Senin, 31 Maret 2014

Titik Taut Ilmu Hukum dan Ilmu Ekonomi

Dalam suatu perkuliahan di kampus Salemba beberapa waktu lalu, seorang dosen menjelaskan tentang bagaimana konsep-konsep ekonomi turut mempengaruhi suatu perilaku pelaku kejahatan. Dosen itu menjelaskan bagaimana seorang pelaku kejahatan akan mempertimbangkan faktor keberanian/resiko dan konsekuensi yang akan diperoleh sebelum memperoleh hasil kejahatan. Secara matematika, dosen itu menjelaskan bahwa hasil kejahatan adalah gabungan antara keberanian/resiko dan konsekuensi. Waktu itu, saya tidak percaya pada penjelasan itu. Bagi saya, logika hukum bukan sesuatu yang berjalan linier sesuai kaidah-kaidah ekonomi. Logika hukum banyak ditentukan oleh variabel sosial yang melompat-lompat dalam menyikapi setiap tindakan. Dosen tidak menanggapi lebih lanjut kecuali bahwa pemahaman itu terserah persepsi masing-masing. Kelas terdiam, namun entah ada hubungannya atau tidak, pada akhir semester, nilai-nilai mata kuliah itu bagi seluruh kelas terjun bebas bahkan sebagian besar malah tidak lulus.

Beberapa tahun kemudian, saya tersadar. Dosen tersebut ternyata sedang menjelaskan suatu cabang ilmu pengetahuan baru yang bersumber dari simbiosis antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi. Di luar negeri (dosen tersebut baru pulang pendidikan di luar negeri), simbiosis itu mulai menunjukkan titik realitas pada medio pasca perang dunia kedua.
Beberapa pemikir hukum mencoba memberikan hipotesa bahwa persinggungan ilmu hukum dan ekonomi merupakan hasil yang tidak terpisahkan dari argumentasi dalam debat tentang tujuan hukum yaitu menciptakan keadilan atau kepastian. Persinggungan hukum dan ekonomi dikatakan banyak pakar dimulai dari ajaran Bentham (1789, 1827, 1830) yang menawarkan jalan tengah antara kepastian dan keadlan dengan mengemukakan inti ajaran kemanfaatan yang kemudian dikenal dengan istilah utilitarian. Tulisan-tulisan Bentham mengupas secara sistematis dalam meneliti bagaimana manusia akan berperilaku dalam menghadapi hukum, sekaligus mengevaluasi efeknya secara kolektif dan hubungan sebab akibatnya dalam konteks kesejahteraan sosial (Fajar Sugianto, 2013).

Fajar Sugianto melanjutkan bahwa Konsepsi utilitarian Bentham mengembangkan pemikiran baru dari beberapa pakar hukum seperti Coase (1960) tentang eksternalitas dan tanggung jawab hukum, Becker (1968) tentang kejahatan dan penegakan hukum dan Posner (1972) tentang economic analysis of law. Seiring dengan pertumbuhan disiplin ini, teori-teori hukum telah mengasimilasi banyak konsep-konsep ekonomi seperti incentive effects, opprtunity costs, risk eversion, transaction costs, free-riding, regulatory capture, credible commitment dan lain sebagainya. Demikian pula, ilmu ekonomi mulai membuka diri terhadap konsep-konsep ilmu ekonomi seperti litigation costs, property rules, liability rules, reliance damages, monetary and non-monetary sanctions dan sebagainya.

Kalau sedikit ditarik ke belakang, konsep ini juga sejalan dengan konsep hukum adat jawa yang diadopsi sistem minerba modern menjadi production sharing contract. Dalam konsep ini, negara mengundang para investor menanamkan dananya pada lapangan minerba dengan kompensasi hasil yang dibagi dua sesuai prosentase perjanjian antara negara dan investor.

Di bidang hukum pidana, titik paling nampak persinggungan itu nampak pada penanganan perkara tindak pidana korupsi, khususnya berkaitan dengan pembayaran uang pengganti.
Istilah “uang pengganti” pertama kali muncul dalam Pasal 34 huruf c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran negara Tahun 1971 Nomor  19, yang selengkapnya berbunyi : “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi”. Dalam Penjelasan Umum disebutkan bahwa dalam Undang-Undang ini terdapat ketentuan-ketentuan untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat prosedur (penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi) dari Hukum Acara yang berlaku. Penyimpangan-penyimpangan itu dimaksudkan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di sidang, dalam mendapat bukti-bukti di dalam suatu perkara pidana korupsi yang sukar didapatkannya. Salah satunya adalah barang kepunyaan terhukum dapat dirampas dan di samping itu terhukum dapat dihukum untuk membayar uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan nilai harta benda yang diperoleh dari korupsi (Pasal 34). Sedangkan Penjelasan Pasal 34 menyebutkan : “Untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari usaha pengembalian kerugian keuangan negara ataupun kekacauan perekonomian negara, maka dianggap perlu sekali atas perampasan barang-barang bukti pada perkara korupsi tidak terbatas pada yang dimaksud dalam Pasal 39 KUHP, sehingga hukuman tambahan itu merupakan perluasan yang diatur dalam KUHP. Apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh terdakwa maka berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran hukuman denda“.

Untuk menghitung besaran uang pengganti yang “sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi” maka dimintalah bantuan pada auditor, baik yang tergabung dalam institusi negara seperti BPK, institusi pemerintah seperti BPKP ataupun institusi swasta seperti Kantor Akuntan Publik.

Pada bidang ini, intervensi para auditor merangsek masuk kedalam lapangan hukum pidana. Beberapa buku yang beredar di pasaran mengindikasikan hal itu. Para ekonom itu menjadikan bidang audit korupsi sebagai lapangan baru yang menarik untuk dieksplorasi.

Pada titik taut ini, para ahli hukum (pidana) boleh dikatakan ketinggalan. Kalau mau jujur sebenarnya, bidang hukum adalah sesuatu yang pokok dalam upaya membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dan kerugian negara dalam suatu tindak pidana korupsi. Ilmu ekonomi cq. Ilmu akuntansi cq. Ilmu auditing hanyalah ilmu pembantu hukum pidana.
Para auditor akan bekerja dengan kaidah-kaidah Ilmu ekonomi cq. Ilmu akuntansi cq. Ilmu auditing untuk kemudian dibawa ke lapangan hukum pidana dan dinilai oleh para praktisi hukum pidana. Penilaian itu mau tidak mau akan melibatkan kaca mata hukum pidana untuk menilai hasil pekerjaan para auditor. Disini sesungguhnya rawan perbedaan pemahaman karena bukti audit yang menjadi dasar penarikan kesimpulan akan dinilai kembali dengan bukti yuridis untuk menentukan besaran kegurian dan indikasi perbuatan melawan hukum.

Apapun itu, simbiosis Ilmu hukum dan ilmu ekonomi dewasa menciptakan suatu mutualisme yang saling mendukung dan memperkuat. Bahkan di negara kita, model ilmu ekonomi telah menjadi suatu terapi pemberian sanksi pidana yang sangat diperhitungkan oleh para pelaku kejahatan. Pemiskinan koruptor atau pembebanan denda dan atau uang pengganti menjadi salah satu opsi penghukuman yang sangat menakutkan ketimbang sekedar pidana badan. 

Cangkringan, kaki Gunung Merapi, 31 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar