Dalam
suatu perkuliahan di kampus Salemba beberapa waktu lalu, seorang dosen
menjelaskan tentang bagaimana konsep-konsep ekonomi turut mempengaruhi suatu
perilaku pelaku kejahatan. Dosen itu menjelaskan bagaimana seorang pelaku
kejahatan akan mempertimbangkan faktor keberanian/resiko dan konsekuensi yang
akan diperoleh sebelum memperoleh hasil kejahatan. Secara matematika, dosen itu
menjelaskan bahwa hasil kejahatan adalah gabungan antara keberanian/resiko dan
konsekuensi. Waktu itu, saya tidak percaya pada penjelasan itu. Bagi saya,
logika hukum bukan sesuatu yang berjalan linier sesuai kaidah-kaidah ekonomi.
Logika hukum banyak ditentukan oleh variabel sosial yang melompat-lompat dalam
menyikapi setiap tindakan. Dosen tidak menanggapi lebih lanjut kecuali bahwa
pemahaman itu terserah persepsi masing-masing. Kelas terdiam, namun entah ada
hubungannya atau tidak, pada akhir semester, nilai-nilai mata kuliah itu bagi
seluruh kelas terjun bebas bahkan sebagian besar malah tidak lulus.
Beberapa
tahun kemudian, saya tersadar. Dosen tersebut ternyata sedang menjelaskan suatu
cabang ilmu pengetahuan baru yang bersumber dari simbiosis antara ilmu hukum
dan ilmu ekonomi. Di luar negeri (dosen tersebut baru pulang pendidikan di luar
negeri), simbiosis itu mulai menunjukkan titik realitas pada medio pasca perang
dunia kedua.
Beberapa
pemikir hukum mencoba memberikan hipotesa bahwa persinggungan ilmu hukum dan
ekonomi merupakan hasil yang tidak terpisahkan dari argumentasi dalam debat tentang
tujuan hukum yaitu menciptakan keadilan atau kepastian. Persinggungan hukum dan
ekonomi dikatakan banyak pakar dimulai dari ajaran Bentham (1789, 1827, 1830)
yang menawarkan jalan tengah antara kepastian dan keadlan dengan mengemukakan
inti ajaran kemanfaatan yang kemudian dikenal dengan istilah utilitarian.
Tulisan-tulisan Bentham mengupas secara sistematis dalam meneliti bagaimana
manusia akan berperilaku dalam menghadapi hukum, sekaligus mengevaluasi efeknya
secara kolektif dan hubungan sebab akibatnya dalam konteks kesejahteraan sosial
(Fajar Sugianto, 2013).
Fajar
Sugianto melanjutkan bahwa Konsepsi utilitarian Bentham mengembangkan pemikiran
baru dari beberapa pakar hukum seperti Coase (1960) tentang eksternalitas dan
tanggung jawab hukum, Becker (1968) tentang kejahatan dan penegakan hukum dan
Posner (1972) tentang economic analysis of law. Seiring dengan pertumbuhan
disiplin ini, teori-teori hukum telah mengasimilasi banyak konsep-konsep ekonomi
seperti incentive effects, opprtunity costs, risk eversion, transaction costs,
free-riding, regulatory capture, credible commitment dan lain sebagainya.
Demikian pula, ilmu ekonomi mulai membuka diri terhadap konsep-konsep ilmu
ekonomi seperti litigation costs, property rules, liability rules, reliance
damages, monetary and non-monetary sanctions dan sebagainya.
Kalau
sedikit ditarik ke belakang, konsep ini juga sejalan dengan konsep hukum adat jawa
yang diadopsi sistem minerba modern menjadi production sharing contract. Dalam
konsep ini, negara mengundang para investor menanamkan dananya pada lapangan
minerba dengan kompensasi hasil yang dibagi dua sesuai prosentase perjanjian
antara negara dan investor.
Di
bidang hukum pidana, titik paling nampak persinggungan itu nampak pada
penanganan perkara tindak pidana korupsi, khususnya berkaitan dengan pembayaran
uang pengganti.
