Tahukah anda pasca bom di jalan Thamrin, beberapa
institusi terlibat ketegangan yang mengarah ke perang pernyataan secara terbuka
? Atau tahukah anda kalau banyak institusi yang teridentifikasi mengalami
kegalauan dan kecemburuan antar institusi ?
Semuanya bermula dari rencana pemerintah untuk melakukan
revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar lebih garang menghadapi
para teroris yang piawai melihat celah aturan. Pemerintah beranggapan, revisi
undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan membuat
bangsa ini aman dan terlindungi dari ulah para teroris;
Badan
Intelijen Negara (BIN) melalui Kepala
BIN Sutiyoso lebih dulu meminta agar dalam
revisi UU Terorisme, BIN diberi kewenangan menangkap dan menahan terduga
teroris sebelum adanya aksi teror.
Gayung bersambut, permintaan Sutiyoso itu direspon oleh Kapolda Metro
Jaya, Tito Karnavian dengan penolakan. Bahkan Kapolda Metro mengatakan Kalau
dalam revisi UU Terorisme itu ada pendekatan militer dan intelijen yang
berlebih dalam menangani terorisme, akan berpotensi memunculkan
pelanggaran hak asasi manusia."ujarnya
Apapun sikap para pejabat negara itu, tulisan ini
tidaklah bermaksud mengelaborasi lebih jauh sisi materil revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tulisan ini hanya akan
menyoroti kegandrungan kita yang senantiasa mencari cara penyelesaian suatu
masalah pada pembuatan atau revisi undang-undang;
Pada setiap
kejadian atau yang membawa implikasi pada ruang-ruang publik, masyarakat
seringkali terbelah dalam proses pencarian penyelesaian. Ada yang berupaya memaksimalkan situasi,
aturan atau keadaan, ada pula yang terus berpikir untuk melipatgandakan
kewenangan melalui revisi atau pembuatan peraturan baru;
Data menunjukkan bahwa pada Periode 1999-2004, Prolegnas menetapkan 300 RUU
dengan capaian 175 UU (58%), Periode 2004-2009 Prolegnas menetapkan 284 RUU
dengan capaian 193 UU (68%), Periode 2009-2014 Prolegnas menetapkan 247 RUU
dengan capaian akhir sebanyak 126 UU (51%).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Sekretariat Kabinet dari Tahun
1945-2012 tercatat telah dibentuk 1515 Undang-Undang. Dari 1515 sebanyak 484 UU
dibentuk dalam kurun 1999-2012 (13 Tahun) yaitu rata-rata 37 UU per tahun,
sementara jumlah UU yang dibentuk sejak tahun 1945-1998 (53 tahun) yaitu 1031
yang berarti rata-rata 19 UU per tahun.
Penelitian Dr. Bayu Dwi Anggono, Dosen Universitas Jember, sejak 1999-2012
terhadap 428 undang-undang atau berjumlah 200 apabila dikurangi undang-undang
kategori daftar kumulatif terbuka, menghasilkan kesimpulan bahwa sebanyak 14 (empat
belas) UU diindikasikan sebagai materi/hal yang seharusnya tidak perlu diatur
dengan UU (kurang tepat diatur lewat wadah UU);
Revisi atau
pembuatan peraturan baru telah menyebabkan bangsa ini terjebak pada apa yang
disebut oleh Prof. Maria Farida Indrati sebagai hyperregulation (hiper
regulasi). Hiper
regulasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pembengkakan jumlah peraturan
perundang-undangan karena adanya
kecenderungan pembentuk undang-undang semakin boros dan terlalu
membesar-besarkan persoalan;
Pola pikir untuk menyelesaikan beragam persoalan bangsa dengan berpaling
pada pembentukan aturan/perundang-undangan adalah pola pikir yang sesat.
Kompleksitas hidup yang selalu dibingkai dengan undang-undang secara rigid
menciptakan hidup yang kaku. Demikian pula, setiap kreasi yang tidak diatur
dalam aturan dapat dianggap sebagai pembangkangan terhadap aturan itu sendiri.
Maka hidup kemudian menjadi hambar karena gerak setiap orang mudah diprediksi,
dianalisa dan diintervensi.
Belum lagi kalau kita bicara tentang undang-undang yang memiliki sanksi pidana
tidak peduli aturan itu sesungguhnya berkaitan dengan soal-soal administrasi,
keperdataan ataupun keagaaman. Sanksi dianggap sebagai satu-satunya pilihan
terbaik untuk melakukan rekayasa terhadap keadaan sosial masyarakat. Negara
kemudian hadir dengan wajahnya yang bengis, seolah-olah siap menerkam
anak-anaknya sendiri.
Mengapa tidak memaksimalkan aturan yang ada, mengapa tidak berpaling pada
pengayaan kegiatan lapangan. Secara rasional, suatu tindakan akan dapat
dibenarkan sepanjang bersesuaian dengan tata nilai yang hidup dalam masyarakat.
Hindari keengganan melakukan tindakan atas dasar tidak ada aturan yang
mengaturnya. Bukankah manusia dikaruniai logika dan metode berfikir yang
dinamis dengan dilingkupi sistem hidup bermasyarakat ?