Tanpa ribut-ribut dan terkesan
sepi dari pemberitaan, para penyidik dan penuntut umum kembali diamputasi haknya
oleh Mahkamah Konstitusi. Kali ini yang diamputasi adalah hak untuk memintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi atas penetapan tidak sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud Pasal 83 ayat (2)
KUHAP.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal 19 April 2012,
yang selengkapnya dapat dibaca DISINI, mengandung beberapa
pertimbangan, diantaranya :
1. Menurut
Mahkamah, Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak mempersamakan kedudukan warga negara
di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang
adil. Dengan kata lain, Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut memperlakukan secara
berbeda antara tersangka/terdakwa di satu pihak dan penyidik serta penuntut
umum di pihak lain dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan
praperadilan. Ketentuan demikian tidak sesuai dengan filosofi diadakannya
lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia
2. Menurut
Mahkamah, untuk memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik serta
penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut terdapat dua alternatif
yaitu : (1) memberikan hak kepada tersangka/terdakwa
untuk mengajukan permohonan banding; atau (2) menghapuskan hak penyidik dan
penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding
3. Menurut Mahkamah,
oleh karena filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang
cepat, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan
penyidik serta penuntut umum maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
adalah pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dengan meniadakan hak banding kepada
kedua pihak dimaksud maka pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (2) KUHAP
beralasan menurut hukum;
Disadari atau tidak, konsep KUHAP yang banyak digunakan saat ini banyak menguntungkan penegak hukum. Ini sesuai dengan kebijakan politik hukum nasional ketika KUHAP dibuat pada tahun 1981. Sistem hukum dan sistem politik negara pada saat itu masih dalam masa transisi. Pada saat itu, negara benar-benar berkuasa dan mengejahwantakan kuasa itu melalui serangkaian kewenangan yang bersifat supra di atas warga. Dalam konteks ini, penegak hukum banyak diberikan hak untuk menjalankan tatanan hukum sekaligus membuka ruang bagi penciptaan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.
Salah satu hal menjadi contoh
berkaitan dengan hal itu adalah pemberian hak pada penyidik atau penuntut umum
untuk melakukan “banding” kepada Pengadilan Tinggi bilamana Hakim Pengadilan
Negeri memutus tidak sahnya penyidikan/penuntutan. Hak yang sama tidak
ditemukan pada tersangka, keluarga atau kuasanya.
Dari kaca mata sekarang, tentu
saja hal itu tidak berimbang, oleh karenanya Mahkamah Konstitusi dengan
putusannya telah menyeimbangkan pihak tersangka, keluarga atau kuasanya di satu
sisi dengan penyidik/penuntut umum di sisi lain. Implikasi putusan Mahkamah
Konstitusi ini adalah berkaitan dengan praperadilan yang langsung berkekuatan
hukum sesaat setelah diucapkan.
Bagi penegak hukum, putusan MK ini
adalah suatu katalisator untuk bekerja secara bertanggung jawab. Setiap
pelaksanaan tugas harus senantiasa didasarkan pada argumentasi, fakta dan
analisis yang kuat. Bukan saatnya lagi bekerja asal-asalan sekedar untuk
memenuhi kewajiban sambil berharap adanya esprit
de corps dari sesama penegak hukum. Ini sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Michel De
Montaigne, Penulis dan filsuf asal Prancis pada pertengahan tahun
1500-an, “Siapa yang menegakkan pendapat dengan perintah dan keributan, dia memiliki
argumentasi yang lemah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar