Si Fulan duduk terpekur penuh
kepasrahan ketika keterangannya ditolak oleh Majelis Hakim dengan gestur dan
ungkapan yang menyakitkan hatinya. Si Fulan baru saja menerangkan bahwa ia
terpaksa mengambil sebuah sepatu mahal dari toko tempatnya bekerja demi untuk
memuaskan dahaganya mengenakan sepatu bagus ketika bertemu rekan-rekannya
sesama petugas security. Ia berharap akan mengembalikan sepatu itu setelah
pertemuan dengan rekan-rekannya selesai. Hakim yang menangani perkaranya tidak
percaya dengan penjelasan itu, bahkan balik “memaksakan” pendapat bahwa sepatu
mewah itu akan dijual dan hasilnya akan dipakai untuk berhura-hura. Penuntut Umum yang duduk tenang, tersenyum
karena tuduhan pencurian yang diajukannya telah terbukti. Sebaliknya Penasihat
Hukum berputar-putar mempersoalkan CCTV Toko yang tidak jelas;
Fulan terdiam pasrah. Tidak ada
seorangpun penegak keadilan di ruangan itu yang berempati dengan alasannya. Di
suatu toko mewah yang dijaganya dengan gaji tepat di titik Upah Minimum Daerah,
ia berharap-harap cemas akan dapat memakai sepatu harapannya itu kelak. Ia
tidak sedang berpikir menjadi kaya dan bergonta-ganti sepatu demi memuaskan
hasratnya akan barang mewah.Ia hanya berpikir “meminjam” dan memakainya sehari
demi sejumput perhatian rekan-rekannya;
Tapi apalah dayanya, Toko yang
dijaganya itu terlalu kejam bagi dirinya, Serangkaian penyelidikan yang
berujung penangkapan telah membuatnya duduk sebagai Terdakwa. Penuntut Umum dan
Hakim akan menentukan lamanya ia harus menjalani pidana setelah berminggu-minggu
sebelumnya ia sudah merasakan dinginnya ubin rumah tahanan.
Sketsa kejadian itu nyata terjadi
di suatu ruang Pengadilan. Mungkin tidak sama persis, namun sebagai pembawa
kerangka berpikir, intisari kejadian itu hadir apa adanya;
Dalam suatu pertemuan dengan Tim
PPATK yang berkunjung ke Yogyakarta pada sekitar April 2016, saya mengemukakan
keresahan saya tentang jalannya persidangan di Pengadilan. Keresahan itu lahir
dari pengalaman dan pengamatan. Juga termasukmendengarkan pendapat,keluhan atau
pernyataan rekan-rekan yang sering bersidang dan mengalami langsung penanganan
perkara. Keresahan saya itu adalah bahwa sekarang Penuntut Umum dan juga Hakim tidak
lagi mengejar motif dalam suatu rangkaian perbuatan pidana melainkan bagaimana
fakta persidangan telah memenuhi unsur pasal yang didakwakan;
Pemenuhan unsur pasal dakwaan itu
berimplikasi serius karena secara langsung telah mengesampingkan pencarian
kebenaran yang selama ini menjadi nafas lembaga peradilan. Penuntut Umum alpa bahwa hakekat suatu lembaga
persidangan adalah mencari kebenaran dan keadilan. Kebenaran dan keadilan itu
hadir melalui pemahaman terhadap motif, latar belakang dan alasan terjadinya
suatu perbuatan pidana. Dengan melupakan motif, maka yang diperoleh hanyalah
suatu rangkaian peristiwa yang kering akan nilai kemanusiaan.
Peradilan kemudian menjelma
menjadi hanya sekedar arena peperangan antara Penuntut Umum, Penasihat Hukum bahkan
kadang-kadang Hakim yang memihak. Adu taktik dan strategi dilancarkan demi
untuk mengiyakan dan menidakkan isi dakwaan. Dalam praktek yang massif di
berbagai lembaga pengadilan (bahkan bermula pada saat penyelidikan),
seakan-akan terdapat suatu garis batas yang jelas antara motif yang tidak
penting diungkap dengan perbuatan yang mencocoki rumusan pasal. Khazanah
pengetahuan hukum memberi batas yang lain setelahnya dengan titik voltoid
(delik sempurna). Terkadang penegak hukum masih berupaya membongkar motif,
meskipun upaya itu banyak dilakukan sekedar basa-basi yang tidak menentukan
(sekedar lip service).
Keresahan saya itu sebenarnya
bukan hal baru. Michel Foucault telah lebih dulu merasakannya pada tahun
1970-an. Menurut Foucault, wacana hukum sangat tergantung pada kekuasaan
tertentu (power), pengetahuan (knowledge) dan relasi antara keduanya yang menghasilkan
kebenaran (truth) dan keadilan (justice). Kebenaran bukan lagi resultan dari
Penyelidikan dan penyidikan melainkan produk dari suatu sistem kekuasaan melalui penggalangan pengetahuan.
Foucault |
Dalam “Truth and Judicial Forms”
Foucault menuliskan, Pengetahuan dan kebenaran bukanlah produk alamiah dari
sebuah penyelidikan dan penyidikan objektif, melainkan sebuah pertempuran,
perang, konflik, yang di dalamnya ditemukan berbagai resiko,kesempatan, yang
didalamnya bertemu dan bergesekan berbegai kepentingan (politik,
ekonomi,sosial, kultural). Pengetahuan dan kekuasaan bersifat timbal balik,
korelatif dan saling bertumpuk satu sama lain (superimpose). Tidak ada
pengetahuan yang tidak memproduksi kekuasaan, sebaliknya tidak ada kekuasaan
yang tanpa memiliki pengetahuan tertentu dalam pengoperasian, perjuangan dan
pelanggengannya (Yasraf Amir Piliang, Posrealitas : Realitas Kebudayaan dalam
era Posmetafisika)
Pencitraan yang dimaksud Foucault dilaksanakan demi sekedar menggugurkan kewajiban. Hakim bersidang sekedar untuk menggugurkan kewajibannya dalam memutus, Jaksa menggugurkan kewajibannya untuk menuntut dan Penasihat Hukum juga menggugurkan kewajibannya untuk membela. Maka yang terjadi kemudian adalah persidangan semu (pseudo court) karena semua perangkat "bergegas" untuk menyelesaikan tugasnya tanpa memikirkan seperti apa kebenaran dan keadilam. Persidangan kemudian berkembang menjadi angka dan statistik yang kering akan nilai dan penyumbang maraknya angka-angka itu pada hari esok. Kekuasaan para pemilik kewenangan di ruang sidang kemudian dicitrakan sebagai profesi mulia yang dipahat dari gading rutinitas dan ditegakkan di atas pencitraan dan ketakutan
Foucault pasti tidak pernah mengikuti persidangan di
Indonesia, namun analisisnya tentang kekuasaan dan pengetahuan sangat tepat
menggambarkan kondisi ruang sidang pengadilan kita. Penuntut Umum tidak lagi berpayah-payah
membongkar rangkaian peristiwa sebelum hari H dan jam D. Majelis Hakim pun
tidak akan menelisik lebih jauh kebenaran pendapat si Fulan. Penuntut Umum,
Hakim bahkan Penasihat Hukum telah melakukan framing (pembingkaian) terhadap
apa yang akan terjadi di ruang sidang. Framing itu terbentuk dari berbagai
variabel yang lebih tepat disebut kendala, antara lain berupa volume perkara,
banyaknya agenda, insentif yang seragam atau bahkan kebiasaan yang lahir dari
rentetan peristiwa. Maka Pengadilan pun
kemudian berubah menjadi hanya tempat untuk memutus perkara dan menghukum orang,
jauh dari sisi humanis yang memperbolehkan simpati dan empati berkelindan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar