Jessica Kulama Wongso (JKW) sedang menjalani persidangan di PN Jakarta Pusat.
Berbagai alat bukti sedang diperhadapkan demi untuk menguak misteri siapa
penabur racun dalam gelas kopi Wayan Mirna Salihin (WMS).
Bagi kita masyarakat awam yang
tidak membaca seluruh berkas perkara, pemahaman kita hanya lahir dari
berita-berita media atau mengikuti sepenggal-sepenggal keterangan saksi di
siaran live tv. Siapapun boleh berkomentar terhadap perkara ataupun jalannya
perkara itu. Pakar atau masyarakat awam sah-sah saja memberikan pendapat baik
yang sifatnya konstruktif ataupun sekedar nyinyir. Setiap orang boleh menjadi
Hakim dan memutus sesuatu. Meskipun kita semua juga menyadari bahwa “vonis”
yang kita berikan hanyalah sekedar pendapat dan rekaan karena vonis yang
sebenarnya datang dari ruang sidang.
Dalam konteks berpendapat itu,
tidak ada salahnya juga kalau tulisan ini ikut-ikutan “nyinyir” terhadap
perkara dengan dakwaan pembunuhan berencana tersebut. Dari berbagai sumber,
dakwaan JKW disusun tunggal dengan menempatkan Pasal 340 KUHP (Pembunuhan
Berencana) sebagai pasal yang diancamkan. Dalam khazanah per-surat-dakwaan-an,
penggunaan Pasal tunggal seperti itu sesungguhnya tidak lazim meskipun tidak
dapat dikatakan salah. Dalam perkara sejenis, Penuntut Umum akan mengajukan
dakwaan berlapis (subsidiaritas) agar perbuatan Terdakwa tidak lolos dari
jeratan hukum. Misalnya dalam Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan Primair, maka 338
KUHP (Pembunuhan) akan menjadi dakwaan subsidiair sedangkan Pasal 351 ayat (3)
KUHP (Penganiayaan yang menyebabkan mati) hadir sebagai Dakwaan Lebih
subsidiair;
Dalam perkara dengan perbuatan
“membubuhkan racun”, formula di atas nampaknya sulit untuk dilakukan. Karena
me-racun adalah suatu perbuatan yang direncanakan untuk membunuh dan sejak awal
tidak diniatkan untuk menganiaya. Dengan formula itu, kalau perbuatan
“merencanakan” tidak dapat dibuktikan oleh Penuntut Umum maka hanya ada satu
kemungkinan yang dapat terjadi di ruang sidang yaitu Terdakwa di-BEBAS-kan.
Hampir mustahil, Majelis Hakim akan beralih ke Pasal subsidair dan lebih
subsidiair (kalaupun didakwakan);
Siapa yang membubuhkan Racun ?
Persoalan tentang siapa yang
membubuhkan racun akan menjadi porsi terbesar dalam perdebatan di ruang sidang.
Disinilah sebenarnya titik kritis dalam persidangan. Siapa yang memenangkan
pertempuran di titik ini ialah yang akan keluar sebagai pemenang. Untuk itu, tulisan
berikut ini akan membahas kemungkinan-kemungkinan argumen yang terjadi dan
kemungkinan besar akan menjadi materi Surat Tuntutan ataupun Pembelaan
Versi Penuntut Umum
Penuntut Umum akan berusaha
membuktikan bahwa JKW adalah pelaku yang membubuhkan racun dalam gelas kopi
WMS. Dalam tayangan CCTV yang diperlihatkan media, rasanya tidak terlihat siapa
pelaku yang membubuhkan racun. Apakah
dengan demikian tidak ada alat bukti yang menguatkan dakwaan Penuntut Umum ?
Dalam sistem pembuktian dikenal ada yang namanya alat bukti mutlak dan alat
bukti kuat, yang secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut : Bilamana
seorang lelaki dan seorang wanita yang bukan muhrim masuk ke dalam suatu
penginapan esek-esek dan dapat dipantau lewat CCTV keduanya melakukan
perzinahan maka sesungguhnya telah diperoleh alat bukti mutlak. Namun bilamana
penginapan itu tidak memiliki CCTV, maka seseorang yang melihat keduanya masuk
dalam kamar dapat dikategorikan sebagai
alat bukti kuat. Apakah hal itu tidak dapat disebut sebagai asumsi ? Ya, tentu
saja karena tidak ada panca indera yang mempersepsi kejadian tersebut secara
langsung maka hal itu dianggap asumsi. Namun demikian, asumsi itu adalah asumsi
yang berdasar. Asumsi yang berdasar diperlukan dalam sistem hukum untuk
melindungi korban yang mengalami suatu kejahatan namun bukti yang diajukan
sangat minim. Apalagi dizaman ini, masyarakatnya semakin pandai bersandiwara
dan berakting.
Dalam kasus JKW, bilamana gelas
kopi yang bergerak dari meja pembuatan sampai ke meja tamu diasumsikan tidak
dibubuhi racun (termasuk dalam sedotan), maka satu-satunya locus kemungkinan
yang terjadi adalah di meja tamu. Pada posisi kopi di meja tamu, hanya ada satu
orang yang duduk dan memiliki kuasa terhadap gelas kopi yaitu JKW. Ada jeda
waktu tertentu yang hadir antara ketika kopi diletakkan dalam gelas dan ketika
kopi dilihat oleh pelayan telah berubah warna. Bilamana terjadi dua hal maka
Penuntut Umum boleh dikatakan telah berada di atas angin. Kedua hal itu adalah
: Pertama, tidak ada orang lain yang mendekati gelas kopi selain JKW, dan
Kedua, perubahan warna itu adalah benar karena telah masuknya racun sianida.
Untuk hal pertama dapat dibuktikan melalui kamera pemantau CCTV dan keterangan
saksi sedangkan untuk hal yang kedua dapat dilakukan uji langsung di depan
ruang persidangan;
Bila itu terjadi maka berlakulah
apa yang disebut sebagai Argumentum ad ignorantium. Argumentasi tentang suatu
proposisi adalah benar karena tidak terbukti salah, atau suatu proposisi adalah
salah karena tidak terbukti benar.
Versi Penasihat Hukum
Penasihat Hukum akan selalu mempertanyakan
physical evidence (bukti fisik) dalam persidangan. Alasan ini sengaja diajukan
karena kelemahan alat-alat bukti yang diajukan Penuntut Umum. Tidak ada saksi
atau CCTV yang dapat menjelaskan dengan gamblang perbuatan JKW menabur racun
dalam gelas kopi WMS. Ketiadaan bukti
fisik itu menempatkan posisi Penasihat Hukum lebih tenang dalam persidangan
karena tugas mereka hanya menyanggah dan membantah. Setiap keterangan saksi
akan diragukan dan dicarikan celah untuk diragukan juga oleh Majelis Hakim.
Penasihat Hukum juga akan
menggoyahkan keyakinan Hakim dan Publik dengan selalu bersikap pesimis terhadap
alat-alat bukti yang diajukan Penuntut Umum. Itu memang hak dan senjata Penasihat
Hukum.
Dalam sistem hukum common law,
ketiadaan bukti fisik dapat menyebabkan kasus ditutup. Dalam perkara OJ.
Simpson, ketiadaan bukti fisik mengakibatkan OJ dibebaskan oleh Hakim. Demikian
pula dalam rancangan KUHP yang baru, bukti fisik dianggap sedemikian penting
sehingga ditempatkan pada posisi teratas alat bukti;
Jangan lupakan Motif Perbuatan
Bagaimanapun proses pembuktian silih
berganti dilakukan Penuntut Umum dan Penasihat Hukum, Publik dan seluruh
perangkat persidangan juga harus mencermati motif perbuatan si pelaku. Kalaupun
JKW dianggap menabur racun di gelas WMS, harus ada alasan yang kuat di belakang
perbuatan tersebut. JKW adalah seorang terpelajar yang memiliki rekam jejak
jelas. Dia bukan seorang psikopat yang tiba-tiba punya rencana membunuh orang
lain tanpa alasan jelas. Alasan itu harus sedemikian kuatnya hadir sehingga
jalan pintas untuk menghilangkan nyawa dilakukan dengan racun.
Pembunuhan dengan racun adalah
bentuk pembunuhan yang jarang dilakukan. Dalam sejarah, racun hanya digunakan
untuk membunuh tokoh-tokoh politik, artis/seniman atau orang-orang penting
lainnya. Tentu saja Racun dapat dengan mudah digunakan di kalangan masyarakat
umum karena sifatnya yang gampang dimanipulasi dan mudah diperoleh. Dalam
prakteknya, penggunaan racun hanya dilakukan karena adanya dendam yang kuat. Untuk
itu, pencarian motif pelaku harus menjadi prioritas Hakim. Memang persidangan
akan semakin panjang dan lama. Tapi itu lebih baik daripada orang terus berada
di alam keraguan, atau setidaknya kita tidak berharap menjadi ex falso qua libet
(dari yang palsu bisa benar bisa salah)