Istilah
“uang pengganti” pertama kali muncul dalam Pasal 34 huruf c Undang-Undang No. 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran negara Tahun 1971
Nomor 19, yang selengkapnya berbunyi :
“Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan
harta-benda yang diperoleh dari korupsi”. Dalam Penjelasan Umum disebutkan
bahwa dalam Undang-Undang ini terdapat ketentuan-ketentuan untuk mempermudah pembuktian
dan mempercepat prosedur (penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana
korupsi) dari Hukum Acara yang berlaku. Penyimpangan-penyimpangan itu
dimaksudkan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan
serta pemeriksaan di sidang, dalam mendapat bukti-bukti di dalam suatu perkara
pidana korupsi yang sukar didapatkannya. Salah satunya adalah barang kepunyaan
terhukum dapat dirampas dan di samping itu terhukum dapat dihukum untuk
membayar uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan nilai
harta benda yang diperoleh dari korupsi (Pasal 34). Sedangkan Penjelasan Pasal
34 menyebutkan : “Untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari usaha pengembalian
kerugian keuangan negara ataupun kekacauan perekonomian negara, maka dianggap
perlu sekali atas perampasan barang-barang bukti pada perkara korupsi tidak
terbatas pada yang dimaksud dalam Pasal 39 KUHP, sehingga hukuman tambahan itu
merupakan perluasan yang diatur dalam KUHP. Apabila pembayaran uang pengganti
tidak dapat dipenuhi oleh terdakwa maka berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai
pelaksanaan pembayaran hukuman denda“.
Untuk
menghitung besaran uang pengganti yang “sebanyak-banyaknya sama dengan
harta-benda yang diperoleh dari korupsi” maka dimintalah bantuan pada auditor,
baik yang tergabung dalam institusi negara seperti BPK, institusi pemerintah
seperti BPKP ataupun institusi swasta seperti Kantor Akuntan Publik.
Pada
bidang ini, intervensi para auditor merangsek masuk kedalam lapangan hukum
pidana. Beberapa buku yang beredar di pasaran mengindikasikan hal itu. Para
ekonom itu menjadikan bidang audit korupsi sebagai lapangan baru yang menarik
untuk dieksplorasi.
Pada
titik taut ini, para ahli hukum (pidana) boleh dikatakan ketinggalan. Kalau mau
jujur sebenarnya, bidang hukum adalah sesuatu yang pokok dalam upaya
membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dan kerugian negara dalam suatu
tindak pidana korupsi. Ilmu ekonomi cq. Ilmu akuntansi cq. Ilmu auditing
hanyalah ilmu pembantu hukum pidana.
Para
auditor akan bekerja dengan kaidah-kaidah Ilmu ekonomi cq. Ilmu akuntansi cq. Ilmu
auditing untuk kemudian dibawa ke lapangan hukum pidana dan dinilai oleh para
praktisi hukum pidana. Penilaian itu mau tidak mau akan melibatkan kaca mata
hukum pidana untuk menilai hasil pekerjaan para auditor. Disini sesungguhnya
rawan perbedaan pemahaman karena bukti audit yang menjadi dasar penarikan
kesimpulan akan dinilai kembali dengan bukti yuridis untuk menentukan besaran
kegurian dan indikasi perbuatan melawan hukum.
Apapun
itu, simbiosis Ilmu hukum dan ilmu ekonomi dewasa menciptakan suatu mutualisme
yang saling mendukung dan memperkuat. Bahkan di negara kita, model ilmu ekonomi
telah menjadi suatu terapi pemberian sanksi pidana yang sangat diperhitungkan oleh
para pelaku kejahatan. Pemiskinan koruptor atau pembebanan denda dan atau uang
pengganti menjadi salah satu opsi penghukuman yang sangat menakutkan ketimbang
sekedar pidana badan.
Cangkringan, kaki Gunung Merapi, 31 Maret 2014