Beberapa waktu lalu saya
mengikuti tiga buah tes Potensi Akademik guna memenuhi hasrat melanjutkan
studi. Tes yang pertama, sekitar akhir Tahun 2016 di sebuah kampus negeri di
tanah Makassar. Tes kedua adalah tes PAPS yang diselenggarakan Fak. Psikologi UGM
dan yang ketiga, penyelenggaranya adalah Bapennas kerjasama Pasca Sarjana UGM.
Tes kedua dan ketiga dilakukan pada akhir Maret 2017 dan awal April 2017;
Seperti halnya kalau menjalani
ujian sebelum-sebelumnya, saya selalu mengalami rasa inferior/ rendah diri.
Saya berusaha hadir lebih pagi (saya senang hadir jauh lebih cepat), kemudian
mengambil jarak agak jauh dari tempat tes karena tidak tahan mendengar diskusi
dari para calon peserta. Peserta yang dengan semangat berdiskusi mengenai
prediksi/asumsi soal yang akan keluar hanya akan membuat saya gagal fokus
karena ekspektasi saya tentang kehebatan mereka (di daerah saya disebut
“kejagoan”)
Di Makassar, saya hadir lebih
pagi kemudian mencoba memetakan para peserta tes yang berkumpul di depan
ruangan. Beberapa Kajari, Para Kasi, Rekan Jaksa di Badiklat atau beberapa
kawan yang pernah sama-sama bertugas di suatu tempat adalah calon-calon
saingan. Penyakit lama saya mulai kambuh. Saya begitu rendah diri, membayangkan
posisi saya di tengah orang-orang yang saya belum kenal dan hanya pernah
mendengar cerita-cerita tentang “kejagoan” mereka.
Rekan saya yang pernah kuliah
bareng di Jakarta mencoba membesarkan jiwa saya, “santai saja bro, boleh jadi
cerita-cerita kehebatan mereka banyak di bumbu-bumbui” Kita kerjakan saja
seikhlasnya. Soal hasil terserah yang di atas.”
Ketika soal dibagikan, saya mulai
merasakan beratnya tekanan itu. Soal yang sulit ditingkah waktu yang terbatas
mengalihkan perhatian saya dari hal-hal lain. Saya tenggelam dalam soal. Agak
rumit namun semua soal dapat saya selesaikan. Soal matematika yang sering
menjadi momok bagi sebagian kalangan, saya kerjakan dengan cepat. Kadang-kadang
saya membalik metodenya dari deduktif menjadi induktif. Saya diuntungkan model
soal yang pilihan ganda sehingga hanya ada lima kemungkinan jawaban (soal
jawaban terrentang dari a sampai e). Dengan cara membolak-balik model jawaban
itu, saya berhasil menyelesaikan soal pada waktunya.
Setelah menunggu selama beberapa
waktu, nilai jawaban dikeluarkan oleh pihak Badiklat Kejaksaan. Ajaibnya, nilai
saya termasuk salah satu peringkat yang tinggi dari seluruh peserta. Karena
tidak ada nilai yang ditunjukkan, saya Cuma mengira-ngira bahwa nilai tinggi
itu karena saingannya nilai rendah dan sama sekali bukan karena “kepintaran”. Saya
tidak habis pikir, sudah pasti ini keberuntungan atau orang jawa menyebutnya
“bejo”.
Beralih ke tes PAPS yang diadakan
di Jogja, saya juga merasakan hal yang sama. Rasa inferior dan ekspektasi meninggi
karena para peserta adalah anak-anak muda yang jauh di bawah umur saya. Di sini
tidak ada pembedaan antara calon peserta S2 ataupun S3. Satu-satunya pembedaan hanya pada lembar
jawaban yang mencantumkan kode 2 atau 3.
Kesulitan dalam mengerjakan soal
relatif sama dengan di Makassar. Banyak bagian yang sulit bahkan sama sekali
tidak paham meski juga banyak yang mudah dan tidak perlu pemikiran. Soal
matematika juga tidak terlalu sulit meskipun selalu ada celah untuk
menyederhanakan perhitungan. Satu-satunya
halangan berarti ketika menjawab adalah pada bulatan-bulatan jawaban
yang harus dihitamkan. Bentuknya yang kecil lama-lama menjadi kabur karena
pandangan mata tidak beralih ke tempat lain.
Seminggu kemudian muncul
hasilnya, skor saya untuk kemampuan verbal adalah 583, kemampuan kualitatif 683
dan kemampuan penalaran adalah 600. Total keseluruhan skor adalah 656. Saya
mensyukuri nilai ini karena di usia yang tidak muda lagi masih dapat melampaui
angka 600. Menurut info kawan-kawan, skor yang diperlukan untuk mendaftar
program S3 adalah 550.
Beralih Tes TPA yang dilakukan
pihak Bapennas dan Pasca Sarjana UGM, saya ikut saja karena telah membayar
meskipun nilai skor PAPS sudah dapat dipakai untuk mendaftar. Pada hari H, saya
mencoba mengerjakan soal-soal yang diberikan. Ternyata soalnya luar biasa
sulit. Saya memperkirakan soal-soal itu memiliki tingkat kesulitan yang dua
kali lebih sulit ketimbang di Makassar dan PAPS. Soal Kemampuan Kualitatif atau
matematika yang terdiri dari 90 soal hanya mampu saya kerjakan (benar-benar!)
sekitar 30 soal. Sisanya lagi saya bulatin jawabannya tanpa melihat soal
(hehehe).
Setelah selesai secara
keseluruhan, saya menikmati nasi kotak yang disediakan panitia tanpa rasa enak
sama sekali karena masih kesal, tidak puas dengan kemampuan saya mengerjakan
soal. Saya melampiaskan kekesalan saya dengan menulis status di facebook dengan
kata-kata dalam dialek manado, “...rasa-rasa mau picah ini kapala”. Dalam hati
saya membatin, kemungkinan skor saya adalah 400-an, dan kalaupun dapat skor
500, itu sudah bagaikan mukjizat.
Hari ini nilai dikeluarkan oleh
Pasca Sarjana UGM, dan ternyata skor kemampuan verbal saya adalah 69,68,
kemampuan kualitatif 40,03 dan kemampuan penalaran adalah 67,86. Skor
keseluruhan 592,50. What ?????? It’s absolutely miracle. Thanks to Allah,
Alhamdulillah