Dewasa ini berkembang pemahaman baru di kalangan para
penegak hukum yang
berkecimpung di dunia peradilan dalam kaitannya dengan
keterangan ahli. Pemahaman konvensional selama ini, keterangan ahli sebagaimana
Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan pemahaman baru yang saya maksud
adalah bahwa keterangan ahli bersifat lentur sehingga dapat dibentuk sesuka
hati sesuai keinginan pihak pemesan (Penasihat Hukum ataupun Penuntut Umum).
foto : surabaya.bpk.go.id |
Pemahaman itu diperoleh bukan berdasarkan analisis teori
yang rumit ataupun doktrin yang lahir di tengah perjalanan hukum kita.
Pemahaman itu muncul lebih pada pengalaman-pengalaman yang lazim dijumpai di
ruang sidang.
Perdebatan dalam menilai keterangan ahli antara Penuntut
Umum dan Penasihat Hukum yang sering muncul di ruang sidang dapat dibedakan
atas dua hal :
1) Perdebatan mengenai kapasitas keahlian
seorang ahli
Masalah pertama yang segera tampak
ketika seorang ahli duduk di depan persidangan berkaitan dengan latar belakang
atau kompetensi seorang ahli.
“Keahlian khusus” sebagaimana Pasal 1
angka 28 KUHAP dimaknai sebagian kalangan, dapat lahir dari dua hal. Yang
pertama lahir dari latar belakang akademik atau pendidikan formal /informal yang
pernah dijalani. Sedangkan yang kedua datang dari pengalaman atau kemampuan
melaksanakan suatu pekerjaan dalam rentang waktu yang lama sehingga person yang
bersangkutan paham dan memiliki “keahlian khusus.
Dalam prakteknya, seorang ahli yang
datang dari kalangan terdidik secara akademik hampir tidak pernah dipersoalkan
kapasitas keilmuannya. Padahal semua orang juga paham bahwa latar belakang
pendidikan tidak selalu berkorelasi positif dengan kapabilitas seseorang
tentang sesuatu hal. Apalagi, pada masa ketika dunia keilmuan semakin
terpesialisasi dalam wilayah-wilayah yang lebih sempit, hampir susah mencari seorang
generalis yang pemahamannya terhadap suatu persoalan bersifat komprehensif dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Hal tersebut berbeda dengan “ahli”
yang hadir melalui pengalaman melaksanakan pekerjaan yang selalu menjadi tema
penting perdebatan. Sebagian perangkat persidangan bahkan cenderung melecehkan
melalui gaya bahasa/pertanyaan terhadap seorang ahli yang hanya berlatar
belakang tamatan SMA atau sekolah kejuruan;
2) Perdebatan mengenai materi keterangan
ahli
Substansi keterangan ahli
sesungguhnya berada di wilayah ini. Perdebatan yang terjadi seharusnya berada
pada tataran metode penarikan kesimpulan dan bukan pada hasil. Metode
sebenarnya dapat didekati melalui suatu SOP (standar operating procedure) sehingga
akurasi pelaksanaannya mendapat imbangan berupa parameter yang jelas. Dalam
praktek, pada bagian ini, orang seringkali mempersoalkan masalah hasil. Dengan
mempersoalkan hasil, peserta sidang sebenarnya sedang bergerak di luar domain
yang dipahaminya.
Kedua hal tersebut
menurut Arthur Best sebagaimana dikutip Eddy OS Hiariej (2012) dapat
ditambahkan dengan jenis keterangan dan berkaitan dengan corak kesaksian. Jenis
keterangan ini berkaitan dengan pengetahuan atau penelitian atau observasi yang
dilakukan ahli di luar pengadilan. Dedangkan corak kesaksian berkaitan dengan
pendapat atau kesimpulan topik yang dijelaskan dengan pembatasan untuk menyatakan
secara eksplisit apakah terdakwa yang sedang diproses bersalah telah melakukan
suatu kejahatan.
Bagaimana seharusnya
pendapat hakim apabila dalam persidangan bertemu dengan seorang ahli yang
memberikan pendapat berdasarkan keahlian dan pengetahuannya ?
Terhadap keterangan ahli ini, dalam pengalaman saya,
masih terdapat dua sikap yang biasa ditunjukkan Hakim terutama dalam kaitannya
dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Yang pertama, Hakim berpendapat bahwa keterangan ahli
tidak mengikat bagi majelis Hakim dalam menentukan putusan atau pertimbangan
putusan. Kelompok Majelis hakim ini berpandangan bahwa Hakim tidak dapat
diintervensi oleh siapapun ketika membuat putusan. Kelompok yang pertama ini adalah kelompok
mayoritas dalam dunia peradilan. Banyak majelis Hakim yang memandang bahwa
banyak ahli yang dalam memberikan keterangan bersikap tidak netral. Ini
sebenarnya merupakan imbas dari perdebatan lama yang belum selesai dalam dunia
filsafat ilmu tentang apakah suatu ilmu bebas nilai/kepentingan. Sistem
keilmuan kita memang selalu menempatkan para pencarinya pada posisi untuk bebas
menjatuhkan pilihan. Tidak ada kebenaran tunggal dalam setiap konklusi sehingga
setiap jawaban selalu membuka kemungkinan adanya jawaban-jawaban lain yang juga
benar.
Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita (2003),kekuatan
alat bukti berupa keterangan ahli bersifat bebas, karena tidak mengikat seorang
hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinannya. Guna
keterangan ahli di persidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk menemukan
kebenaran dan hakim bebas mempergunakan sebagai pendapatnya sendiri atau tidak.
Apabila bersesuaian dengan kenyataan yang lain di persidangan, keterangan ahli
diambil sebagai pendapat hakim sendiri. Jika keterangan ahli tersebut
bertentangan bisa saja dikesampingkan oleh hakim. Namun yang perlu diingat
bahwa apabila keterangan ahli dikesampingkan harus berdasar alasan yang jelas.
Karena hakim masih mempunyai wewenang untu meminta penelitian ulang bila memang
diperlukan.
Kelompok kedua adalah hakim yang memiliki pandangan
lebih moderat dengan mengakui bahwa keterangan ahli bersifat mengikat sepanjang
ada kondisi atau syarat tertentu. Syarat atau kondisi yang dimaksud biasanya
berkaitan dengan relevansi atau kompetensi ahli yang memberikan keterangan
dibandingkan dengan latar belakang pengalaman atau akademik majelis Hakim yang
bersangkutan.
Prof. Dr. Surya jaya, SH. MHum yang pernah mengajar mata
kuliah hukum pidana ketika saya masih duduk di bangku kuliah strata 1 adalah
penganut kelompok kedua. Beliau berpendapat bahwa Hakim dapat saja
mengenyampingkan keterangan ahli sepanjang keterangan tersebut tidak relevan
ataukah merupakan bidang kompetensi dari Hakim yang memeriksa perkara. Sebaliknya dapat menjadi imperatif manakala
keterangan ahli tersebut bersifat menentukan, misalnya keterangan ahli
pemeriksaan sidik jari, forensik atau balistik tidak dapat dikesampingkan. Oleh
karena itu keterangan ahli dalam perkara a quo tidak dapat dikesampingkan
berhubung sangat urgen dan bersifat guna menentukan siapa pelaku sesungguhnya. Bahwa
konsekwensi hukum yang ditimbulkan dengan tidak digunakannya keterangan ahli
balistik dan forensik oleh Judex Facti, merupakan suatu kekeliruan karena telah
mengesampingkan tujuan dari pemeriksaan perkara pidana untuk mencapai kebenaran
materiil atau kebenaran yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk menghindari
terjadi peradilan sesat (menghukum orang yang tidak bersalah) (Dissenting
opinion dalam putusan MA pada kasus Antasari Azhar).