Penyidikan
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dalam Bab VIII bagian Penyidikan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang pengadilan, khususnya pada bagian kedua mengenai
Penyidikan, pasal 74 dan 75.
Pasal
74 selengkapnya berbunyi :
Penyidikan
tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai
dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan,kecuali
ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.
Penjelasan
Pasal 74 ini adalah :
Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah
pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan
penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat
Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan
Republik Indonesia.
Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak
pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya
tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal
sesuai kewenangannya.
Sedangkan
Pasal 75 adalah :
Dalam
hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana
Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak
pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan
memberitahukannya kepada PPATK.
Pasal
75 ini tidak diberi penjelasan lagi oleh pembuat UU alias cukup jelas.
Penyidikan
tindak pidana pencucian ini sekarang sedang ramai diperdebatkan dalam kaitannya
dengan penyidikan tindak pidana asal.
Sebagian
kalangan berpendapat bahwa penyidikan tindak pidana pencucian uang dapat
dilakukan meskipun tindak pidana asalnya belum pernah dilakukan. Ini didasari
oleh argumen bahwa banyak tindak pidana asal yang terjadi di waktu lampau,
dilakukan di luar wilayah Indonesia ataupun alasan kurangnya alat bukti yang
diperoleh.
Pendapat
dan argumen ini disandarkan pada penjelasan umum UU No. 8 Tahun 2010, yang
menyebutkan : Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakin
kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi negara, dan menggunakan modus yang
semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan
telah merambah ke berbagai sektor.
Berbagai dalil tersebut sangat rasional dan cukup dapat
dipahami. Sebagai contoh, tindak pidana
pencucian uang dapat terjadi melalui transfer dana ke Indonesia setelah pelaku
tindak pidana asal (pedagang narkotik kolombia) melakukan bisnis narkotik di
Kolombia. Oleh counter part mereka di Indonesia, uang tersebut dapat saja
dipergunakan untuk bisnis property dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Tentu
saja, penyidik tidak dapat menunggu terlaksananya penyidikan dalam kasus
narkotik untuk dapat melakukan penyidikan TPPU. Kendala yurisdiksi dan asas
nasionalitas dalam relasi hubungan internasional akan menjadi isu utama. Untuk maksud demikian maka penyidikan TPPU dilakukan
atas dasar Pasal 69 UU PPTPPU : “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang
tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”. Oleh sebagian
kalangan, bahkan oleh orang yang berada di Pusat Pelaporan dan Analisa
Transaksi Keuangan (PPATK) sebagaimana pernah terlibat diskusi, pasal ini
dimaknai sesuai dengan contoh di atas. Artinya, penyidikan tindak pidana asal
bukan prasyarat mutlak terselenggaranya penyidikan TPPU yang legal.
Pandangan ini juga memberi jawaban terkait dengan Pasal 75 UU
PPTPPU, dalam hal penyidikan tindak pidana asal dan penyidikan TPPU tidak
berjalan sesuai dengan rencana. Misalnya, setelah dilakukan penyidikan lanjutan
ditemukan bahwa ternyata perkara tindak pidana asalnya sangat minim bukti.
Dalam kondisi demikian, penyidikan TPPU dapat terus berlangsung hingga ke
persidangan.
Pendapat lain yang tidak kalah kuatnya adalah pendapat yang
menyatakan bahwa penyidikan TPPU mutlak baru dapat dilakukan setelah penyidikan
tindak pidana asalnya berjalan. Pendapat ini besar kemungkinan didasari oleh
penafsiran gramatikal Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU. Dalam penjelasan pasal
tersebut, terdapat dua anak kalimat yang dihubungkan oleh kata penghubung “apabila”.
Ini mengindikasikan bahwa anak kalimat pertama (Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana
Pencucian Uang) baru dapat dilakukan setelah anak kalimat kedua (menemukan bukti permulaan yang cukup
terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana
asal sesuai kewenangannya) dilakukan. Artinya, anak kalimat pertama tidak
boleh berdiri sendiri terlepas dari anak kalimat kedua. Dengan demikian,
penyidikan tindak pidana pencucian uang tidak boleh (mutlak) dilaksanakan
apabila penyidikan tindak pidana asalnya
belum dilakukan. Lalu apa yang dapat dijadikan patokan bahwa penyidikan TPPU sudah
dapat mulai dilakukan ? Jawabnya adalah ketika penyidik tindak pidana asal
menemukan bukti permulaan yang cukup. Mengingat tahap ketika penyidik tindak
pidana asal menemukan bukti permulaan yang cukup adalah tahapan yang sangat
abstrak dan subyektif maka tahap itu dapat ditarik ketika Surat Perintah
Penyidikan (tindak pidana asal) dibuat. Artinya, penyidikan TPPU tidak boleh
mendahului tanggal Surat Perintah Penyidikan tindak pidana asal. Penentuan
tapal batas ketika Sprindik/SP Sidik TP asal dibuat, dapat dibenarkan oleh KUHAP yang mendefinisikan suatu penyidikan sebagai “serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
TP yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dengan keluarnya Sprindik/SP
Sidik perkara TPPU setelah tanggal Sprindik/SP Sidik tindak pidana asal maka
semua pihak dapat berbaik sangka bahwa dalam rentang waktu tersebut, penyidik
telah bekerja keras dan ternyata menemukan ada bukti permulaan yang cukup kasus
TPPU.
