Otto Hasibuan adalah pengacara
kawakan di negeri ini. Tidak ada yang meragukan sepak terjangnya di dunia
peradilan. Ia telah lama malang-melintang sebagai Penasihat Hukum. Jabatannya
sebagai Ketua Peradi menjadi tonngak pemuncak perjalanan karirnya. Kini dirinya
sedang menjadi sorotan publik ketika menjadi aktor utama pembela gadis manis
yang didakwa menabur racun sianida dalam sebuah gelas kopi. Menarik melihat
sepak terjangnya dalam peradilan yang disiarkan secara langsung oleh media
televisi;
Dalam persidangan tersebut, Otto
Hasibuan berusaha menciptakan keraguan atas berbagai keterangan saksi maupun
barang bukti. Publik pun dibuatnya terperangah dengan model pembelaan demikian.
Sikapnya yang tenang dan percaya diri menguatkan keyakinan sebagian orang bahwa
ketiadaan direct evidence (bukti langsung) akan menjadi kartu as bagi kliennya.
Publik juga terperangah ketika dengan lugas dan “merangkak”, ia mempertanyakan
keaslian barang bukti kopi dalam botol, akurasi pengujian pembanding ataupun
keaslian CCTV yang dihadirkan ahli. Hampir dua pertiga dari waktu pembelaannya
diarahkan untuk meragukan keaslian barang bukti;
Mengapa Otto Hasibuan sangat
serius mempertanyakan keaslian barang bukti kopi (termasuk CCTV) dalam persidangan ? Sejauh pengamatan saya, ini seringkali
menjadi titik lemah dalam sebuah rantai penyidikan. Kebanyakan (tidak semua)
penyidik dan Jaksa Peneliti tidak terlalu serius menangani hal ini. Hakekatnya,
perlakuan terhadap setiap barang bukti harus selalu dilengkapi dengan berita
acara. Terhadap barang bukti yang kasat mata terukur dan mudah penanganannya,
berita acara dapat dengan mudah dibuat. Namun terhadap barang bukti yang tidak
terukur, perlakuannya sering membingungkan. Ambil contoh, gelas berisi kopi
vietnam. Ketika sebagian isinya diambil untuk kepentingan apapun termasuk untuk
uji, berita acara menjadi penandanya. Demikian pula ketika dipindahkan ke dalam
botol, berita acara juga harus dibuat. Bahkan ketika hendak diserahterimakan
atau dipindahkan ke tempat lain, harus dilakukan dengan berita acara. Pendeknya
setiap perlakuan terhadap barang bukti harus dilakukan dengan berita acara demi
untuk menjaga keaslian barang bukti.
Bagaimana kalau perlakuan itu
dilakukan tanpa adanya berita acara ? Atau bagaimana ketika barang bukti
diragukan keasliannya ? Maka berlakulah apa yang di negara-negara common law disebut
sebagai doktrin “the fruit of poisonous tree” (buah dari pohon beracun).
Doktrin ini mengandung arti bahwa dari suatu pohon yang beracun, sudah pasti
akan menghasilkan buah yang beracun pula. Jika dibawa ke ranah persidangan, doktrin
ini mengajarkan, sesuatu yang baik dengan cara perolehan yang salah tidak dapat
diterima. Dalam Sistem Peradilan Pidana, doktrin ini diterapkan, terhadap alat
bukti yang diambil secara melawan hukum tidak dapat diterima sebagai alat bukti
yang sah. Alat bukti demikian harus dikesampingkan. Doktrin ini kemudian
berkembang menjadi asas “exclutionary rules”, suatu mekanisme kontrol untuk
penyidik sebagai mata rantai awal pemeriksaan suatu perkara pidana (Menuju
Sistem Peradilan Pidana yang Akusatorial dan Adversarial : Butir-butir pikiran
Peradi untuk Draft RUU-KUHP) Tentu saja, alat-alat bukti (termasuk barang
bukti) yang diperoleh dengan cara-cara yang melanggar aturan/ prosedur
pengambilan barang bukti maka keberadaannya di persidangan dianggap tidak sah
dan tidak dapat dipergunakan untuk memperkuat pembuktian;
KUHAP Pasal 184 memang
menyebutkan adanya “alat bukti yang sah”, meskipun tidak jelas, pengertian dan
makna dari kata “sah” tersebut. Dalam beberapa perkara yang berkaitan dengan
lingkungan hidup, metode, perlakuan, waktu atau tempat pengambilan sampel
seringkali menjadi pintu masuk untuk meragukan keaslian barang bukti. Ketika
Penuntut Umum tidak dapat membuktikan keaslian barang bukti atau menggunakan
alat bukti yang tidak sah (seperti asas “Miranda Rule”) karena tidak sesuai
dengan kaidah penanganan alat bukti yang tepat maka Penasihat Hukum tinggal
duduk manis sambil tersenyum menunggu pembebasan kliennya;
UU Mahkamah Konstitusi No. 24
Tahun 2003, yang mengatur hukum beracara di MK, Pasal 36 ayat (2) dan (3) secara
tegas menyebutkan bahwa alat bukti harus dapat dipertanggungjawabkan
perolehannya secara hukum dan apabila tidak dapat dipertanggungjawabkan
perolehannya secara hukum maka tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang
sah;
Otto sangat jeli melihat celah
ini, dia meletakkan “bala tentaranya” pada area pertempuran yang justru menjadi
titik lemah lawannya. Dia juga cerdik memposisikan argumennya pada bagian yang rawan
dalam pola komunikasi penyidik dan peneliti perkara. Otto bahkan menyerang
pondasi pembuktian yang menjadi awal mula pertahanan dan serangan lawannya.
Dengan mengambil posisi yang menguntungkan itu, ia berharap pembuktian musuh
akan runtuh bak rumah kartu yang kehilangan pijakannya;
Lalu, apakah dengan demikian Otto
akan mudah menjadi pemenangnya ? Tentu saja tidak sesederhana itu. Ada berbagai
variabel yang mempengaruhi proses persidangan. Ada banyak kartu yang terdapat
di atas meja. Asas “ exclutionary rules” secara legal belum diterapkan dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia. Sistem negeri ini masih mengakomodasi
pengarusutamaan kebenaran materiil, sebagaimana Yahya Harahap menggunakan pisau
analisis “the theory of priority right (teori hak yang lebih diprioritaskan)”.
Apakah lebih mendahulukan dan mengutamakan hak individu semata dengan jalan
menutup mata atas kepentingan publik ? atau dengan ungkapan yang lebih kongkret
: apakah tepat dan adil untuk melepaskan terdakwa dari tuntutan dan
pertanggungjawaban hukum, hanya atas alasan pada saat pemeriksaan penyidikan,
penyidik melanggar Miranda Rule ?”