Selasa, 29 November 2011

Surat Dakwaan Perkara Tindak Pidana Pemberantasan dan Pencucian Uang

Ketika seorang penuntut umum melimpahkan perkara (tentu saja bersama surat dakwaan) ke pengadilan, tentunya ia telah merasa yakin akan mampu mebuktikan dakwaannya di depan Hakim.
Keharusan meneliti berkas perkara dari penyidik dan kesanggupan menyusun surat dakwaan adalah dua tugas utama seorang penuntut umum. Adagium yang paling penting dalam suatu proses pembentukan jaksa sering dinyatakan dengan kalimat “Jaksa/penuntut umum adalah ahli-ahli pembuktian yang siap mempertanggungjawabkan penanganan perkara di depan Hakim, penasihat hukum dan juga publik. Keharusan untuk membuktikan suatu perkara di depan persidangan adalah tugas utama sorang penuntut umum. Untk itu, ia harus senantiasa berpegang pada alat-alat bukti sesuai dengan mekanisme pembuktian yang dianut oleh sistem peradilan pidana yaitu Negative wettelijke system. Bagi seorang penuntut umum, keberadaan alat-alat bukti bagaikan senjata dan peluru seorang prajurit ketika hendak memasuki arena pertempuran.
Meskipun Pasal 140 KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan berkas perkara telah lengkap, bagi kalangan penuntut umum, hal itu dimaknai telah tercukupinya semua alat-alat bukti yang selanjutnya akan dipaparkan di depan persidangan.
Alat-alat bukti itu sesuai dengan pasal 184 KUHAP secara berturut-turut adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat-surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Posisi atau urut-urutan tersebut melambangkan kekuatan pembuktian. Dalam hal terjadi pertentangan antara alat-alat bukti, maka alat bukti dengan urutan teratas dapat dimaknai lebih kuat ketimbang yang berada di bawahnya. Berdasarkan sistem pembuktian negatif (Negative wettelijke stelsel), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 183 KUHAP, penjatuhan pidana barulah dapat dilakukan apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya.
Apa pentingnya surat dakwaan ? menurut Osman Simanjuntak, surat dakwaan memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi bagi penuntut umum, fungsi bagi Hakim dan fungsi bagi terdakwa.. Bagi penuntut umum, surat dakwaan sebagai objek (materi) yang diperdebatkan di sidang pengadilan melalui pemeriksaan tentang sejauh mana kebenarannya. Bagi hakim,  surat dakwaan menjadi bahan pemeriksaan di persidangan yang akan memberikan corak dan warna terhadap putusannya. Sedangkan bagi terdakwa, surat dakwaan merupakan dasar dan bahan pembelaan terhadap dirinya dalam pemeriksaan di persidangan.
Sifat pentingnya penyiapan alat-alat bukti sebagai dasar dalam penyusunan surat dakwaan, dewasa ini telah direduksi oleh beberapa ketentuan dalam kaidah perundang-undangan pidana sendiri. Salah satunya adalah melalui sistem Pembalikan beban pembuktian ((Omkering van het Bewijslat atau Reversal Burden of Proof). Istilah ini sering disalahkaprahi oleh sebagian orang (bahkan oleh beberapa ahli hukum pidana sendiri) sebagai sistem pembuktian terbalik.
Dalam mekanisme pembuktian konvensional, kewajiban pembuktian berada di tangan penuntut umum sebagaimana prinsip siapa yang mendalilkan harus membuktikan. Dalam mekanisme Pembalikan beban pembuktian, maka terdakwa diberikan kewajiban untuk melakukan upaya pembuktian terhadap apa yang didakwakan oleh penuntut umum.  Prinsip ini sebenarnya tidak dapat dipergunakan secara serampangan karena sesungguhnya bertentangan prinsip “non self incrimination” atau dengan Pasal 189 ayat (3) KUHAP : “keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri”.
Menariknya, prinsip ini telah diadopsi oleh UU Tindak pidana korupsi melalui  Pasal 12 B ayat (1) berbunyi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; (b) yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.”
Demikian pula UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,  Pasal 77 : Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pasal 78 (1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Prinsip Pembalikan beban pembuktian dalam kaitannya dengan penyusunan surat dakwaan, menimbulkan persepsi negatif bagi sebagian kalangan penuntut umum. Persepsi itu adalah tidak menyempurnakan pembuktian pada tahap penyidikan atau penuntutan dengan alasan bahwa penyempurnaan akan di lakukan di depan persidangan ketika terdakwa memberikan keterangan tentang asal-usul harta kekayaannya. Hal ini sebenarnya adalah suatu blunder, karena bagaimanapun UU memberikan dasar bagi terdakwa untuk menjelaskan asal-usul harta kekayaannya, penuntut umum tetap harus menyempurnakan pembuktiannya untuk mengantisipasi bilamana terdakwa ternyata memiliki alasan-alasan yang logis.
Sejatinya, penerapan prinsip Pembalikan beban pembuktian masih merupakan pranata baru dalam sistem hukum acara pidana. Oleh karenanya menarik untuk dicermati doktrin atau pandangan ahli terkait hal ini. Ahli seperti Yenti Garnasih (Doktor pertama yang mengkaji masalah Pencucian uang di Indonesia) berpendapat bahwa dalam perkara tindak pidana pencucian uang, untuk memulai pemeriksaan tidak diperlukan bukti terlebih dahulu. Dalam kasus Bahasyim, berarti penyidik menduga atau curiga dugaan tindak pidana pencucian uang sebagaimana laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menindaklanjuti penyidikan penyidik, penuntut umum meyakini ada tindak pidana pencucian uang sehingga dituangkan dalam surat dakwaan.
Bila pendapat Dr. Yenti Garnasih ini dijadikan pegangan, secara tidak sadar sebenarnya para penuntut umum telah mengorbankan hal yang paling essensil dalam penyusunan surat dakwaan yaitu upaya menyempurnakan pembuktian sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Kalau logika ahli itu ditarik mundur ke belakang, maka penyidikan sesungguhnya telah bergeser dari domainnya sebagaimana dinyatakan dalam KUHAP sebagai “ upaya mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang TP yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Lebih jauh, pola piker demikian akan sangat berbahaya karena rentan penyalahgunaan wewenang oleh penyidik. Betapa tidak, penyidik dapat saja menangkap dan menahan orang tanpa alat-alat bukti yang cukup selanjutnya meneruskan kepada penuntut umum agar diajukan ke pengadilan. Penyidik dapat berdalih bahwa pengajuan/penyempurnaan alat-alat bukti akan dilakukan di depan hakim melalui mekanisme Pembalikan beban pembuktian.
Dari sisi hukum acara pidana formil, pelaksanaan prinsip Pembalikan beban pembuktian juga masih dapat diperdebatkan. Apakah prinsip tersebut akan dilaksanakan sebelum pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan penuntut umum, setelahnya atau diselang-seling ? Ataukah diajukan ketika pemeriksaan terdakwa dilakukan ? Kalau dilakukan ketika proses pemeriksaan terdakwa, apakah setelahnya penuntut umum masih diberikan hak untuk menghadirkan saksi guna mengcounter keterangan terdakwa ? Ataukah ada formalitas khusus yang diberikan kepada penuntut umum untuk melakukan tindakan lain ketika proses pemeriksaan sedang berlangsung ? (misalnya memeriksakan surat-surat yang berkaitan dengan pembuktian dari terdakwa pada Laboratorium forensik). Bagaimana pula dengan perbuatan pidana yang didakwakan ? Apakah uraian dakwaan dapat didasarkan pada kecurigaan atau ketidakmampuan penyidik/penuntut umum melakukan penelusuran harta kekayaan terdakwa ? Masihlah banyak persoalan yang kelak akan berkaitan dengan hukum acara pidana terhadap persoalan ini, dan tentu saja tidak boleh semata-mata hanya diserahkan pada kebijaksanaan hakim di ruangan sidang. Tetap harus ada petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis tentang pelaksanaan prinsip ini di tingkat lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar