(Refleksi
Hari Bhakti Adhyaksa Ke- 53, Tanggal 22 Juli 2013)
Tahun
2013 Kejaksaan memasuki usia ke 53 tahun. Suatu usia yang lama, mapan dan
menjanjikan banyak hal yang dapat dilakukan. Perjalanan usia dan harapan di
masa yang akan datang tercermin sebagaimana Tema Hari Bhakti Kejaksaan tahun
ini yaitu “Melalui Hari Bhkati Adhyaksa tahun 2013, mari kita terus tingkatkan
integritas moral dalam rangka pemulihan kepercayaan masyarakat”. Dari tema tersebut setidaknya dapat ditarik
dua hal yang dapat dijadikan sebagai bahan renungan. Yang pertama berkaitan
dengan integritas moral personil kejaksaan, dan yang kedua adalah pemulihan
kepercayaan masyarakat.
Beban Masa Lalu
Dalam
Press Release Transparansi Internasional Indonesia (TII) tanggal 5 Desember
2012, tentang Corruption Perception
Index (CPI) tahun 2012, Indonesia berada pada posisi 32 pada urutan 118 dari
176 yang disurvey. Yang menarik adalah salah satu saran TII berkaitan dengan
peningkatan posisi Indonesia adalah berkaitan dengan dorongan agar Kemandirian
dan kredibilitas kejaksaan, kepolisian dan pengadilan dalam menangani kasus
tindak pidana korupsi terus ditingkatkan.
Survey
terbaru dari Indonesia Legal
Rountable (ILR) berkaitan dengan Indeks Presepsi Negara Hukum pada 31
Mei 2013 menempatkan Indonesia pada angka 4,53. Survei ini berkaitan dengan pandangan masyarakat mengenai lima poin prinsip negara
hukum. Lima prinsip dimaksud adalah pemerintah berdasarkan hukum; independensi
kekuasaan kehakiman; penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi
manusia; akses terhadap keadilan; dan peraturan yang terbuka dan jelas.
Survey lain yang juga baru saja dirilis datang dari Lembaga Transparency Internasional Indonesia pada 8 Juli 2013 yang menempatkan kelembagaan
pemerintah "Kepolisian, Parlemen, dan Peradilan di Indonesia sebagai pelaku
praktek korupsi tertinggi. Menurut informasi Sekjen TII, Dadang Trisasongko
kepada penulis, Kejaksaan dalam survey tersebut dianggap sebagai bagian dari
lembaga peradilan.
Kedua survey tersebut menunjukkan betapa
rendahnya persepsi positif publik terhadap lembaga penegakan hukum. Lembaga
Penegakan Hukum masih dianggap sebagai lembaga yang tidak terbuka terhadap
perubahan, mempertahankan paradigma lama yang berorientasi kekuasaan dan
menempatkan publik lebih sebagai obyek ketimbang subyek.
Ketidakmandirian Kejaksaan sebagai lembaga
penegakan hukum juga menjadi salah satu “titik lemah” Kejaksaan. Dengan posisi
sebagai anggota eksekutif, Kejaksaan menjadi lembaga penegak hukum pemerintah
dan bukan penegak hukum negara. Konsekwensinya, Kejaksaan kemudian memiliki
cara pandang yang sangat “pemerintah sentris”.
Persoalan penegakan hukum kemudian terreduksi hanya menjadi sekedar persoalan
keamanan dan ketertiban, jauh dari logika keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Di negeri Belanda sebagai sumber dari berbagai peraturan pidana
Indonesia, Jaksa Agung selain memimpin institusi Kejaksaan juga bertindak
sebagai pejabat pada Mahkamah Agung (Hoofd Officer van Justitie Hoge Raad). Pemisahan
lembaga Kejaksaan dari struktur eksekutif menjadikan Kejaksaan di negeri
Belanda sedemikian kuat dan berwibawa. Hal itu tercermin pada “keberanian”
Kejaksaan untuk memperkarakan semua pihak yang diduga bersalah apapun posisi
jabatan dan karir politiknya.
Terkait dengan kredibilitas, Kejaksaan tentu
tidak terlepas dari persepsi negatif. Masa
lalu Kejaksaan tidaklah selalu tergores dengan tinta emas. Banyak hal yang
dilakukan Kejaksaan justru dicatat oleh masyarakat dengan tinta merah. Pada
beberapa penanganan perkara yang menonjol, Kejaksaan justru memperlihatkan
sikap yang bertolak belakang dari harapan publik. Perkara kakao mbok minah,
nenek loeana, rasyid rajasa menjadi contoh bagaimana persepsi keadilan versi
kejaksaan berbenturan dengan persepsi keadilan masyarakat.
Persepsi
negatif masyarakat tersebut juga diperparah dengan posisi Kejaksaan yang lebih
memposisikan diri sebagai lembaga kuratif dalam membasmi pelanggaran hukum.
Posisi tersebut tidak salah karena memang ditegaskan dalam UU No. 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan, meski juga tidak sepenuhnya tepat. Dengan posisi tersebut,
Kejaksaan menampakkan diri sebagai institusi yang sangar, kaku dan tidak
bersahabat. Kejaksaan hadir di depan warga dengan “pedang” yang siap menebas
dan memotong. Benak publik kemudian merekonstruksi peran Kejaksaan hanya
sebagai lembaga penuntut dan eksekusi yang tidak menyenangkan dan merampas
kemerdekaan “anak-anaknya”.
Padahal
Kejaksaan juga memiliki peran lain yang tidak kalah pentingnya. Peran preventif
yang selama ini terkesan terlupakan harus mulai di angkat ke permukaan dan
dikenalkan di tengah-tengah masyarakat. Pencegahan pelanggaran hukum terutama
dalam penanganan perkara korupsi harus menjadi prioritas yang sama pentingnya
dengan aspek penindakan.
Dalam
peran pencegahan, Kejaksaan hadir menampakkan senyum, sikap welas asih dan
pembimbingan yang membahagiakan. Orientasi pelayanan harus dikedepankan dan
menempatkan warga sebagai sharing partner yang setara. Anggapan “presumption of
gulity” yang hadir dalam benak para penegak hukum setiap kali menangani perkara
harus dikesampingkan guna memulihkan kepercayaan masyarakat.
Prospek ke depan
Dengan
berbagai persoalan masa lalu yang membebani langkah Kejaksaan, maka di masa
datang boleh jadi peran Kejaksaan akan semakin berkurang. Kewenangannya mungkin
saja akan semakin dipreteli seiring dengan meningkatnya peran lembaga penegak
hukum lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada beberapa titik,
peran KPK (meski hanya sebagai lembaga ad hoc) yang semakin besar menggerus
kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan.
Satu-satunya
langkah yang dapat diambil Kejaksaan guna mengukuhkan eksistensinya adalah
dengan mereformasi diri tidak hanya pada tataran birokrasi semata. Friedman
dalam bukunya “Legal Theory” menunjukkan dua hal penting lain diluar perombakan
struktur yaitu berkaitan dengan substansi dan kultur. Substansi meliputi aturan, norma, dan pola
perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Sedangkan Kultur berkaitan
dengan sikap manusia terhadap hukum (kepercayaan), nilai, pemikiran, serta
harapannya
Institusi
dan personil Kejaksaan harus kembali pada nilai-nilai dasar yang menempatkan
hukum dalam ruang sosial yang tidak rigid. Masyarakat terus-menerus mengalami
transformasi, sehingga hukum meski tertatih-tatih juga harus mengejar setiap
peristiwa (het recht hink achter de feiten aan). Dahulu Hakim sering dianggap
sebagai corong undang-undang (la bouche des lois) tetapi nampaknya saat ini, adagium
itu lebih tepat dinisbahkan kepada para jaksa. Para Hakim sudah melangkah maju
dengan menjadikan harapan publik sebagai salah satu pertimbangan putusan sedangkan
para jaksa masih tertinggal, berkutat pada berbagai peraturan dan petunjuk
pimpinan. Sedikit banyak, hal ini berkaitan dengan posisi para hakim sebagai
kekuasaan yang merdeka dan bebas intervensi.
Pada
sisi kinerja, Kejaksaan di masa datang juga harus menunjukkan diri sebagai
institusi yang liat dan alot dalam memerangi tindak pidana. Terkhusus pada
tindak pidana korupsi, Kejaksaan tidak boleh kalah dengan para koruptor. Kado
spesial tahun ini yang menunjukkan bahwa Kejaksaan masih dapat diharapkan
sebagai lembaga penegakkan hukum yang berwibawa adalah terbuktinya di
persidangan kasus Chevron dan kasus IM2 Indosat. Ini perkembangan yang
menggembirakan dan menumbuhkan harapan baru, di tengah apatisme publik yang
memandang sinis langkah Kejaksaan melimpahkan kedua perkara tersebut ke
pengadilan.
Demikian
pula, berkaitan dengan anggaran institusi, Kejaksaan harus terus menerus
mengedepankan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan dalam setiap pengelolaan
keuangan. Anggaran dan pertanggungjawabannya harus dipahami dan diketahui oleh
seluruh personil yang mendedikasikan tenaga dan pikirannya bagi kemajuan
institusi.
Terakhir,
semoga ekspektasi dan pengharapan publik terhadap kemajuan dan kewibawaan
institusi menjadi katalisator lahirnya Kejaksaan yang mandiri dan berwibawa.
Selamat
Hari Bhakti Adhyaksa ke- 53.
Kita basmi kemungkaran,
Kebatilan dan Kejahatan