Minggu, 24 Juli 2016

Ruang Sidang yang Kering




Si Fulan duduk terpekur penuh kepasrahan ketika keterangannya ditolak oleh Majelis Hakim dengan gestur dan ungkapan yang menyakitkan hatinya. Si Fulan baru saja menerangkan bahwa ia terpaksa mengambil sebuah sepatu mahal dari toko tempatnya bekerja demi untuk memuaskan dahaganya mengenakan sepatu bagus ketika bertemu rekan-rekannya sesama petugas security. Ia berharap akan mengembalikan sepatu itu setelah pertemuan dengan rekan-rekannya selesai. Hakim yang menangani perkaranya tidak percaya dengan penjelasan itu, bahkan balik “memaksakan” pendapat bahwa sepatu mewah itu akan dijual dan hasilnya akan dipakai untuk berhura-hura.  Penuntut Umum yang duduk tenang, tersenyum karena tuduhan pencurian yang diajukannya telah terbukti. Sebaliknya Penasihat Hukum berputar-putar mempersoalkan CCTV Toko yang tidak jelas; 

Fulan terdiam pasrah. Tidak ada seorangpun penegak keadilan di ruangan itu yang berempati dengan alasannya. Di suatu toko mewah yang dijaganya dengan gaji tepat di titik Upah Minimum Daerah, ia berharap-harap cemas akan dapat memakai sepatu harapannya itu kelak. Ia tidak sedang berpikir menjadi kaya dan bergonta-ganti sepatu demi memuaskan hasratnya akan barang mewah.Ia hanya berpikir “meminjam” dan memakainya sehari demi sejumput perhatian rekan-rekannya;

Tapi apalah dayanya, Toko yang dijaganya itu terlalu kejam bagi dirinya, Serangkaian penyelidikan yang berujung penangkapan telah membuatnya duduk sebagai Terdakwa. Penuntut Umum dan Hakim akan menentukan lamanya ia harus menjalani pidana setelah berminggu-minggu sebelumnya ia sudah merasakan dinginnya ubin rumah tahanan.

Sketsa kejadian itu nyata terjadi di suatu ruang Pengadilan. Mungkin tidak sama persis, namun sebagai pembawa kerangka berpikir, intisari kejadian itu hadir apa adanya;

Dalam suatu pertemuan dengan Tim PPATK yang berkunjung ke Yogyakarta pada sekitar April 2016, saya mengemukakan keresahan saya tentang jalannya persidangan di Pengadilan. Keresahan itu lahir dari pengalaman dan pengamatan. Juga termasukmendengarkan pendapat,keluhan atau pernyataan rekan-rekan yang sering bersidang dan mengalami langsung penanganan perkara. Keresahan saya itu adalah bahwa sekarang Penuntut Umum dan juga Hakim tidak lagi mengejar motif dalam suatu rangkaian perbuatan pidana melainkan bagaimana fakta persidangan telah memenuhi unsur pasal yang didakwakan;

Pemenuhan unsur pasal dakwaan itu berimplikasi serius karena secara langsung telah mengesampingkan pencarian kebenaran yang selama ini menjadi nafas lembaga peradilan.  Penuntut Umum alpa bahwa hakekat suatu lembaga persidangan adalah mencari kebenaran dan keadilan. Kebenaran dan keadilan itu hadir melalui pemahaman terhadap motif, latar belakang dan alasan terjadinya suatu perbuatan pidana. Dengan melupakan motif, maka yang diperoleh hanyalah suatu rangkaian peristiwa yang kering akan nilai kemanusiaan.

Peradilan kemudian menjelma menjadi hanya sekedar arena peperangan antara Penuntut Umum, Penasihat Hukum bahkan kadang-kadang Hakim yang memihak. Adu taktik dan strategi dilancarkan demi untuk mengiyakan dan menidakkan isi dakwaan. Dalam praktek yang massif di berbagai lembaga pengadilan (bahkan bermula pada saat penyelidikan), seakan-akan terdapat suatu garis batas yang jelas antara motif yang tidak penting diungkap dengan perbuatan yang mencocoki rumusan pasal. Khazanah pengetahuan hukum memberi batas yang lain setelahnya dengan titik voltoid (delik sempurna). Terkadang penegak hukum masih berupaya membongkar motif, meskipun upaya itu banyak dilakukan sekedar basa-basi yang tidak menentukan (sekedar lip service).

Keresahan saya itu sebenarnya bukan hal baru. Michel Foucault telah lebih dulu merasakannya pada tahun 1970-an. Menurut Foucault, wacana hukum sangat tergantung pada kekuasaan tertentu (power), pengetahuan (knowledge) dan relasi antara keduanya yang menghasilkan kebenaran (truth) dan keadilan (justice). Kebenaran bukan lagi resultan dari Penyelidikan dan penyidikan melainkan produk dari suatu sistem  kekuasaan melalui penggalangan pengetahuan.
Foucault

Dalam “Truth and Judicial Forms” Foucault menuliskan, Pengetahuan dan kebenaran bukanlah produk alamiah dari sebuah penyelidikan dan penyidikan objektif, melainkan sebuah pertempuran, perang, konflik, yang di dalamnya ditemukan berbagai resiko,kesempatan, yang didalamnya bertemu dan bergesekan berbegai kepentingan (politik, ekonomi,sosial, kultural). Pengetahuan dan kekuasaan bersifat timbal balik, korelatif dan saling bertumpuk satu sama lain (superimpose). Tidak ada pengetahuan yang tidak memproduksi kekuasaan, sebaliknya tidak ada kekuasaan yang tanpa memiliki pengetahuan tertentu dalam pengoperasian, perjuangan dan pelanggengannya (Yasraf Amir Piliang, Posrealitas : Realitas Kebudayaan dalam era Posmetafisika)

Pencitraan yang dimaksud Foucault dilaksanakan demi sekedar menggugurkan kewajiban. Hakim bersidang sekedar untuk menggugurkan kewajibannya dalam memutus, Jaksa menggugurkan kewajibannya untuk menuntut dan Penasihat Hukum juga menggugurkan kewajibannya untuk membela. Maka yang terjadi kemudian adalah persidangan semu (pseudo court) karena semua perangkat "bergegas" untuk menyelesaikan tugasnya tanpa memikirkan seperti apa kebenaran dan keadilam. Persidangan kemudian berkembang menjadi angka dan statistik yang kering akan nilai dan penyumbang maraknya angka-angka itu pada hari esok. Kekuasaan para pemilik kewenangan di ruang sidang kemudian dicitrakan sebagai profesi mulia yang dipahat dari gading rutinitas dan ditegakkan di atas pencitraan dan ketakutan
 
Foucault pasti tidak pernah mengikuti persidangan di Indonesia, namun analisisnya tentang kekuasaan dan pengetahuan sangat tepat menggambarkan kondisi ruang sidang pengadilan kita.  Penuntut Umum tidak lagi berpayah-payah membongkar rangkaian peristiwa sebelum hari H dan jam D. Majelis Hakim pun tidak akan menelisik lebih jauh kebenaran pendapat si Fulan. Penuntut Umum, Hakim bahkan Penasihat Hukum telah melakukan framing (pembingkaian) terhadap apa yang akan terjadi di ruang sidang. Framing itu terbentuk dari berbagai variabel yang lebih tepat disebut kendala, antara lain berupa volume perkara, banyaknya agenda, insentif yang seragam atau bahkan kebiasaan yang lahir dari rentetan peristiwa.  Maka Pengadilan pun kemudian berubah menjadi hanya tempat untuk memutus perkara dan menghukum orang, jauh dari sisi humanis yang memperbolehkan simpati dan empati berkelindan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar