Kita tidak
tahu apakah Nazaruddin sedang berhalusinasi, membumbui cerita ataukah
mengabarkan kebenaran ketika di jaringan Skipe menyatakan bahwa ia baru saja
lolos dari percobaan pembunuhan. Dalam dunia komunikasi yang serba kompleks
seperti sekarang, kebenaran kadangkala hanya diartikan seberapa banyak ia
dikonsumsi publik dan terus-menerus disegarkan oleh media. Pembuktian sendiri
sudah dianggap sebagai hal terpisah yang dimaknai tidak berhubungan dengan
kejadian awal.
Pembunuhan
(dalam arti yang nyata), oleh sebagian orang masih dianggap sebagai metode
paling efektif untuk menyelesaikan suatu urusan. Bahkan dalam dunia politik,
pembunuhan tidak hanya merubah kebijakan politik negara tetapi juga sampai membelokkan nasib suatu bangsa.
Siapa yang
menyangka karir cemerlang seorang tokoh muda seperti John F. Kennnedy harus
berakhir di ujung peluru ? Simak pula rentetan pembunuhan yang terjadi pada
klan Nehru yang bermula dari Jawaharlal Nehru, anaknya Indira Gandhi hingga
cucunya Rajiv Gandhi. Atau pada kasus Yitzhak Rabin dan Benazir Bhutto yang
tewas ketika sedang menapak kembali kesuksesan yang pernah mereka raih. Dari
khazanah dalam negeri kita juga mengenal beberapa. Pembunuhan terhadap tokoh-tokoh
politik serial Mpu Gandring mulai dari Tunggul Ametung, Ken Arok (Sri Rajasa),
Anusapati hingga Tohjaya. Pendeknya, sejak zaman dulu, pembunuhan tokoh-tokoh
politik bukanlah hal baru.
Terkait
dengan hal ini, terdapat sebuah novel menarik yang menggambarkan bagaimana
proses dan berlikunya upaya pembunuhan terhadap seorang tokoh politik. Buku itu
ditulis oleh Frederick Forsyth dengan judul The Day of the Jackal. Oleh
penerbitnya Arrow Books, London, buku ini diklaim sebagai salah satu dari 100
novel kriminal terbaik sepanjang sejarah. Sebagai jurus pemasaran, penerbit
novel ini juga menyatakan bahwa novel ini telah mengilhami berbagai peristiwa
serupa di berbagai belahan dunia. Yigal Amir, seorang militan ekstrem kanan
membunuh Yitzhak Rabin PM Israel pada 1995 kabarnya karena terinspirasi buku
ini.
Sebenarnya
alur cerita novel ini sangat sederhana. Ia hanya menggambarkan bagaimana
seorang pembunuh profesional direkrut oleh suatu kelompok politik untuk
membunuh tokoh politik terkemuka yang menjadi Presiden Perancis, Charles De
Gaulle. Hal yang luar biasa dan digarap dengan sangat detil oleh Forsyth adalah
liku perjalanan sang pembunuh dengan berbagai cara dan modus operandi yang
dilakukan sebelum ia melakukan pembunuhan. Ketekunan menganalisis setiap detil
cerita menjadikan novel ini (klaim dari penerbit juga) seringkali ditiru dengan
sukses oleh kelompok penjahat. Hal-hal kecil seperti pemilihan jenis senjata,
cara penyimpanan, pelatihan hingga pemalsuan paspor dijelaskan dengan sangat
lengkap dan runtut nyaris tanpa cela.
Novel yang
sampul depannya bergambar siluet Jenderal De Gaulle dengan topi militernya
(sekilas mirip pak Harto pada film G-30 S) juga menganut pakem lama dalam dunia
pustaka. Pola lama itu diantaranya adalah bahwa penjahat selalu selangkah di
depan aparat, tidak ada kejahatan yang sempurna serta kebaikan akan selalu
menang melawan kejahatan.
Kelemahan
novel ini adalah bangunan pengertian tentang landasan pembunuhan atas dasar
politik kurang mendapat sentuhan yang serius. Pembaca hanya diberi petunjuk
bahwa kebijakan De Gaulle dalam kasus pemberian kemerdekaan terhadap Aljazair
tidak disetujui oleh seluruh kekuatan politik Perancis pada saat itu.
Pembunuhan,
masa kini di Indonesia.
(Foto : Kompas/Suhartono) |
Pembunuhan
terhadap tokoh-tokoh politik di Indonesia relatif sepi atau hampir tidak ada
yang menonjol sepanjang orde baru. Pada zaman orde lama, Presiden Soekarno
beberapa kali mendapat percobaan pembunuhan meski selalu gagal. Apakah saat
ini, 66 tahun setelah merdeka, tradisi pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik
telah berakhir ? jawabannya, mungkin belum. Alasannya sederhana, pengamanan
terhadap pejabat tinggi atau tokoh-tokoh partai/masyarakat selalu dilakukan
secara terbuka melibatkan pengerahan pasukan pengamanan secara menyolok.
Pejabat kita masih dicekam ketakutan akan dibunuh atau dihabisi bahkan untuk
alasan yang tidak jelas.
Padahal
mekanisme pembunuhan jaman sekarang juga telah turut menyesuaikan diri dengan
tuntutan zaman. Kalau seorang tokoh politik hendak dihabisi karir politiknya,
sejarah negara ini menyediakan berbagai modus operandi yang dapat dikenali
dengan mudah. Ada yang video asusilanya di obral habis melalui media, ada yang
tiba-tiba terjerat kasus untuk sesuatu yang terjadi puluhan tahun sebelumnya, ada
yang diberi jabatan tertentu lalu dalam jabatan itu dikecam berramai-ramai, bahkan
ada pula yang mendadak mendapat penugasan ke tempat lain yang jauh dari
tempatnya beraktifitas.
Berbagai
teori konspirasi kemudian tumbuh di tengah masyarakat. Mulai dari Teori
pengalihan kasus, Teori pencitraan sampai Teori persiapan pemilihan pejabat
publik. Masyarakat tentu saja semakin cerdas memberikan penilaian. Masyarakat
tahu siapa saja yang sedang “dibunuh” atau siapa saja yang sedang “dikarbit”
untuk menduduki jabatan publik.
Jadi,
pembunuhan tidak perlu dilakukan kalau hanya untuk menghentikan karir
seseorang. Cukup dimatikan secara perdata, sosial atau bahkan politik maka
orang tersebut akan mati dengan sendirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar