foto : inilah.com/Dewa Putu Sumerta |
Seorang
nenek renta bernama Loeana Kanginnadhi (77) yang kini sakit keras, lumpuh dan masih
di rawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar mencuri perhatian publik tanah air ketika hadir di persidangan
PN Denpasar, Selasa 26 Juni 2012 sambil tetap berada di atas kasur kereta
dorong. Penuntut Umum menolak bahwa pihaknya yang memaksakan Nenek Loeana hadir
di persidangan sambil menunjuk pihak Penasihat Hukum yang melakukannya.
Persidangan makin kompleks dengan hadirnya dua surat keterangan dokter yang
isinya bertolak belakang serta dalih Pengacara Penggugat (Loeana adalah tergugat
dalam kasus perdata) yang menuding adanya upaya memperlambat persidangan demi
tujuan merugikan kliennya.
Kehadiran Nenek Loeana di persidangan
pidana PN Denpasar menghangatkan kembali perdebatan di kalangan para ahli
maupun pemerhati hukum tentang wajib tidaknya kehadiran seorang terdakwa di
ruang persidangan. Aturan beracara pidana tidak menyebut secara tegas perihal
tersebut sehingga kemudian menimbulkan banyak penafsiran dengan alasan-alasan yuridis
yang logis.
Ketidakhadiran terdakwa dalam pemeriksaan
yang seringkali disebut sebagai in absensia atau in absentia. Istilah ini
berasal dari bahasa latin yang berarti “dengan ketidakhadiran”. Pertama kali
merasuk dalam sistem perundang-undangan negara melalui Penetapan Presiden No.
11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, khususnya Pasal 11 ayat
(1), “Apabila terdakwa setelah dua kali berturut-turut dipanggil secara sah
tidak hadir di sidang, maka pengadilan berwenang mengadilinya di luar
kehadirannya (in absensia)”. Secara terminologi, istilah ini diberi atribut
makna oleh Abdurrahman Saleh (2008) sebagai konsep di mana
terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan
yang sah, sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa
kehadiran terdakwa.
Menurut Dwiyanto Prihartono (2003) terdapat setidaknya tiga kecenderungan
pendapat tentang keabsahan sidang in absentia, yaitu :
1. Yang menganggap bahwa pemeriksaan
di Pengadilan memutlakkan hadirnya terdakwa. Pendapat ini berarti secara
ekstrim menolak diberlakukannya praksis sidang in absentia. Kelompok ini
mendasarkan pendapatnya pada pasal-pasal dalam KUHAP, diantaranya : Pasal 145
ayat (5), Pasal 154 ayat (5), Pasal 155 ayat (1), Pasal 196 ayat (1), Pasal 203
dan Pasal 205. Pemahaman sebagian ahli dan praktisi hukum atas pasal-pasal di
atas, menyimpulkan bahwa tidak mungkin sebuah perkara diperiksa dan diadili
tanpa kehadiran terdakwa. Bahkan para penyidik pun jelas akan mengalami
kesulitan yang substansial dalam menyusun berita acara pemeriksaan. Karena
bagaimana mungkin pemeriksaan dilakukan tanpa adanya obyek yang diperiksa.
2. Yang membolehkan praktik pengadilan
in absentia, bersandar pada : Pasal 213, Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHAP,
Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana
korupsi, Pasal 79 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 79 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009.
3. Kelompok ketiga memandang perbedaan pandangan dua kelompok sebelumnya
bukanlah untuk disikapi secara dikotomis-antagonistik. Bagi kalangan yang
moderat ini, dua dalil hukum yang dikemukakan sama-sama merupakan produk hukum
yang memiliki kekuatan hukum yang sama sehingga mempertemukan keduanya jauh
lebih baik dibanding berdebat soal kekuatan masing-masing dalil tersebut.
Pendapat Dwiyanto Prihartono tersebut tidak harus dimaknai
secara hitam putih karena persidangan in absensia adalah sesuatu yang dilakukan
dalam keadaan-keadaan tertentu. Keadaan-keadaan tertentu itu dapat dilihat pada
pasal-pasal yang sesungguhnya merupakan pengecualian dari asas bahwa terdakwa
mutlak hadir di persidangan.
Kelemahan utama sistem perundang-undangan yang berkaitan
dengan in absensia adalah tiadanya ketegasan dalam menyebut apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan. Yahya Harahap (2002) menyebutkan bahwa, “hukum tidak
membenarkan proses peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan
pemeriksaan acara singkat. Tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan,
pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan. Itu sebabnya Pasal 154 KUHAP
mengatur, bagaimana cara menghadirkan terdakwa dalam persidangan. Tata cara
tersebut memperlihatkan tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan
perkara tidak dapat dilakukan”.
Menariknya, Yahya Harahap menyebutkan pelarangan in absentia
hanya berdasarkan penafsiran bahwa KUHAP mengatur tata cara menghadirkan
terdakwa ke Pengadilan. Menjadi persoalan baru, kalau misalnya terdakwa yang tidak
dapat hadir ke persidangan itu dikarenakan alasan yang patut/masuk akal dari
sisi prosedur seperti sakit dalam jangka waktu lama, apakah dengan demikian
juga perkaranya harus berhenti ? Perkara HM Soeharto yang tidak dapat
dihadirkan ke pengadilan karena alasan yang masuk akal dapat menjadi pelajaran.
Perkara itu tidak dapat dilanjutkan proses persidangannya (bahkan kemudian
dihentikan) sehingga mengorbankan tujuan hukum yang paling asasi yaitu “keadilan”
sekaligus meneguhkan tujuan hukum lain yaitu “kepastian hukum”.
Persoalannya kemudian menjadi dilematis ketika perkara yang
ditunda/dihentikan itu merupakan perkara kunci yang berimplikasi pada gugatan
perdata atau pada kasus-kasus lain yang berkaitan dan sedang menunggu giliran
untuk dungkapkan. Apakah kasus-kasus tersebut juga dengan sendirinya harus ikut
ditunda/berhenti ? Bagaimana dengan pandangan dari sisi pihak korban ? Apakah
mereka akan sama tenangnya dengan keluarga terdakwa yang tersenyum karena
perkaranya ditunda/dihentikan ?
Nampaknya harus ada terobosan hukum dalam proses beracara pidana
umum. Satu hal yang juga tidak boleh luput dari perhatian adalah bahwa
memberikan keterangan di depan pengadilan bagi seorang terdakwa, selain mengandung
kewajiban juga terkandung hak. Dengan mengingkari kewajibannya memberikan
keterangan, seorang terdakwa layak diancam hukuman baru yang berkaitan dengan
tindakannya menunda atau menghalang-halangi persidangan. Sedangkan tindakannya
yang tidak mau hadir di persidangan, secara tidak langsung merupakan penegasan
bahwa ia (terdakwa) tidak bersedia menggunakan haknya sekaligus membenarkan
keterangan saksi-saksi yang hadir di persidangan.
Aturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun UU
pencucian uang serta UU Perikanan telah mengadopsi hal tersebut. Penyusun UU
berdalih bahwa ketiganya adalah kejahatan yang khusus sehingga diperlukan suatu
prosedur khusus pula dalam menanggulangi ketiga bentuk kejahatan tersebut. Salah
satu preseden penting berkaitan dengan hal itu adalah dalam kasus Hisyam Al
Waraq dan Rafat Ali Rivzi. Kedua terpidana Bank
Century itu adalah contoh bagaimana suatu sistem in absentia dijalankan, sejak
dari penyidikan, penuntutan dan persidangan. Sehingga bukan suatu hal yang
asing kalau prosedur demikian hendak pula diterapkan dalam perkara pidum.
Dengan melakukan terobosan hukum melakukan persidangan in
absentia, Nenek Loeana
tidak perlu hadir di persidangan atas alasan kesehatan sementara persidangan tetap
berlangsung dan tidak berpretensi merugikan pihak-pihak lainnya sebagaimana
yang ditudingkan Pengacara Penggugat.
Namun demikian, penegak hukum perlu
diberikan sedikit penekanan bahwa perlakuan in absentia tidak boleh dilakukan
secara sembarangan karena sangat rentan menimbulkan kesewenang-wenangan.