Tidak
ada penjelasan yang tegas dalam UU tentang
“bukti permulaan yang cukup”. Istilah ini dapat ditemukan pada Pasal 1 butir 14 KUHAP tentang
tersangka dan istilah hampir
sama dapat ditemukan pada Pasal 17 KUHAP tentang perintah
penangkapan. Dalam
bagian penjelasan Pasal 1 angka 17 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak
pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.
Yahya Harahap menjelaskan bahwa untuk memahami pasal-pasal tersebut,
sebaiknya kata “permulaan” dihilangkan sehingga kalimat dalam Pasal 17 KUHAP
berbunyi : diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
Jika seperti ini, pengertian dan penerapannya lebih pasti. Dan kalau tidak salah
tangkap, pengertian yang dirumuskan dalam pasal itu hampir sama dengan
pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika, yang menegaskan bahwa
untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan, harus didasarkan atas affidavit and testimony, yakni harus
didasarkan pada adanya bukti dan kesaksian. Menurut PAF Lamintang dan
Theo Lamintang, kalimat “bukti permulaan yang cukup” dalam rumusan Pasal 17
KUHAP harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal berupa alat-alat bukti
seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin
bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya
terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah
terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan
Terhadap Pasal 69 UU PPTPPU, pandangan kelompok ini menyatakan
bahwa pengertian kata “tidak wajib
dibuktikan” adalah tidak harus ada putusan hakim tentang perkara dalam tindak
pidana asal. Artinya, perkara tindak pidana asal ataupun perkara
TPPU-nya dapat saling mendahului maju ke persidangan, atau bahkan dapat
diajukan secara bersama-sama melalui satu surat dakwaan. Pendapat ini masih
bersesuaian dengan premis awal bahwa penyidikan tindak pidana asal dan
penyidikan TPPU adalah dua hal yang terpisah meskipun ada prasyarat yang
mempersatukan, yaitu penyidikan TP asal harus lebih dahulu. Kalau kemudian
timbul persoalan bahwa terbuka kemungkinan perkara TP asal melemah karena
kurangnya alat bukti, tetap tidak menghalangi majunya perkara TPPU ke
persidangan (dengan catatan, perkara TP asal belum di SP3-kan) maka dapat
diantisipasi dengan melanjutkan perkara TPPU ke persidangan dan putusan hakim
kemudian menjadi salah satu alat bukti dalam perkara TP asal. Ini serupa dengan
analogi, seorang ibu yang melahirkan seorang anak. Setelah dewasa dan telah memiliki
hidupnya sendiri, si anak kembali untuk membantu ibunya menjalani hidup hingga
ke penghujung takdirnya.
Demikian pula dengan maksud Pasal 75 UU PPTPPU
yang masih sejalan dengan pandangan kelompok ini. Pasal 75 menekankan adanya
bukti permulaan yang cukup perkara TPPU dan TP asal. Dimanakah dapat diperoleh
bukti permulaan yang cukup itu ? tentu saja pada proses penyidikan. Proses penyidikan
tentu saja harus diawali oleh lahirnya Sprindik/SP Sidik. Tanpa Sprindik/SP Sidik TP asal maka
penyidikan akan mengarah pada apa yang disebut di negara-negara common law sebagai “fruit of the poisoneous tree”. Doktrin ini mengajarkan bahwa
melakukan sesuatu yang baik dengan cara yang salah tidak dapat diterima.
Doktrin ini menjadi satu aturan yang disebut the exclutionary rule.
Menurut Gordon van Kessel, “exclusionary
rules are a police control mechanism rather than an integral part of the
adversary system”. Dengan demikian, Pasal 75 ini sebenarnya
bermaksud menggabungkan dua surat perintah penyidikan yang masing-masing berdasar
pada bukti
permulaan yang cukup.
Untuk penggabungan itu, penyidik lalu memberitahukannya kepada PPATK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar