Minggu, 04 September 2011

Pembunuhan Tokoh Politik (Inspirasi dari The Day Of The Jackal)

Kita tidak tahu apakah Nazaruddin sedang berhalusinasi, membumbui cerita ataukah mengabarkan kebenaran ketika di jaringan Skipe menyatakan bahwa ia baru saja lolos dari percobaan pembunuhan. Dalam dunia komunikasi yang serba kompleks seperti sekarang, kebenaran kadangkala hanya diartikan seberapa banyak ia dikonsumsi publik dan terus-menerus disegarkan oleh media. Pembuktian sendiri sudah dianggap sebagai hal terpisah yang dimaknai tidak berhubungan dengan kejadian awal.
Pembunuhan (dalam arti yang nyata), oleh sebagian orang masih dianggap sebagai metode paling efektif untuk menyelesaikan suatu urusan. Bahkan dalam dunia politik, pembunuhan tidak hanya merubah kebijakan politik negara tetapi juga sampai  membelokkan nasib suatu bangsa.
Siapa yang menyangka karir cemerlang seorang tokoh muda seperti John F. Kennnedy harus berakhir di ujung peluru ? Simak pula rentetan pembunuhan yang terjadi pada klan Nehru yang bermula dari Jawaharlal Nehru, anaknya Indira Gandhi hingga cucunya Rajiv Gandhi. Atau pada kasus Yitzhak Rabin dan Benazir Bhutto yang tewas ketika sedang menapak kembali kesuksesan yang pernah mereka raih. Dari khazanah dalam negeri kita juga mengenal beberapa. Pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik serial Mpu Gandring mulai dari Tunggul Ametung, Ken Arok (Sri Rajasa), Anusapati hingga Tohjaya. Pendeknya, sejak zaman dulu, pembunuhan tokoh-tokoh politik bukanlah hal baru.
Terkait dengan hal ini, terdapat sebuah novel menarik yang menggambarkan bagaimana proses dan berlikunya upaya pembunuhan terhadap seorang tokoh politik. Buku itu ditulis oleh Frederick Forsyth dengan judul The Day of the Jackal. Oleh penerbitnya Arrow Books, London, buku ini diklaim sebagai salah satu dari 100 novel kriminal terbaik sepanjang sejarah. Sebagai jurus pemasaran, penerbit novel ini juga menyatakan bahwa novel ini telah mengilhami berbagai peristiwa serupa di berbagai belahan dunia. Yigal Amir, seorang militan ekstrem kanan membunuh Yitzhak Rabin PM Israel pada 1995 kabarnya karena terinspirasi buku ini.
Sebenarnya alur cerita novel ini sangat sederhana. Ia hanya menggambarkan bagaimana seorang pembunuh profesional direkrut oleh suatu kelompok politik untuk membunuh tokoh politik terkemuka yang menjadi Presiden Perancis, Charles De Gaulle. Hal yang luar biasa dan digarap dengan sangat detil oleh Forsyth adalah liku perjalanan sang pembunuh dengan berbagai cara dan modus operandi yang dilakukan sebelum ia melakukan pembunuhan. Ketekunan menganalisis setiap detil cerita menjadikan novel ini (klaim dari penerbit juga) seringkali ditiru dengan sukses oleh kelompok penjahat. Hal-hal kecil seperti pemilihan jenis senjata, cara penyimpanan, pelatihan hingga pemalsuan paspor dijelaskan dengan sangat lengkap dan runtut nyaris tanpa cela.
Novel yang sampul depannya bergambar siluet Jenderal De Gaulle dengan topi militernya (sekilas mirip pak Harto pada film G-30 S) juga menganut pakem lama dalam dunia pustaka. Pola lama itu diantaranya adalah bahwa penjahat selalu selangkah di depan aparat, tidak ada kejahatan yang sempurna serta kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan.
Kelemahan novel ini adalah bangunan pengertian tentang landasan pembunuhan atas dasar politik kurang mendapat sentuhan yang serius. Pembaca hanya diberi petunjuk bahwa kebijakan De Gaulle dalam kasus pemberian kemerdekaan terhadap Aljazair tidak disetujui oleh seluruh kekuatan politik Perancis pada saat itu.
Pembunuhan, masa kini di Indonesia.
(Foto : Kompas/Suhartono)
Pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik di Indonesia relatif sepi atau hampir tidak ada yang menonjol sepanjang orde baru. Pada zaman orde lama, Presiden Soekarno beberapa kali mendapat percobaan pembunuhan meski selalu gagal. Apakah saat ini, 66 tahun setelah merdeka, tradisi pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik telah berakhir ? jawabannya, mungkin belum. Alasannya sederhana, pengamanan terhadap pejabat tinggi atau tokoh-tokoh partai/masyarakat selalu dilakukan secara terbuka melibatkan pengerahan pasukan pengamanan secara menyolok. Pejabat kita masih dicekam ketakutan akan dibunuh atau dihabisi bahkan untuk alasan yang tidak jelas.
Padahal mekanisme pembunuhan jaman sekarang juga telah turut menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Kalau seorang tokoh politik hendak dihabisi karir politiknya, sejarah negara ini menyediakan berbagai modus operandi yang dapat dikenali dengan mudah. Ada yang video asusilanya di obral habis melalui media, ada yang tiba-tiba terjerat kasus untuk sesuatu yang terjadi puluhan tahun sebelumnya, ada yang diberi jabatan tertentu lalu dalam jabatan itu dikecam berramai-ramai, bahkan ada pula yang mendadak mendapat penugasan ke tempat lain yang jauh dari tempatnya beraktifitas.
Berbagai teori konspirasi kemudian tumbuh di tengah masyarakat. Mulai dari Teori pengalihan kasus, Teori pencitraan sampai Teori persiapan pemilihan pejabat publik. Masyarakat tentu saja semakin cerdas memberikan penilaian. Masyarakat tahu siapa saja yang sedang “dibunuh” atau siapa saja yang sedang “dikarbit” untuk menduduki jabatan publik.
Jadi, pembunuhan tidak perlu dilakukan kalau hanya untuk menghentikan karir seseorang. Cukup dimatikan secara perdata, sosial atau bahkan politik maka orang tersebut akan mati dengan sendirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar