Setiap orang dewasa pernah melakukan perbuatan
melanggar hukum. Tidak ada pengecualian tentang hal ini. Baik pelanggaran hukum
yang berskala besar ataupun yang remeh temeh seperti tidak mengenakan helm,
berbohong, mengambil barang orang lain atau memfitnah. Tentu saja tidak setiap
pelanggaran itu harus berujung pada proses peradilan. Inilah yang dimaksud
dengan arti “sistem peradilan pidana” menurut Prof. Mardjono Reksodiputro. Menurut
Beliau, sistem peradilan pidana adalah upaya menanggulangi kejahatan dalam
batas-batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran
kecil tersebut masuk dalam kategori “dapat ditoleransi” sehingga seluruhnya
tidak perlu masuk ke dalam sistem peradilan pidana.
Seberapa banyak terjadi pelanggaran hukum dalam masyarakat ? Adakah manfaatnya, mengetahui jumlah pelanggaran kejahatan dalam masyarakat ? Bagaimana suatu wilayah hukum dikatakan marak kejahatan ? Untuk pertanyaan-pertanyaan seperti inilah pasca perang dunia kedua berkembang suatu disiplin ilmu yang bernama kriminologi atau lebih spesifik lagi, ilmu statistik kriminologi.
Seberapa banyak terjadi pelanggaran hukum dalam masyarakat ? Adakah manfaatnya, mengetahui jumlah pelanggaran kejahatan dalam masyarakat ? Bagaimana suatu wilayah hukum dikatakan marak kejahatan ? Untuk pertanyaan-pertanyaan seperti inilah pasca perang dunia kedua berkembang suatu disiplin ilmu yang bernama kriminologi atau lebih spesifik lagi, ilmu statistik kriminologi.
Secara etimologis, statistik kriminologi adalah
simbiosis antara ilmu statistik dan ilmu kriminal. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa, kalau ilmu statistik berkaitan dengan pengukuran dan pencatatan,
ilmu kriminologi berbicara tentang penyebab/motif dan pelaku kejahatan. Dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa ilmu statistik kriminal adalah ilmu yang
membahas pengukuran dan pencatatan keadaan kriminalitas/kejahatan dalam
masyarakat. Definisi ini sesungguhnya sangat sumir, meskipun sudah cukup
dijadikan sebagai patokan untuk menelisik lebih jauh/lebih dalam ilmu statistik
kriminal.
Sesuai dengan sifat ilmu ini yang hanya melakukan
perekaman data kejahatan dalam masyarakat harus pula dipahami bahwa pendekatan
kualitatif belaka memiliki sejumlah keterbatasan. Hal ini telah disadari sejak
awal oleh beberapa pakar kriminologi dunia seperti Edwin H. Sutherland dan Donald
R. Cressey yang menyebutkan ketidakmungkinan secara pasti menetapkan
kejahatan dalam suatu wilayah atau waktu tertentu.
Lalu, apakah dengan demikian ilmu ini dapat dikesampingkan begitu saja ? jawabnya tidak. Sajian data dalam statistik kriminal dapat dipergunakan sebagai batas minimal dalam mengukur tingkat kejahatan. Artinya, data statistik kriminal yang terrekam dapat dijadikan sebagai data awal atau data permulaan. Data yang sebenarnya tentu saja lebih dari itu. Basis perekaman dalam Statistik kriminal diperoleh dari pencatatan oleh petugas-petugas yang berwenang, baik karena mengetahui dengan sendirinya, melalui media ataupun karena pelaporan oleh masyarakat. Pencatatan ini hanya merupakan ukuran terhadap sebagian kejahatan yang terjadi dalam masyarakat mengingat banyaknya kejahatan/pelanggaran hukum yang tidak dilaporkan oleh masyarakat.
Menurut
Prof. Mardjono Reksodiputro, mekanisme
pencatatan dan pelaporan masyarakat ini sangat tergantung pada dua hal, yaitu :
(1) Sifat dari kejahatan yang bersangkutan. Tidak semua kejahatan dirasakan
sama beratnya oleh masyarakat. Tergantung kepada berat ringannya pengukuran
masyarakat terhadap sesuatu kejahatan. Dari situ dapat diramalkan kemauan atau
keseganan masyarakat melaporkan suatu kejahatan yang diketahuinya terjadi, dan
(2) kesungguhan daripada usaha menegakkan hukum. Pencatatan sangat bergantung
pada petugas-petugas pencatat, frekwensi operasi penindakan kejahatan ataupun
pemahaman petugas terhadap kejahatan yang terjadi.
Angka yang menunjukkan kesenjangan antara
kejahatan yang terjadi dalam masyarakat dan hasil perekaman data dalam
statistik kriminal kemudian disebut sebagai “the dark number” atau “hidden
criminality”. Jumlah ini sangat tidak pasti karena merupakan hasil pengurangan
dari data yang tidak diketahui pula.
Menurut penelitian Steven Box dalam Power, Crime and Mystification sebagaimana dikutip Rd. Muhammad Ikhsan, ada beberapa sebab sehingga korban tidak melaporkan peristiwa pidana yang dialaminya :
1) Korban
mengetahui bahwa ia menjadi korban kejahatan tetapi tidak bersedia melapor,
karena menganggap polisi tidak efisien atau tidak akan mempedulikan laporannya.
Selain itu mungkin, menganggap bahwa peristiwa itu merupakan urusan pribadi
karena si korban akan menyelesaikannya langsung di luar pengadilan dengan si
pelaku secara extra judicial. Ataupun juga si korban merasa malu dan tidak
bersedia menjadi saksi di hadapan polisi maupun di pengadilan, lantaran “aib”
dalam kejahatan kesusilaan atau mengalami penipuan karena kebodohannya. Kasus
seorang pria hidung belang yang menjadi korban penipuan oleh PSK di kompleks
pelacuran dapat menjadi contoh sebab tiadanya laporan tindak penipuan terakhir
ini.
2) korban
tidak mengetahui bahwa ia telah menjadi korban suatu peristiwa kejahatan. Di
sini sebagai contoh dalam kasus penipuan yang dilakukan dalam skenario
kejahatan yang rapi dan canggih.
3) korban
yang sifatnya abstrak dan karena itu sukar diidentifikasi secara khusus dan
jelas, misal pada masyarakat konsumen pembeli bahan pangan yang mengandung
formalin.
4) korban
mengalami kejahatan sedangkan ia sendiri terlibat dalam kejahatan itu. Dalam
sudut pandang viktimologi hal ini acap disebut dengan kejahatan tanpa korban.
Contohnya di sini adalah pengguna narkoba yang sakau dan pelaku homo
seksualitas.
5) secara
resmi tidak timbul korban, karena adanya kewenangan “diskresi kepolisian” untuk
menentukan peristiwa apa dan yang mana sajakah merupakan kejahatan. Satu dan
lain hal ini menyangkut kebijakan aplikatif penegakan hukum di lapangan.
Untuk menjembatani angka yang tercatat dalam perekaman data ataupun the dark number, ilmu statistik kriminal menyediakan angka yang disebut “rate” atau angka perimbangan. Angka perimbangan menyatakan besarnya frekwensi dari kejahatan yang dicatat tersebut dalam kaitannya dengan jumlah penduduk (general population). Angka-angka ini lalu dibandingkan dengan angka yang lain selama periode yang sama pada waktu sebelumnya atau bahkan dibandingkan dengan daerah lain. Hasil perbandingan kemudian dikenal sebagai “crude rates” (angka pertimbangan kasar). Agar statistik kriminal ini makin mendekati angka yang senyatanya maka crude rates ini harus diolah kembali dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan dan perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat, termasuk menurut jenis kelamin dan umur. Berdasar asumsi bahwa terdapat suatu hubungan yang tetap (costant) antara data yang tercatat dengan jumlah kejahatan yang sebenarnya, maka hasil “rate” ini lalu dijadikan acuan untuk menilai adanya peningkatan atau penurunan kuantitas maupun kualitas kejahatan dalam suatu wilayah.
Sistem hukum Amerika Serikat menyusun suatu
indeks kejahatan (index crime) yang terdiri dari 7 (tujuh) macam kejahatan
untuk mengukur fluktuasi marak atau tidaknya kejahatan keseluruhan (total crime) yang terjadi, yaitu :
pembunuhan kriminal (criminal homicide),
perkosaan (forcible rape), perampokan
(robbery), penganiayaan berat (aggavated assault), pencurian dengan
pembongkaran (burglary), pencurian
selain mobil diatas US $ 50 (larceny), pencurian mobil (auto theft). Amerika Serikat hanya menyusun
ketujuh jenis kejahatan tersebut sebagai sarana pengukuran karena menilai bahwa
kejahatan-kejahatan tersebut sangat dekat dengan keseharian warganya serta
sangat menusuk perasaan psikologis warga ketika mengalaminya.
Meskipun ada kelemahan dalam sistem perekaman data statistik kriminal, metode ini sampai saat ini masih dianggap sebagai yang terbaik dalam sistem peradilan pidana. Media perekaman data yang biasanya dilakukan oleh institusi-institusi peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) merupakan satu-satunya data yang dapat dijadikan panduan dalam hal : (1) menjelaskan bagaimana sebaran dan kualitas kejahatan yang terjadi dalam masyarakat pada suatu kurun waktu ataupun wilayah hukum tertentu, (2) dengan basis perekaman data yang jelas dapat diketahui bagaimana pola penganggaran, persiapan pebijakan, pengambilan tindakan ataupun evaluasi terhadap langkah penegakan hukum, (3) menjadi data bagi pihak lain untuk mengetahui bagaimana pola kesadaran hukum ataupun persepsi terhadap hukum dalam lingkungan masyarakat.
Penggunaan ilmu statistik kriminal dalam dunia
penegakan hukum Indonesia sampai saat ini masih sangat minim. Banyak yang belum
memahami fungsi ataupun kegunaannya. Padahal suatu sistem perekaman data
statistik kriminal yang baik dapat menjadi instrumen penting bagi penegak hukum
dalam menanggulangi kejahatan. Di kalangan penyidik ada adagium, bahwa seuatu
kejahatan (bagaimanapun rapinya) pastilah meninggalkan suatu jejak atau tanda
tangan. Menurut informasi dari beberapa kawan penyidik, penggunaan ilmu
statistik kriminal dalam beberapa kasus telah menghasilkan pengungkapan
kejahatan, mulai dari kejahatan jalanan seperti pencurian kendaraan hingga
kejahatan “white collar” berupa sindikat pemalsuan dokumen kredit fiktif.
Bahkan kasus besar (rahasia !!!) yang sekarang sedang ditangani oleh Mabes Polri dan Kejaksaan Agung atas dukungan PPATK juga dibongkar berdasarkan pemanfaatan
ilmu statistik kriminal.
Keberadaan statistik kriminal jika dianalogikan dengan komposisi pasukan perang pasukan Gengis Khan identik dengan pasukan ketiga atau penyapu, setelah pasukan pertama, pasukan pembuka (pasukan buser) dan pasukan kedua atau pasukan penghancur (pasukan penyidik). Semoga keberadaannya tidak terlupakan dan hanya menjadi sekedar pemanis cerita bagi dunia penegakan hukum kita.
Semangat !!!