Saya mengoleksi setidaknya 3
(tiga) buah buku bagus tentang para pejabat yang kemudian menjadi Nara Pidana.
Ketiganya menceritakan hal-hal menarik yang berkaitan dengan alasan atau
penyebab mereka harus masuk bui. Dari judulnya saja sudah terlihat seperti apa
refleksi mereka terhadap kehidupan di belakang;
Buku pertama berjudul “Cermin
Miranda : Cerita dari Rutan KPK”. Dari judulnya saja kita sudah bisa menebak
siapa yang menjadi topik pembicaraan. Ya, dia adalah Miranda Swaray Goeltom,
mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang terjerat kasus cek pelawat.
Penyidikan dan penuntutannya dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Buku yang ditulis oleh Rustika
Herlambang ini adalah salah satu favorit saya. Kisah didalamnya mengisahkan
penuturan langsung Miranda dengan menggunakan frasa orang pertama tunggal. Isi
buku ini tidak hanya bercerita kebenaran perkara versi Miranda, melainkan lebih
banyak mengulas sisi kepribadian, perasaan dan harapan-harapan Miranda. Pembaca
akan diajak masuk, bersimpati dan berempati terhadap kehidupan seorang
Miranda.
Terhadap perkaranya, Miranda
menulis : Adalah kenyataan bahwa ada cek pelawat..., Adalah kenyataan aku
dicalonkan sebagai salah satu calon DGS BI, Adalah kenyataan aku diundang dan
mengundang bertemu dengan dua fraksi DPR RI..., Adalah kenyataan bahwa aku
mengikuti fit and proper test..., Adalah kenyataan bahwa aku terpilih secara
mayoritas, Adalah kenyataan bahwa aku adalah calon yang paling
senior....Namuun, fakta-fakta tersebut tidaklah serta merta dapat menjadikan
aku bersalah dalam perkara ini (hal. 369)
Buku kedua adalah sebabak
kehidupan mantan bankir Bank Mandiri, Edward Cornelis William Neloe atau lebih
dikenal sebagai ECW Neloe. Buku yang berjudul “Pemberian Kredit Bank menjadi
Tindak Pidana Korupsi” ini hakekatnya merupakan skripsi Neloe ketika
menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Bung Karno tahun 2012.
Apresiasi tinggi patut diberikan kepada Neloe yang setelah menghadapi
perkaranya dipengadilan, memutuskan untuk mengangkatnya kembali dalam suatu
kajian akademis dalam bentuk skripsi sehingga setiap orang dapat dengan mudah
membaca, menganalisis dan berpendapat.
Sekedar informasi, perkara Neloe
disidik dan dilakukan oleh penuntutannya oleh Penyidik dan Penuntut Umum pada
Kejaksaan. Di Peradilan tingkat pertama, Neloe diputus bebas namun Penuntut
Umum mengajukan upaya hukum kasasi dan di tingkat MA tersebut, Neloe diputus
bersalah.
Dalam buku itu, Neloe mengajukan
pertanyaan penelitian tentang pertanggungjawaban pengurus apabila terjadi kredit
macet serta proses kriminalisasi dalam suatu pemberian kredit dalam aspek
perdata sehingga menjadi tindak pidana. Menurut Neloe, pertanggungjawaban
pengurus apabila terjadi kredit macet menurut hukum perdata dan UU Perseroan
Terbatas adalah tanggung jawab, tetapi jika kerugian yang timbul adalah karena
kesalahannya maka tanggung jawab direksi sampai pada harta kekayaan pribadi
masing-masing direksi secara tanggung renteng, bukan tanggung jawab pidana
korupsi (hal. 225)
Tentu saja analisis yang
dikemukakan Neloe adalah versi Neloe sendiri. Namun demikian sebagai bahan
bacaan untuk memperkaya pemahaman tentang kredit macet yang beralih menjadi
tindak pidana korupsi, buku ini layak masuk kategori “recommended”
Buku terakhir yang juga sangat
menarik adalah buku yang berjudul, “Hukum Tanpa Takaran : Penjara korupsi bagi
Korban Penipuan”. Buku ini ditulis oleh seorang Hotasi Nababan, mantan Direktur
Merpati Nusantara Airlines (MNA). Buku ini sangat menarik karena secara
gamblang menceritakan pengalaman pribadi penulisnya ketika perkara ini mulai
timbul dan kemudian meledak. Ada bagian yang sangat menarik ketika Hotasi
mengungkapkan bahwa terhadap perkaranya ini, setidaknya tiga lembaga pernah
menyatakan “clear” dan tidak ada unsur tipikornya. Ketiga lembaga itu adalah KPK, Bareskrim
Polri dan BPK. Anehnya ketika tim Pidsus Kejagung turun, ditemukan unsur tindak
pidana korupsinya.
Dari judul buku itu, Hotasi
mengungkapkan betapa hukum adalah sesuatu yang dapat dirasakan, baikoleh
masyarakat maupun pihak terkait. Hukum seharusnya dapat ditakar. Hotasi juga
mengungkapkan pesan-pesannya kepada Presiden Jokowi, yaitu : Jangan biarkan
kriminalisasi keputusan BUMN, Stop kewenangan Jaksa, Jangan mencari pencitraan
dalam pemberantasan korupsi, Pemisahan aset BUMN dari negara, Kendalikan
penegak hukum, Teladan tolak korupsi dan Hukum bukan alat kekuasaan (hal.
261-264).
Ketiga mantan pejabat publik
tersebut adalah orang-orang hebat yang tersandung perkara. Secara pribadi
mereka adalah putra-putri terbaik bagi diri dan keluarganya. Kita yang tidak
mengikuti persidangan mungkin saja tidak dapat memilah siapa yang benar dan
siapa yang salah. Tetapi sebagai bahan pembelajaran, karya ketiga orang
tersebut dapat memperluas wawasan sembari memperhalus nurani.