Dibalik gegap gempita kasus
dua Padepokan besar (Dimas Kanjeng dan Gatot Brajamusti), terselip kasus yang
menggelitik perhatian para kriminolog atau pemerhati hukum pidana nasional.
Kasus itu adalah kasus pembunuhan dua orang anggota Padepokan Satria Aji,
Depok. Ant (inisial Pelaku) yang merupakan pemimpin Padepokan, telah
mnghilangkan nyawa dua pengikutnya yaitu Ahmad Sanusi dan Shendy.
Yang menarik dalam kasus
pembunuhan tersebut adalah pelaku (Ant) menggunakan media kopi yang telah dibubuhi
racun Potassium Sianida. Dari sini aja orang dapat mereka-reka bahwa pembunuhan
itu menduplikasi pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin. Media atau cara yang
digunakan hampir sama dengan perkara yang mengharubiru penonton televisi
Indonesia tersebut;
Dalam ilmu kriminologi,
kejahatan demikian lazim disebut sebagai kejahatan copycat. Kejahatan copycat
sendiri dimaknai sebagai suatu bentuk kejahatan dimana pelakunya mengimitasi
kejahatan yang telah pernah dipublikasikan sebelumnya. Istilah “copycat”
(peniruan) adalah ungkapan slang untuk imitasi di Amerika.
Kejahatan copycat umumnya
dipicu oleh liputan atau penggambaran media. Beberapa penelitian di luar negeri
(USA) menggambarkan betapa peran media sedemikian kuat pada beberapa kasus
kejahatan peniruan. Pada medio 1990-an, Jaringan TV-3 Skandinavia menghentikan
serial action “Mighty Morphin Power Rangers” untuk tayangan di Norwegia, Swedia
dan Denmark setelah seorang gadiskecil 5 tahun di Norwegia dilempari batu dan
ditendangi teman-teman bermainnya dan dibiarkan sampai mati membeku di salju
(Mellgreen : 1994)
Contoh lainnya adalah film
“money train” yang menggambarkan seseorang mengguyurloket tiket dengan cairan
mudah terbakar dan membakar petugas di dalamnya. Tindakan mengerikan ini ditiru
pada tiga insiden serupa dalam satu pekan di New York. Pada 1993, sebuah
episode film seri “Beavis and Butthead” dipersalahkan oleh seorang ibu karena
anak lima tahunnya menyalakan api dan menewaskan adik perempuannya. Episode ini
menampilkan salah satu pemeran membakar rambut pemeran lainnya dengan korek api
untuk memancing semburan dari kaleng aerosol. Demikian juga film “taxi
driver” tahun 1976 yang tokoh utamanya
berusaha membunuh presiden, mengilhami percobaan pembunuhan Presiden Reagen
oleh John Hinckley jr (Frank E. Hagan : 2013)
Liputan televisi yang
sedemikian massif dalam perkara dengan korban Wayan Mirna Salihin (WMS) telah
memberikan pelajaran hukum pada masyarakat. Pelajaran itu bukan hanya sekedar mengenai
hukum acara melainkan juga sampai pada memori yang kuat bahwa pembunuhan dengan
racun cenderung sulit dibuktikan. Publik dengan gampang menilai bahwa Penuntut
Umum terengah-engah membuktikan dakwaannya sehingga kemudian memantik inspirasi
untuk melakukan kejahatan serupa.
Cara yang dilakukan pun
hampir sama yaitu cairan kopi yang dibubuhi dengan racun. Bau kopi yang kuat
dan warna hitamnya yang kental telah menyamarkan racun sehingga sulit untuk
diresapi kehadirannya. Ditambah dengan percakapan yang menarik dan
menyenangkan, kehadiran kopi beracun semakin tidak menjadi perhatian korbannya.
Setidaknya terdapat
beberapa kelemahan pelaku (Ant) ketika melakukan kejahatan ini. Salah satunya
adalah jaringan komunikasi personal yang sedemikian kuat antara korban dan
pelaku. Masalah yang timbul antara korban dan pelaku sedemikian menganga
sehingga dengan kasat mata orang dapat menunjuk pelakunya.
Berbeda dengan korban WMS
dalam perkara sebelumnya, jaringan komunikasi itu sangat minim sehingga candaan
sederhana seperti “keinginan mencium” saja telah membawa media melakukan
penggiringan kalau pelaku datang dari kalangan transeksual. Minimnya pola
komunikasi pelaku dan korban itu jugalah yang mempersulit kriminolog sekelas
Tb. Ronny Nitibaskara melakukan penelaahan dan akhirnya harus mempergunakan
Fisiognomi untuk melengkapi penelaahannya.
Kelemahan berikutnya adalah
kepergian korban yang diketahui oleh keluarganya kalau bepergian dengan pelaku.
Fokus pemeriksaan pertama dalam ilmu penyidikan terhadap orang hilang adalah
dengan mencari tahu siapa yang terakhir bersamanya. Dengan menggunakan
pendekatan ini saja, pelaku sudah gelagapan merekayasa cerita untuk melepaskan
diri.
Kelemahan Ant yang lain
adalah jenis racun yang digunakan. Racun jenis Potassium Sianida adalah racun
yang populer di masyarakat. Racun ini dikenal dengan nama Potass. Di kampung
saya di pedalaman Pulau Buton, racun ini marak di medio 1980-an digunakan oleh
para nelayan sebagai jenis racun untuk membunuh ikan di permukaan. Sebaliknya
dalam perkara korban WMS, racun yang digunakan adalah Hidrogen Sianida (HCN).
Kalau Potassium Sianida di kenal sebagai racun murahan/jalanan mengingat
mudahnya diperoleh dan gampang dipergunakan, Racun HCN dikenal sebagai racun
mahal yang hanya dapat diakses oleh orang berduit dan memahami pengetahuan
kimia dasar;
Kembali ke kejahatan
copycat yang dilakukan pemimpin Padepokan Satria Aji, Depok, setidaknya
terdapat beberapa variabel yang boleh jadi mendukung duplikasi cara dalam
kejahatannya, yaitu :
1.
Sorotan media yang berlebihan telah membuka
mata dan pikiran pelaku bahwa pembunuhan dengan racun adalah cara pembunuhan
yang sedemikian sulit untuk diungkap;
2.
Penanganan perkara pembunuhan dengan racun
memerlukan waktu lama dan sumber daya yang besar dalam proses pemeriksaannya
3.
Penayangan di media menunjukkan bahwa diperlukan
biaya yang sedemikian besar untuk melakukan pengungkapan kasus sehingga suatu
saat, negara akan sampai pada batas ketidakmampuan mengeluarkan biaya
penanganan perkara;
4.
Pelaku yang juga penonton setia siaran
langsung persidangan menyadari bahwa peran CCTV sedemikian besar sehingga dalam
menentukan tempat kejadian, pelaku menghindari adanya CCTV di lokasi;
Penayangan suatu
persidangan pidana secara massif bagaikan pisau bermata dua. Disatu sisi
masyarakat mendapatkan pengetahuan dan pemahaman tentang proses penanganan
perkara. Di sisi lain, masyarakat juga akan belajar melakukan duplikasi
(penggandaan) terhadap modus atau cara melakukan kejahatan. Alasan kedua inilah
yang digunakan oleh sistem criminal court di Amerika untuk melarang adanya
kamera/alat perekam dalam perkara-perkara tertentu yang berdampak pada
sensitivitas publik.