Hoegeng, Lopa, Suprapto dan Oemar Seno Adjie |
Hari ini (16/7) Kejaksaan Agung mengadakan
seminar "Eksistensi Lembaga Penegak Hukum
ad hoc ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana," yang dirangkaikan dengan
peluncuran buku : Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH: "Pendekar Hukum dan
Keadilan Indonesia" bertempat di Hotel Bidakara Jakarta Selatan. Ada dua
hal terpisah yang menjadi menarik berkaitan dengan seminar dan peluncuran buku
tersebut. Pertama adalah Kejaksaan Agung mulai “gerah” dengan sepak terjang
lembaga ad hoc yang mulai menunjukkan pengaruh dalam sistem peradilan pidana
Indonesia. Sedangkan yang kedua adalah adanya “krisis” tokoh panutan dalam
lingkaran penegak hukum khususnya Kejaksaan RI.
1. Eksistensi lembaga penegak
hukum ad hoc.
Keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum di
Indonesia seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), Komisi Yudisial (KY), Komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan (KK) atau Ombudsman RI (ORI) didasarkan
secara yuridis pada aturan perundang-undangan yang berbeda. Kalau KPK
didasarkan pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK) dan KY dengan UU No. 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial serta UU No. 37 tahun 2008 tentang
Ombudsman RI, maka Satgas PMH, Kompolnas serta KK didasarkan pada Keputusan atau
Peraturan Presiden. Satgas PMH dengan Keppres 37/2009, Kompolnas dengan
Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2011 serta KK melalui Peraturan Presiden No. 18
Tahun 2011.
Dari dasar hukum
tersebut terlihat kegamangan Pemerintah dalam membentuk lembaga-lembaga ad hoc
sekaligus membuktikan betapa tidak jelasnya desain institusi sebagai benteng
utama penegakan hukum. Diantara beberapa lembaga hukum ad hoc tersebut, hanya
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang tidak diperpanjang lagi dan dilebur ke
dalam Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Keberadaan
lembaga-lembaga hukum ad hoc tersebut ternyata mendapat tempat di hati
masyarakat sehingga diakui atau tidak semakin memperburuk citra lembaga-lembaga
konvensional yang lebih dulu lahir. Dalam beberapa hal, sepak terjang
lembaga-lembaga ad hoc tersebut bersentuhan dengan tugas dan kewenangan
lembaga-lembaga konvensional sehingga melahirkan persepsi yang berbeda pada
masyarakat. Ambil contoh ketika kasus Bibit-Chandra menghiasi pemberitaan di
media massa. Lembaga Konvensional (Kepolisian-Kejaksaan) masih terjebak pada
logika-logika hukum normatif untuk menyelesaikan persoalan sedangkan Tim 8 bentukan Presiden bersikukuh menggunakan logika sosio yuridis untuk menghadapinya. Ternyata
masyarakat lebih memilih model pendekatan sosio yuridis yang digunakan Tim 8 untuk menyelesaikan persoalan. Dukungan publik itu masih diperparah oleh
ketidakkonsistenan Kejaksaan yang lebih dulu memilih menggunakan Surat
Keterangan Penghentian Penuntutan (SKPP) sebelum kemudian menggunakan Hak
Deponeering (istilah yang tepat seharusnya Seponeering). Rentetan kasus itu semakin
menenggelamkan citra lembaga konvensional di mata publik.
“Perseteruan” lembaga
konvesional dengan lembaga ad hoc juga nampak dari sepak terjang KPK
dibandingkan dengan lembaga Kepolisian-Kejaksaan. Dari sisi Laporan Keuangan,
selama beberapa tahun berturut-turut, KPK selalu mendapatkan predikat Wajar
Tanpa Pengecualian. Bandingkan dengan lembaga konvensional sejenis yang selalu
mendapatkan predikat disclaimer dan
baru tahun terakhir ini mendapatkan Wajar Dengan Pengecualian. Belum lagi kalau
dilihat dari sisi sepak terjang penanganan kasus. Lembaga-lembaga ad hoc yang
selama ini terpelihara citra dan integritasnya di mata publik selalu terkesan
garang dimata media dan mendapat apresiasi positif. Sementara lembaga-lembaga
konvensional pada posisi yang sama malah mendapat nilai sebelah mata. Kesan
yang muncul adalah kalau KPK yang melakukan pemeriksaan, saksi atau tersangka
sudah dicitrakan bersalah oleh publik, sebaliknya kalau diperiksa oleh Polisi
dan Jaksa, saksi dan tersangka itu dikesankan sedang dizalimi oleh
Polisi-Jaksa.
Sayangnya, kebijakan
lembaga konvensional selama ini cenderung menganggap lembaga ad hoc sebagai
“saingan” dalam pengertian yang negatif sehingga kebijakan yang muncul adalah
Politik kontestasi dan bukan kebijakan keterpaduan. Dalam Politik Kontestasi,
secara internal ditanamkan sugesti bahwa “mereka” berbeda dengan “kita”, bahwa “kita”
lebih bersih daripada “mereka”, bahwa
sumber daya dan teknologi “kita lebih maju dari “mereka”, bahwa penangkapan
anggota “kita” oleh “mereka” bukan karena kesalahan melainkan oleh penjebakan
dan kesan mencari-cari alasan. Sedangkan secara eksternal bisa berwujud
penanganan kasus oleh “kita” hanya untuk melindungi kepentingan “kita” sendiri.
Pemerintah juga punya
andil besar dalam memupuk Politik Kontestasi berkembang dan menyeruak di
tengah-tengah lembaga penegak hukum. Pemerintah menyediakan insentif berbeda
terhadap hal yang sama. Penyidik dan Jaksa di lembaga konvensional mungkin saja
melakukan pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang sama. Bahkan dalam beberapa
hal resiko yang dihadapi lebih besar. Namun pola kesejahteraan yang
diperlakukan tetap saja berbeda. Seorang Penyidik dengan pangkat Ipda atau
Jaksa dengan pangkat III/a bergaji kurang dari lima juta rupiah. Bandingkan
dengan pangkat yang sama di KPK dapat membawa pulang gaji (take home pay) di atas lima belas juta rupiah. Belum lagi dari sisi
kewenangan. KPK tidak terikat dengan rahasia Bank, izin pemeriksaan/penahanan
pejabat bahkan berhak memeriksa siapapun tanpa kecuali. Secara bertahap, pola
kesejahteraan dan kewenangan yang sama juga harus mulai diberikan pada
lembaga-lembaga konvensional agar perbandingan institusi yang dilakukan
masyarakat mengesankan perbandingan apple
to apple dan tidak sekedar apple to banana.
Politik kontestasi
seperti itu harus segera diakhiri, baik oleh Pemerintah maupun oleh lembaga
konvensional dan ad hoc itu sendiri. Penting untuk dipahami bahwa musuh bersama
adalah korupsi, bukan sesama lembaga pemberantas korupsi. Energi untuk “fight” sesama lembaga penegak hukum
harus diarahkan pada pemberantasan tindak pidana secara terintegrasi dan saling
mendukung.
2. Krisis tokoh panutan
Ketiadaan tokoh yang
dapat menjadi teladan bagi institusi penegak hukum di negeri ini bukan hanya
monopoli suatu institusi tertentu. Kepolisian, Kejaksaan ataupun Peradilan
mengalami krisis tokoh yang dapat diteladani. Sampai saat ini di Kepolisian
hanya mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso yang ramai diperbincangkan dan
dibahas. Demikian pula di Kejaksaan, profil mantan Jaksa Agung yang selalu
diwariskan keteladanannya secara turun-temurun hanya mantan Jaksa Agung Suprapto dan Baharuddin Lopa. Demikian pula di
Mahkamah Agung yang relatif sering dibahas hanya Prof. Oemar Seno Adjie.
Jalinan kisah
tokoh-tokoh yang menjadi panutan itu dipintal oleh benang yang sama.
Kesederhanaan, keteguhan pendirian menolak intervensi dan pembenahan institusi tanpa
kompromi adalah hal-hal yang menjadi kenangan abadi. Para tokoh itu tidak silau
oleh limpahan harta atau godaan nafsu hedonis lainnya. Bahkan pada konteks yang
lebih dalam, mereka juga tidak tergiur oleh kekuasaan. Para tokoh itu lebih
memilih mewariskan nama besar sebagai ladang pengabdian ketimbang gunungan harta
dan sederet jabatan.
Krisis tokoh seperti
ini mengindikasikan kerinduan masyarakat pada sosok-sosok penegak hukum yang berintegritas.
Masyarakat sudah jenuh dengan sajian drama yang diulas media tentang berbagai
permainan kongkalikong antara penegak hukum dengan para pencari keadilan. Sementara
di lain sisi, masyarakat belum menemukan tokoh sekaliber mereka yang gigih dan
konsen pada upaya penegakan hukum.
Krisis tokoh teladan
ini sebenarnya menyisakan lubang dalam sejarah penegakan hukum negeri. Upaya untuk
menunjukkan jati diri sebagai tokoh yang bisa dijadikan panutan juga terbuka
bagi setiap pelaku penegak hukum. Kesempatan harus dimanfaatkan sebaik mungkin
oleh para penegak hukum. Keteladanan itu harus resisten dengan sikap hedonis
ataupun penghambaan terhadap kekuasaan. Bahkan juga harus dibarengi dengan
keberanian yang selalu siap menjadi martir demi nama baik institusi yang
terinternalisasi menjadi falsafah hidup. Kalau nilai-nilai itu kemudian
mengkristal dalam diri seorang hamba hukum maka bolehlah kita berharap lahirnya
Hoegeng muda, Suprapto muda, Lopa muda atau Oemar Seno Adjie muda.