Senin, 25 Januari 2016

Operasi PETRUS dihidupkan kembali ?



Awalnya adalah berita di sebuah situs on line, http://news.detik.com/berita/3086478/bnn-segera-izinkan-tni-tembak-bandar-narkoba. Berita itu menyentak kesadaran publik. Bagi para pemerhati hukum atau penggiat HAM, masih segar terbayang betapa hukum terpuruk ke titik nadir ketika Pemerintah tiba-tiba melaksanakan pembasmian preman yang dikenal sebagai operasi PETRUS (Penembak Misterius) pada medio 1980-an;

Dengan tangan kekuasaan yang kuat, Presiden Soeharto waktu itu diduga kuat mengetahui (kalau tidak bisa disebut dalangnya) operasi PETRUS. Sekelompok prajurit terlatih mengambil peran penegak hukum untuk menentukan siapa yang terlibat sekaligus melakukan eksekusi tembak mati dan meletakkan mayatnya di tempat-tempat publik;
Masyarakat terperangah, sebagian bersyukur bahwa suasana ibukota yang semakin keras akan kembali menunjukkan wajah lembutnya tanpa kehadiran preman/para gali. Sebagian lagi meradang, tindakan ekstrajudicial itu mengoyak harmoni hukum sekaligus merusak sistem peradilan pidana yang telah dibangun bertahun-tahun.

foto korban PETRUS, sumber : addgue.com
Dunia hukum juga ikut terbelah. Sebagian mengamini operasi PETRUS karena melihat hukum tidak berdaya mengurangi kuantitas dan kualitas kejahatan. Usia republik yang masih muda itu harus berpacu dengan mulai terbitnya kelompok-kelompok kejahatan teroganisir. Kejahatan pada saat itu mulai menunjukkan perilaku modern melalui pemimpin-pemimpin yang mengendalikan dunia kejahatan bagaikan jejaring organisasi. Setiap khasanah kehidupan dimasukinya, bahkan termasuk institusi penegak hukum. Seorang kawan senior dengan pangkat menengah di sebuah institusi penegak hukum dengan “bangga” bercerita bahwa pada tahun-tahun itu, memegang uang sampai Rp. 1 milyar adalah hal yang biasa. Negara seakan berada pada zaman jahiliyah, apa-apa mudah bahkan nyawapun begitu mudahnya di lepaskan dari tubuh yang disanggahnya;

Tapi operasi ini selain menyisakan kegetiran pada keluarga korban, juga meninggalkan kesedihan mendalam bagi aparat penegak hukum yang jujur dan setia dalam bertugas. Urusan pengendalian kejahatan adalah urusan sistem peradilan pidana. Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah upaya masyarakat untuk mereduksi perkembangan kejahatan sampai pada batas-batas yang dapat ditoleransi masyarakat. Oleh karenanya, ketika perkembangan kejahatan sudah sampai pada batas “memuakkan” masyarakat, catur wangsa (atau sekarang menjadi panca wangsa) penegakan hukum akan turun tangan mengendalikannya.

Pengendalian itu adalah tugas penegak hukum. Ini erat kaitannya dengan Politik kriminal. Menurut Barda Nawawi Arif, politik kriminal senantiasa terrentang antara upaya perlindungan dan menyejahterakan masyarakat. Titik keseimbangan antara kedua hal tersebut menentukan pola perencanaan, aplikasi dan evaluasi kebijakan pemerintah.

Pada titik keseimbangan itulah aparat penegak hukum memposisikan diri. Pengendalian kejahatan melalui tindakan ekstrajudicial mendorong bandul pendulumnya ke arah perlindungan dan menjauh dari kesejahteraan. Dunia ekonomi menjadi horor karena kejahatan didefinisikan secara subyektif dan jauh dari keadilan. Setiap orang dapat mempersepsikan kejahatan sesuai dengan keinginannya masing-masing. Sialnya, orang yang memegang timbangan nilai tersebut adalah orang yang tidak mengerti keadilan dan lekat dengan kekerasan sehingga jalur kekerasan itu pula yang dipilihnya menjadi sarana eksekusi;

Saat ini dunia hukum telah berjarak sekitar 30 tahun dengan operasi PETRUS. Sebagian kalangan mungkin telah banyak yang melupakan kejadian tersebut sehingga tidakmengherankan kalau kemudian operasi-operasi extrajudicial seperti itu hendak dihidupkan kembali. Banyak pihak yang bertepuk tangan dengan hadirnya operasi itu tanpa menyadari bahwa timbangan baik buruk itu dapat memposisikan diri mereka sendiri dalam timbangan buruk;

Benar dan salah harus ditelorkan melalui lembaga peradilan. Debat tentang nilai suatu perbuatan harus dilakukan dalam suatu persidangan yang adil. Itulah pilar demokrasi. Siapapun yang menghendaki agar debat tentang nilai harus diserahkan pada individu-individu yang jauh dari nuansa keadilan, harus menjadi musuh bersama. Bukan hanya musuh bagi kalangan dunia hukum tapi juga seluruh masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar