Minggu, 10 Juni 2012

Hak Penyidik/Penuntut Umum yang diamputasi MK


Tanpa ribut-ribut dan terkesan sepi dari pemberitaan, para penyidik dan penuntut umum kembali diamputasi haknya oleh Mahkamah Konstitusi. Kali ini yang diamputasi adalah hak  untuk memintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi atas penetapan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud Pasal 83 ayat (2) KUHAP.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal 19 April 2012, yang selengkapnya dapat dibaca DISINI, mengandung beberapa pertimbangan, diantaranya :

1.    Menurut Mahkamah, Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil. Dengan kata lain, Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut memperlakukan secara berbeda antara tersangka/terdakwa di satu pihak dan penyidik serta penuntut umum di pihak lain dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan praperadilan. Ketentuan demikian tidak sesuai dengan filosofi diadakannya lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia
2.    Menurut Mahkamah, untuk memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut terdapat dua alternatif yaitu :  (1) memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding; atau (2) menghapuskan hak penyidik dan penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding
3.   Menurut Mahkamah, oleh karena filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dengan meniadakan hak banding kepada kedua pihak dimaksud maka pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (2) KUHAP beralasan menurut hukum;

Disadari atau tidak, konsep KUHAP yang banyak digunakan saat ini banyak menguntungkan penegak hukum. Ini sesuai dengan kebijakan politik hukum nasional ketika KUHAP dibuat pada tahun 1981. Sistem hukum dan sistem politik negara pada saat itu masih dalam masa transisi. Pada saat itu, negara benar-benar berkuasa dan mengejahwantakan kuasa itu melalui serangkaian kewenangan yang bersifat supra di atas warga. Dalam konteks ini, penegak hukum banyak diberikan hak untuk menjalankan tatanan hukum sekaligus membuka ruang bagi penciptaan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

Salah satu hal menjadi contoh berkaitan dengan hal itu adalah pemberian hak pada penyidik atau penuntut umum untuk melakukan “banding” kepada Pengadilan Tinggi bilamana Hakim Pengadilan Negeri memutus tidak sahnya penyidikan/penuntutan. Hak yang sama tidak ditemukan pada tersangka, keluarga atau kuasanya.

Dari kaca mata sekarang, tentu saja hal itu tidak berimbang, oleh karenanya Mahkamah Konstitusi dengan putusannya telah menyeimbangkan pihak tersangka, keluarga atau kuasanya di satu sisi dengan penyidik/penuntut umum di sisi lain. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah berkaitan dengan praperadilan yang langsung berkekuatan hukum sesaat setelah diucapkan.

Bagi penegak hukum, putusan MK ini adalah suatu katalisator untuk bekerja secara bertanggung jawab. Setiap pelaksanaan tugas harus senantiasa didasarkan pada argumentasi, fakta dan analisis yang kuat. Bukan saatnya lagi bekerja asal-asalan sekedar untuk memenuhi kewajiban sambil berharap adanya esprit de corps dari sesama penegak hukum. Ini sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Michel De Montaigne, Penulis dan filsuf asal Prancis  pada pertengahan tahun 1500-an, “Siapa yang menegakkan pendapat dengan perintah dan keributan, dia memiliki argumentasi yang lemah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar