Rabu, 23 November 2011

Isu seputar Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang

Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dalam Bab VIII bagian Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang pengadilan, khususnya pada bagian kedua mengenai Penyidikan, pasal 74 dan 75.
Pasal 74 selengkapnya berbunyi :
Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan,kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.
Penjelasan Pasal 74 ini adalah :
Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.
Sedangkan Pasal 75 adalah :
Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.
Pasal 75 ini tidak diberi penjelasan lagi oleh pembuat UU alias cukup jelas.
Penyidikan tindak pidana pencucian ini sekarang sedang ramai diperdebatkan dalam kaitannya dengan penyidikan tindak pidana asal.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa penyidikan tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan meskipun tindak pidana asalnya belum pernah dilakukan. Ini didasari oleh argumen bahwa banyak tindak pidana asal yang terjadi di waktu lampau, dilakukan di luar wilayah Indonesia ataupun alasan kurangnya alat bukti yang diperoleh.
Pendapat dan argumen ini disandarkan pada penjelasan umum UU No. 8 Tahun 2010, yang menyebutkan : Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi negara, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor.
Berbagai dalil tersebut sangat rasional dan cukup dapat dipahami. Sebagai contoh,  tindak pidana pencucian uang dapat terjadi melalui transfer dana ke Indonesia setelah pelaku tindak pidana asal (pedagang narkotik kolombia) melakukan bisnis narkotik di Kolombia. Oleh counter part mereka di Indonesia, uang tersebut dapat saja dipergunakan untuk bisnis property dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Tentu saja, penyidik tidak dapat menunggu terlaksananya penyidikan dalam kasus narkotik untuk dapat melakukan penyidikan TPPU. Kendala yurisdiksi dan asas nasionalitas dalam relasi hubungan internasional akan menjadi isu utama. Untuk maksud demikian maka penyidikan TPPU dilakukan atas dasar Pasal 69 UU PPTPPU : “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”. Oleh sebagian kalangan, bahkan oleh orang yang berada di Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) sebagaimana pernah terlibat diskusi, pasal ini dimaknai sesuai dengan contoh di atas. Artinya, penyidikan tindak pidana asal bukan prasyarat mutlak terselenggaranya penyidikan TPPU yang legal.
Pandangan ini juga memberi jawaban terkait dengan Pasal 75 UU PPTPPU, dalam hal penyidikan tindak pidana asal dan penyidikan TPPU tidak berjalan sesuai dengan rencana. Misalnya, setelah dilakukan penyidikan lanjutan ditemukan bahwa ternyata perkara tindak pidana asalnya sangat minim bukti. Dalam kondisi demikian, penyidikan TPPU dapat terus berlangsung hingga ke persidangan.
Pendapat lain yang tidak kalah kuatnya adalah pendapat yang menyatakan bahwa penyidikan TPPU mutlak baru dapat dilakukan setelah penyidikan tindak pidana asalnya berjalan. Pendapat ini besar kemungkinan didasari oleh penafsiran gramatikal Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU. Dalam penjelasan pasal tersebut, terdapat dua anak kalimat yang dihubungkan oleh kata penghubung “apabila”. Ini mengindikasikan bahwa anak kalimat pertama (Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang) baru dapat dilakukan setelah anak kalimat kedua (menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya) dilakukan. Artinya, anak kalimat pertama tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari anak kalimat kedua. Dengan demikian, penyidikan tindak pidana pencucian uang tidak boleh (mutlak) dilaksanakan apabila penyidikan tindak  pidana asalnya belum dilakukan. Lalu apa yang dapat dijadikan patokan bahwa penyidikan TPPU sudah dapat mulai dilakukan ? Jawabnya adalah ketika penyidik tindak pidana asal menemukan bukti permulaan yang cukup. Mengingat tahap ketika penyidik tindak pidana asal menemukan bukti permulaan yang cukup adalah tahapan yang sangat abstrak dan subyektif maka tahap itu dapat ditarik ketika Surat Perintah Penyidikan (tindak pidana asal) dibuat. Artinya, penyidikan TPPU tidak boleh mendahului tanggal Surat Perintah Penyidikan tindak pidana asal. Penentuan tapal batas ketika Sprindik/SP Sidik TP asal dibuat, dapat dibenarkan oleh KUHAP yang mendefinisikan suatu penyidikan sebagai “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang TP yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dengan keluarnya Sprindik/SP Sidik perkara TPPU setelah tanggal Sprindik/SP Sidik tindak pidana asal maka semua pihak dapat berbaik sangka bahwa dalam rentang waktu tersebut, penyidik telah bekerja keras dan ternyata menemukan ada bukti permulaan yang cukup kasus TPPU.
Tidak ada penjelasan yang tegas dalam UU tentang “bukti permulaan yang cukup”. Istilah ini dapat ditemukan pada Pasal 1 butir 14 KUHAP tentang tersangka dan istilah hampir sama dapat ditemukan pada Pasal 17 KUHAP tentang perintah penangkapan. Dalam bagian penjelasan Pasal 1 angka 17 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.  Yahya Harahap menjelaskan bahwa untuk memahami pasal-pasal tersebut, sebaiknya kata “permulaan” dihilangkan sehingga kalimat dalam Pasal 17 KUHAP berbunyi : diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Jika seperti ini, pengertian dan penerapannya lebih pasti. Dan kalau tidak salah tangkap, pengertian yang dirumuskan dalam pasal itu hampir sama dengan pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika, yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan, harus didasarkan atas affidavit and testimony, yakni harus didasarkan pada adanya bukti dan kesaksian. Menurut PAF Lamintang dan Theo Lamintang, kalimat “bukti permulaan yang cukup” dalam rumusan Pasal 17 KUHAP harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal berupa alat-alat bukti seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan
Terhadap Pasal 69 UU PPTPPU, pandangan kelompok ini menyatakan bahwa pengertian kata  “tidak wajib dibuktikan” adalah tidak harus ada putusan hakim tentang perkara dalam tindak pidana asal. Artinya, perkara tindak pidana asal ataupun perkara TPPU-nya dapat saling mendahului maju ke persidangan, atau bahkan dapat diajukan secara bersama-sama melalui satu surat dakwaan. Pendapat ini masih bersesuaian dengan premis awal bahwa penyidikan tindak pidana asal dan penyidikan TPPU adalah dua hal yang terpisah meskipun ada prasyarat yang mempersatukan, yaitu penyidikan TP asal harus lebih dahulu. Kalau kemudian timbul persoalan bahwa terbuka kemungkinan perkara TP asal melemah karena kurangnya alat bukti, tetap tidak menghalangi majunya perkara TPPU ke persidangan (dengan catatan, perkara TP asal belum di SP3-kan) maka dapat diantisipasi dengan melanjutkan perkara TPPU ke persidangan dan putusan hakim kemudian menjadi salah satu alat bukti dalam perkara TP asal. Ini serupa dengan analogi, seorang ibu yang melahirkan seorang anak. Setelah dewasa dan telah memiliki hidupnya sendiri, si anak kembali untuk membantu ibunya menjalani hidup hingga ke penghujung takdirnya.
Demikian pula dengan maksud Pasal 75 UU PPTPPU yang masih sejalan dengan pandangan kelompok ini. Pasal 75 menekankan adanya bukti permulaan yang cukup perkara TPPU dan TP asal. Dimanakah dapat diperoleh bukti permulaan yang cukup itu ? tentu saja pada proses penyidikan. Proses penyidikan tentu saja harus diawali oleh lahirnya Sprindik/SP Sidik. Tanpa Sprindik/SP Sidik TP asal maka penyidikan akan mengarah pada apa yang disebut di negara-negara common law sebagai “fruit of the poisoneous tree”. Doktrin ini mengajarkan bahwa melakukan sesuatu yang baik dengan cara yang salah tidak dapat diterima. Doktrin ini menjadi satu aturan yang disebut the exclutionary rule. Menurut Gordon van Kessel, “exclusionary rules are a police control mechanism rather than an integral part of the adversary system”. Dengan demikian, Pasal 75 ini sebenarnya bermaksud menggabungkan dua surat perintah penyidikan yang masing-masing berdasar pada bukti permulaan yang cukup. Untuk penggabungan itu, penyidik lalu memberitahukannya kepada PPATK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar