Minggu
lalu pada suatu dini hari, saya mendapat email dari seorang kawan yang bekerja
sebagai Asisten Hakim Agung di Mahkamah Agung. Beritanya singkat, Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 telah dipublikasikan. Saya langsung
menuju ke link yang disebutkannya dan mendapati kebenaran informasi tersebut.
Saya
kagum dengan proses penyampaian informasi dan publikasinya kepada khalayak
ramai. Kalau dipikir, bukan kali ini saja, Mahkamah Agung yang dipimpin oleh
para tetua itu mengetengahkan ke publik hasil rapat penting untuk mengisi
kekosongan hukum. Jalur penyampaian informasi yang mengandalkan teknologi guna
mengantisipasi kelemahan birokrasi adalah bentuk terobosan yang brilian.
Di
negeri ini, sistem birokrasi telah banyak menghambat berbagai penyampaian
informasi yang cepat dan akurat. Di institusi hukum, informasi baru bisa keluar
berdasar contekan yang penuh paraf disana-sini. Selalu ada bayang-bayang
ketakutan kalau kemudian informasi itu berkembang tidak terkendali dan
menimbulkan ekses. Maka informasi kemudian berkembang menjadi barang mahal yang
penuh perjuangan untuk mengaksesnya;
Di
lembaga lain, informasi harus melalui satu pintu. Tidak boleh ada personil yang
memberikan pernyataan tanpa restu dari pimpinan. Yang terjadi adalah, hampir
seluruh pegawainya mendadak sakit gigi kalau ada jurnalis yang tiba-tiba
mendekat. Hidup mejadi paranoid terhadap orang-orang tertentu yang ingin
meminta akses terhadap sesuatu hal. Sementara di tingkat pimpinan, para ajudan,
staf ataupun bawahan lain terus membentengi, menciptakan barrier yang kuat agar
tidak ada orang lain yang mendekat dan bertanya ini itu.
Memang
ada website yang disediakan, namun saya percaya bahwa website itu hanya sekedar
lip service atau pencitraan semata. Informasi yang hadir bagaikan siaran TVRI
jaman baheula yang menceritakan tentang sisi seremonial dari suatu kegiatan.
Tidak ada analisa yang mencerahkan, yang ada hanya kekaguman dan puja-puji
terhadap keberhasilan, kesuksesan dan langkah maju yang hakekatnya adalah
klaim-klaim sepihak.
Kembali
ke Hasil Rapat Pleno Mahkamah Agung 2016, rapat tersebut seperti biasanya
dilakukan para Hakim Agung, para Panitera dan para Asisten. Semua adalah
jajaran pimpinan yang sangat mengerti persoalan di level akar rumput. Boleh
jadi pemetaan masalah itu dilakukan oleh perwakilan di daerah, namun kesigapan
dan kecepatan para pejabat di Jakarta telah menutupi rentang jarak dan waktu.
Kawan
di Mahkamah Agung itu juga bercerita, DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang
dibahas di level pimpinan adalah kiriman dari daerah. Semua bentuk persuratan
memanfaatkan kecanggihan teknologi melalui jalur email/internet sehingga para
Ketua PN dan Ketua PT tidak perlu hadir secara fisik menghamburkan anggaran MA.
Dengan jalan itu porsi anggaran dapat digeser untuk meningkatkan operasional
dan kinerja pegawai