Minggu, 31 Januari 2016

Sesat pikir berpaling ke Undang-Undang ?



Tahukah anda pasca bom di jalan Thamrin, beberapa institusi terlibat ketegangan yang mengarah ke perang pernyataan secara terbuka ? Atau tahukah anda kalau banyak institusi yang teridentifikasi mengalami kegalauan dan kecemburuan antar institusi ? 


Semuanya bermula dari rencana pemerintah untuk melakukan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar lebih garang menghadapi para teroris yang piawai melihat celah aturan. Pemerintah beranggapan, revisi undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan membuat bangsa ini aman dan terlindungi dari ulah para teroris;

Badan Intelijen Negara (BIN) melalui Kepala BIN Sutiyoso lebih dulu meminta agar dalam revisi UU Terorisme, BIN diberi kewenangan menangkap dan menahan terduga teroris sebelum adanya aksi teror.  Gayung bersambut, permintaan Sutiyoso itu direspon oleh Kapolda Metro Jaya, Tito Karnavian dengan penolakan. Bahkan Kapolda Metro mengatakan Kalau dalam revisi UU Terorisme itu ada pendekatan militer dan intelijen yang berlebih dalam menangani terorisme, akan berpotensi memunculkan pelanggaran hak asasi manusia."ujarnya 

Apapun sikap para pejabat negara itu, tulisan ini tidaklah bermaksud mengelaborasi lebih jauh sisi materil revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tulisan ini hanya akan menyoroti kegandrungan kita yang senantiasa mencari cara penyelesaian suatu masalah pada pembuatan atau revisi undang-undang;

Pada setiap kejadian atau yang membawa implikasi pada ruang-ruang publik, masyarakat seringkali terbelah dalam proses pencarian penyelesaian.  Ada yang berupaya memaksimalkan situasi, aturan atau keadaan, ada pula yang terus berpikir untuk melipatgandakan kewenangan melalui revisi atau pembuatan peraturan baru;

Data menunjukkan bahwa pada Periode 1999-2004, Prolegnas menetapkan 300 RUU dengan capaian 175 UU (58%), Periode 2004-2009 Prolegnas menetapkan 284 RUU dengan capaian 193 UU (68%), Periode 2009-2014 Prolegnas menetapkan 247 RUU dengan capaian akhir sebanyak 126 UU (51%).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Sekretariat Kabinet  dari Tahun 1945-2012 tercatat telah dibentuk 1515 Undang-Undang. Dari 1515 sebanyak 484 UU dibentuk dalam kurun 1999-2012 (13 Tahun) yaitu rata-rata 37 UU per tahun, sementara jumlah UU yang dibentuk sejak tahun 1945-1998 (53 tahun) yaitu 1031 yang berarti rata-rata 19 UU per tahun.

Penelitian Dr. Bayu Dwi Anggono, Dosen Universitas Jember, sejak 1999-2012 terhadap 428 undang-undang atau berjumlah 200 apabila dikurangi undang-undang kategori daftar kumulatif terbuka, menghasilkan kesimpulan bahwa sebanyak 14 (empat belas) UU diindikasikan sebagai materi/hal yang seharusnya tidak perlu diatur dengan UU (kurang tepat diatur lewat wadah UU);

Revisi atau pembuatan peraturan baru telah menyebabkan bangsa ini terjebak pada apa yang disebut oleh Prof. Maria Farida Indrati sebagai hyperregulation (hiper regulasi). Hiper regulasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pembengkakan jumlah peraturan perundang-undangan karena adanya kecenderungan pembentuk undang-undang semakin boros dan terlalu membesar-besarkan persoalan;

Pola pikir untuk menyelesaikan beragam persoalan bangsa dengan berpaling pada pembentukan aturan/perundang-undangan adalah pola pikir yang sesat. Kompleksitas hidup yang selalu dibingkai dengan undang-undang secara rigid menciptakan hidup yang kaku. Demikian pula, setiap kreasi yang tidak diatur dalam aturan dapat dianggap sebagai pembangkangan terhadap aturan itu sendiri. Maka hidup kemudian menjadi hambar karena gerak setiap orang mudah diprediksi, dianalisa dan diintervensi.

Belum lagi kalau kita bicara tentang undang-undang yang memiliki sanksi pidana tidak peduli aturan itu sesungguhnya berkaitan dengan soal-soal administrasi, keperdataan ataupun keagaaman. Sanksi dianggap sebagai satu-satunya pilihan terbaik untuk melakukan rekayasa terhadap keadaan sosial masyarakat. Negara kemudian hadir dengan wajahnya yang bengis, seolah-olah siap menerkam anak-anaknya sendiri.

Mengapa tidak memaksimalkan aturan yang ada, mengapa tidak berpaling pada pengayaan kegiatan lapangan. Secara rasional, suatu tindakan akan dapat dibenarkan sepanjang bersesuaian dengan tata nilai yang hidup dalam masyarakat. Hindari keengganan melakukan tindakan atas dasar tidak ada aturan yang mengaturnya. Bukankah manusia dikaruniai logika dan metode berfikir yang dinamis dengan dilingkupi sistem hidup bermasyarakat ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar