Awalnya
adalah berita di sebuah situs on line, http://news.detik.com/berita/3086478/bnn-segera-izinkan-tni-tembak-bandar-narkoba.
Berita itu menyentak kesadaran publik. Bagi para pemerhati hukum atau penggiat
HAM, masih segar terbayang betapa hukum terpuruk ke titik nadir ketika
Pemerintah tiba-tiba melaksanakan pembasmian preman yang dikenal sebagai
operasi PETRUS (Penembak Misterius) pada medio 1980-an;
Dengan
tangan kekuasaan yang kuat, Presiden Soeharto waktu itu diduga kuat mengetahui (kalau
tidak bisa disebut dalangnya) operasi PETRUS. Sekelompok prajurit terlatih
mengambil peran penegak hukum untuk menentukan siapa yang terlibat sekaligus melakukan
eksekusi tembak mati dan meletakkan mayatnya di tempat-tempat publik;
Masyarakat
terperangah, sebagian bersyukur bahwa suasana ibukota yang semakin keras akan
kembali menunjukkan wajah lembutnya tanpa kehadiran preman/para gali. Sebagian
lagi meradang, tindakan ekstrajudicial itu mengoyak harmoni hukum sekaligus
merusak sistem peradilan pidana yang telah dibangun bertahun-tahun.
foto korban PETRUS, sumber : addgue.com |
Dunia
hukum juga ikut terbelah. Sebagian mengamini operasi PETRUS karena melihat
hukum tidak berdaya mengurangi kuantitas dan kualitas kejahatan. Usia republik
yang masih muda itu harus berpacu dengan mulai terbitnya kelompok-kelompok
kejahatan teroganisir. Kejahatan pada saat itu mulai menunjukkan perilaku
modern melalui pemimpin-pemimpin yang mengendalikan dunia kejahatan bagaikan
jejaring organisasi. Setiap khasanah kehidupan dimasukinya, bahkan termasuk institusi
penegak hukum. Seorang kawan senior dengan pangkat menengah di sebuah institusi
penegak hukum dengan “bangga” bercerita bahwa pada tahun-tahun itu, memegang
uang sampai Rp. 1 milyar adalah hal yang biasa. Negara seakan berada pada zaman
jahiliyah, apa-apa mudah bahkan nyawapun begitu mudahnya di lepaskan dari tubuh
yang disanggahnya;
Tapi
operasi ini selain menyisakan kegetiran pada keluarga korban, juga meninggalkan
kesedihan mendalam bagi aparat penegak hukum yang jujur dan setia dalam bertugas.
Urusan pengendalian kejahatan adalah urusan sistem peradilan pidana. Menurut Prof.
Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah upaya masyarakat untuk
mereduksi perkembangan kejahatan sampai pada batas-batas yang dapat ditoleransi
masyarakat. Oleh karenanya, ketika perkembangan kejahatan sudah sampai pada
batas “memuakkan” masyarakat, catur wangsa (atau sekarang menjadi panca wangsa)
penegakan hukum akan turun tangan mengendalikannya.
Pengendalian
itu adalah tugas penegak hukum. Ini erat kaitannya dengan Politik kriminal.
Menurut Barda Nawawi Arif, politik kriminal senantiasa terrentang antara upaya
perlindungan dan menyejahterakan masyarakat. Titik keseimbangan antara kedua
hal tersebut menentukan pola perencanaan, aplikasi dan evaluasi kebijakan
pemerintah.
Pada
titik keseimbangan itulah aparat penegak hukum memposisikan diri. Pengendalian
kejahatan melalui tindakan ekstrajudicial mendorong bandul pendulumnya ke arah
perlindungan dan menjauh dari kesejahteraan. Dunia ekonomi menjadi horor karena
kejahatan didefinisikan secara subyektif dan jauh dari keadilan. Setiap orang
dapat mempersepsikan kejahatan sesuai dengan keinginannya masing-masing.
Sialnya, orang yang memegang timbangan nilai tersebut adalah orang yang tidak
mengerti keadilan dan lekat dengan kekerasan sehingga jalur kekerasan itu pula
yang dipilihnya menjadi sarana eksekusi;
Saat
ini dunia hukum telah berjarak sekitar 30 tahun dengan operasi PETRUS. Sebagian
kalangan mungkin telah banyak yang melupakan kejadian tersebut sehingga
tidakmengherankan kalau kemudian operasi-operasi extrajudicial seperti itu
hendak dihidupkan kembali. Banyak pihak yang bertepuk tangan dengan hadirnya
operasi itu tanpa menyadari bahwa timbangan baik buruk itu dapat memposisikan
diri mereka sendiri dalam timbangan buruk;
Benar
dan salah harus ditelorkan melalui lembaga peradilan. Debat tentang nilai suatu
perbuatan harus dilakukan dalam suatu persidangan yang adil. Itulah pilar
demokrasi. Siapapun yang menghendaki agar debat tentang nilai harus diserahkan
pada individu-individu yang jauh dari nuansa keadilan, harus menjadi musuh
bersama. Bukan hanya musuh bagi kalangan dunia hukum tapi juga seluruh
masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar