah pembentukan identifikasi etnis lebih jauh melawan pusat.
Akan tetapi dalam kasus-kasus yang sudah ada, langkah-langkah harus diambil
untuk mengurangi ancaman etnonasionalitas. Otonomi khusus hanya mengatasi
keluhan-keluhan yang berdasarkan pada sentralisasi kekuasaan politik dan
keuangan, tetapi tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan terhadap pusat. Ia
menawarkan sedikit jaminan bahwa pusat tidak akan memaksakan lebih banyak
sentralisasi setelah ia mengatasi kelemahan-kelemahannya, ia tidak menjawab
tuntutan-tuntutan untuk mengurangi penindasan, dan ia tidak memberikan keadilan
bagi pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan di kedua daerah itu sebagai
akibat kekuasaan orde baru (hal. 342)
Buku ini dikritik oleh para
penanggap sebagai terlalu membuka ruang yang lebih longgar bagi penyebutan “konflik
etnis”. Dalam buku ini, istilah itu mencakup berbagai konflik, termasuk konflik
berlatar belakang agama, ras ataupun antar golongan. Selain itu, buku ini
dianggap juga terlalu ambisius, menyederhanakan persoalan konflik di Indonesia
kedalam suatu buku yang secara rril sesungguhnya dapat dipecah dalam dua atau
tiga buku yang sama tebalnya. Selain itu, buku ini juga kurang mengeksplorasi
penyebab lain dalam suatu konflik etnis seperti peran media, fundamentalisme
pasar dan atau agama.
Terlepas dari berbagai kekurangan
kecil diatas, buku ini telah menyuguhkan analisis yang cermat dan komprehensif
karena berhasil mengurai benang kusut dimensi konflik dan refleksi kebangsaan
para pihak secara simultan dalam dinamika historis yang terus berkembang.
Terima kasih Prof. Jacques
Bertrand
Tidak ada komentar:
Posting Komentar