Ketika seorang penuntut umum melimpahkan perkara (tentu saja bersama
surat dakwaan) ke pengadilan, tentunya ia telah merasa yakin akan mampu
mebuktikan dakwaannya di depan Hakim.
Keharusan meneliti berkas
perkara dari penyidik dan kesanggupan menyusun surat dakwaan adalah dua tugas
utama seorang penuntut umum. Adagium yang paling penting dalam suatu proses
pembentukan jaksa sering dinyatakan dengan kalimat “Jaksa/penuntut umum adalah
ahli-ahli pembuktian yang siap mempertanggungjawabkan penanganan perkara di
depan Hakim, penasihat hukum dan juga publik. Keharusan untuk membuktikan suatu
perkara di depan persidangan adalah tugas utama sorang penuntut umum. Untk itu,
ia harus senantiasa berpegang pada alat-alat bukti sesuai dengan mekanisme
pembuktian yang dianut oleh sistem peradilan pidana yaitu Negative wettelijke
system. Bagi seorang penuntut umum, keberadaan alat-alat bukti bagaikan senjata
dan peluru seorang prajurit ketika hendak memasuki arena pertempuran.
Meskipun Pasal 140 KUHAP
tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan berkas perkara telah lengkap, bagi
kalangan penuntut umum, hal itu dimaknai telah tercukupinya semua alat-alat
bukti yang selanjutnya akan dipaparkan di depan persidangan.
Alat-alat bukti itu sesuai
dengan pasal 184 KUHAP secara berturut-turut adalah keterangan saksi,
keterangan ahli, surat-surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Posisi atau
urut-urutan tersebut melambangkan kekuatan pembuktian. Dalam hal terjadi
pertentangan antara alat-alat bukti, maka alat bukti dengan urutan teratas
dapat dimaknai lebih kuat ketimbang yang berada di bawahnya. Berdasarkan sistem pembuktian negatif (Negative wettelijke stelsel), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 183
KUHAP, penjatuhan pidana barulah dapat dilakukan apabila terdapat
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, Hakim memperoleh keyakinan bahwa
tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya.
Apa pentingnya surat dakwaan
? menurut Osman Simanjuntak, surat dakwaan memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi
bagi penuntut umum, fungsi bagi Hakim dan fungsi bagi terdakwa.. Bagi penuntut
umum, surat dakwaan sebagai objek (materi) yang diperdebatkan di sidang
pengadilan melalui pemeriksaan tentang sejauh mana kebenarannya. Bagi
hakim, surat dakwaan menjadi bahan
pemeriksaan di persidangan yang akan memberikan corak dan warna terhadap
putusannya. Sedangkan bagi terdakwa, surat dakwaan merupakan dasar dan bahan
pembelaan terhadap dirinya dalam pemeriksaan di persidangan.
Sifat pentingnya
penyiapan alat-alat bukti sebagai dasar dalam penyusunan surat dakwaan, dewasa
ini telah direduksi oleh beberapa ketentuan dalam kaidah perundang-undangan
pidana sendiri. Salah satunya adalah melalui sistem Pembalikan beban pembuktian
((Omkering van het Bewijslat atau Reversal
Burden of Proof). Istilah ini sering disalahkaprahi
oleh sebagian orang (bahkan oleh beberapa ahli hukum pidana sendiri) sebagai
sistem pembuktian terbalik.
Dalam mekanisme pembuktian konvensional,
kewajiban pembuktian berada di tangan penuntut umum sebagaimana prinsip siapa
yang mendalilkan harus membuktikan. Dalam mekanisme Pembalikan beban pembuktian,
maka terdakwa diberikan kewajiban untuk melakukan upaya pembuktian terhadap apa
yang didakwakan oleh penuntut umum.
Prinsip ini sebenarnya tidak dapat dipergunakan secara serampangan
karena sesungguhnya bertentangan prinsip “non
self incrimination” atau dengan Pasal 189 ayat (3) KUHAP : “keterangan
terdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri”.
Menariknya,
prinsip ini telah diadopsi oleh UU Tindak pidana korupsi melalui Pasal 12 B ayat (1) berbunyi: “Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; (b) yang
nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.”
Demikian pula UU
No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 77 :
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan
hasil tindak pidana. Pasal 78 (1) Dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar
membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau
terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2)
Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan
berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Prinsip Pembalikan beban pembuktian dalam
kaitannya dengan penyusunan surat dakwaan, menimbulkan persepsi negatif bagi
sebagian kalangan penuntut umum. Persepsi itu adalah tidak menyempurnakan
pembuktian pada tahap penyidikan atau penuntutan dengan alasan bahwa
penyempurnaan akan di lakukan di depan persidangan ketika terdakwa memberikan
keterangan tentang asal-usul harta kekayaannya. Hal ini sebenarnya adalah suatu blunder, karena bagaimanapun
UU memberikan dasar bagi terdakwa untuk menjelaskan asal-usul harta
kekayaannya, penuntut umum tetap harus menyempurnakan pembuktiannya untuk
mengantisipasi bilamana terdakwa ternyata memiliki alasan-alasan yang logis.
Sejatinya,
penerapan prinsip Pembalikan beban pembuktian masih
merupakan pranata baru dalam sistem hukum acara pidana. Oleh karenanya menarik
untuk dicermati doktrin atau pandangan ahli terkait hal ini. Ahli seperti Yenti
Garnasih (Doktor pertama yang mengkaji masalah Pencucian uang di Indonesia) berpendapat bahwa dalam perkara
tindak pidana pencucian uang, untuk memulai pemeriksaan tidak diperlukan bukti
terlebih dahulu. Dalam kasus Bahasyim, berarti penyidik menduga atau curiga
dugaan tindak pidana pencucian uang sebagaimana laporan hasil analisis Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menindaklanjuti penyidikan penyidik,
penuntut umum meyakini ada tindak pidana pencucian uang sehingga dituangkan
dalam surat dakwaan.
Bila pendapat Dr. Yenti Garnasih ini dijadikan
pegangan, secara tidak sadar sebenarnya para penuntut umum telah mengorbankan
hal yang paling essensil dalam penyusunan surat dakwaan yaitu upaya
menyempurnakan pembuktian sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Kalau
logika ahli itu ditarik mundur ke belakang, maka penyidikan sesungguhnya telah
bergeser dari domainnya sebagaimana dinyatakan dalam KUHAP sebagai “ upaya mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang TP yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya”. Lebih jauh, pola piker demikian akan sangat
berbahaya karena rentan penyalahgunaan wewenang oleh penyidik. Betapa tidak,
penyidik dapat saja menangkap dan menahan orang tanpa alat-alat bukti yang
cukup selanjutnya meneruskan kepada penuntut umum agar diajukan ke pengadilan.
Penyidik dapat berdalih bahwa pengajuan/penyempurnaan alat-alat bukti akan
dilakukan di depan hakim melalui mekanisme Pembalikan beban pembuktian.
Dari sisi
hukum acara pidana formil,
pelaksanaan prinsip Pembalikan beban pembuktian juga masih dapat diperdebatkan.
Apakah prinsip tersebut akan dilaksanakan sebelum pemeriksaan saksi-saksi yang
diajukan penuntut umum, setelahnya atau diselang-seling ? Ataukah diajukan
ketika pemeriksaan terdakwa dilakukan ? Kalau dilakukan ketika proses
pemeriksaan terdakwa, apakah setelahnya penuntut umum masih diberikan hak untuk
menghadirkan saksi guna mengcounter keterangan terdakwa ? Ataukah ada formalitas
khusus yang diberikan kepada penuntut umum untuk melakukan tindakan lain ketika
proses pemeriksaan sedang berlangsung ? (misalnya memeriksakan surat-surat yang
berkaitan dengan pembuktian dari terdakwa pada Laboratorium forensik). Bagaimana pula dengan
perbuatan pidana yang didakwakan ? Apakah uraian dakwaan dapat didasarkan pada
kecurigaan atau ketidakmampuan penyidik/penuntut umum melakukan penelusuran
harta kekayaan terdakwa ? Masihlah banyak persoalan yang kelak akan berkaitan
dengan hukum acara pidana
terhadap persoalan ini, dan tentu saja tidak boleh semata-mata hanya diserahkan
pada kebijaksanaan hakim di ruangan sidang. Tetap harus ada petunjuk pelaksanaan atau petunjuk
teknis tentang pelaksanaan prinsip ini di tingkat lapangan.