Awalnya
adalah status di BB Johan Budi, Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi,
“Pandawa tak lagi lima” pada minggu pertama Februari ini. Status itu menjustifikasi
banyak hal. Isu perpecahan, ketidakcocokan bahkan perseteruan kembali naik ke permukaan.
Sebelumnya berkali-kali isu itu muncul meski selalu diredam oleh berbagai pihak
terutama internal KPK yang menganggapnya hanya “sekedar” dinamika dalam suatu
organisasi.
Berpijak
pada berbagai hal, terutama interaksi saya dengan para komisioner KPK mulai
dari latar belakang, sikap keseharian, pandangan dan wawasan masing-masing
Komisioner KPK, saya akan mencoba memberikan ulasan sederhana dengan menukil
watak dan strategi para pelatih sepakbola top dunia. Tentu saja ini sebatas
analisis sederhana yang bisa salah dan bisa pula benar, tergantung pada sisi
mana kita menilainya.
Pada
posisi Ketua Umum bertengger Abraham Samad. Lelaki jebolan Universitas
Hasanuddin dan sebuah kampus ternama di Malaysia ini sering kami panggil dengan
sebutan Ompeng di makassar. Ompeng sepintas dapat disamakan dengan Louis Van
Gaal, pelatih Timnas Belanda dan mantan pelatih Ajax dan Bayern Muenchen.
Filosofi Bola van Gaal berasal dari
Rinus Michel yang menemukan konsep Total Football. Konsep ini menempatkan lapangan sebagai
panggung merekayasa berbagai strategi menyerang bagi semua aktornya. Sikap ini tercermin
pada sikap van Gaal yang mementingkan penyerangan jauh lebih utama ketimbang
pertahanan. “Tidak masalah seberapa banyak bola bersarang di gawang anda, anda
hanya harus membuat gol lebih banyak ke gawang lawan”. Maka kemudian kita
melihat Tim Ajax era Seedorf, Davids dan
Kluivert serta tim Muenchen dengan Scwainsteiger, Lahm dan Ballack menjadi
talenta-talenta muda yang dengan dingin mengekspresikan sikap “penyerangan”
itu.
Abraham
Samad datang dari latar belakang aktivis anti korupsi. Beliau tentu saja minim
pengalaman dalam melakukan pemberkasan suatu perkara korupsi. Kelemahan ini
berlaku umum meski disadari tidak berlaku secara keseluruhan. Demikian pula tim
asuhan van Gaal. Klub yang pernah diasuhnya mengesampingkan berbagai strategi
dan pola permainan. Dalam setiap pertandingan, lawanlah yang harus menyesuaikan
diri berhadapan dengan tim asuhannya. Kelemahan tim dengan nafas demikian
adalah pada rendahnya kualitas pertahanan dalam mengantisipasi serangan lawan.
Ketika tim ini dipenuhi pemain muda, deru serangan itu sangatlah mematikan,
namun ketika pemainnya mulai kelelahan dimakan usia, beban pekerjaan atau
spirit yang kurang maka tim ini dengan mudah menjadi bulan-bulanan lawan.
Sosok
kedua adalah Bambang Wijayanto yang
dapat disamakan dengan pelatih Real Madrid Jose Mourinho. Bambang setipe dengan Mourinho,
utamanya dalam melakukan perang urat syaraf yang menggemparkan pihak lain. Masih ingat dengan wawancara Karni Ilyas pada
awal tahun 2013 ? Serangannya pada institusi DPR, Kejaksaan dan Kepolisian
bagaikan gertakan Mourinho pada lawan-lawannya. Meski demikian, Mourinho punya
kelebihan membuktikan “mulut besarnya”. Ia adalah pelatih hebat yang membuat
klub-klub yang diasuhnya meraih kemenangan demi kemenangan. Kelemahan Mou yang
paling nampak adalah keenggananya untuk melunak. Ia tipe pelatih yang memegang
setiap prinsipnya dengan sangat tegas dan tidak kenal kompromi bahkan walaupun
keadaan mengharuskan kelembutan sikap. Mourinho
adalah pelatih yang menjunjung tinggi kesempurnaan. Ia menelaah segala sesuatu
dengan detil termasuk tahapan-tahapan dalam setiap upaya pencapaian tujuan. Baginya,
tidak ada prestasi yang dapat diraih dengan mengabaikan setiap anak tangga proses.
Mou adalah orang yang pertama hadir di lapangan, membantu menyiapkan setiap program/peralatan
latihan dan juga orang yang terakhir meninggalkan latihan.
Busyro
Muqoddas adalah contoh transformasi yang sangat tepat dari seorang pelatih bernama
Fabio Capello. Pada mulanya, Capello adalah seorang yang sangat konsisten
memegang pola penyerangan dalam setiap pertandingan. Milan Glorie yang pernah
berjaya di zaman Capello adalah kunci utama memenangi banyak gelar. Sikap
ofensif dan trengginas adalah ciri khas anak binaan Don Fabio pada tahun 80-an
dan 90-an. Demikian pula dengan Busyro. Masih ingat ketika Busyro menyerang “senayan”
dengan istilah hedonis ? itu adalah salah satu varian pola penyerangan yang
sangat mengagetkan dan membuat anggota dewan mencak-mencak sebagai hasil dari
latar belakang akademisi yang cenderung independen. Tapi itu zaman dulu. Capello
yang sekarang adalah Capello yang sangat lembut dan cenderung menjaga
keseimbangan dalam bertahan. Bandingkan dengan timnas Inggeris ketika masih
dibawa Capello. Gonta-ganti gelandang dan pemain bertahan dilakukan sedemikian
sering demi untuk menemukan stabilisasi dengan Rooney di depan. Capello yang
sekarang adalah Capello yang lembut dan penuh pertimbangan. Sifat ofensif,
tegas dan “mematikan” beralih menjadi penuh pertimbangan dalam menaga
stabilisasi permainan.
Zulqarnain
dapat pula disamakan dengan pelatih MU Alex Fergusson. Orang tua yang sangat tenang, mumpuni dan
berperan membentuk generasi dalam persepakbolaan. Ilmunya tidak diragukan meski
sebagian besar karirnya dihabiskan hanya dalam satu klub. Demikian pula dengan
Zulkarnain, sebagian besar karirnya dihabiskan di institusi Kejaksaan. Namanya
dalam Kejaksaan tidaklah menjadi pusat perhatian meski perlahan-lahan dan tanpa
ribut-ribut bergerak mendekati sumbu kekuasaan. Fergusson adalah tipe pelatih
yang percaya pada perubahan dengan sendirinya. Perubahan itu harus dilakukan
secara gradual dan tidak boleh tergesa-gesa. Bagi Fergusson, prestasi akan
hadir dengan sendirinya ketika sistem dan personil bergerak sejalan menciptakan
lingkungan yang saling mendukung, tanpa kesan ramai ataupun diintervensi.
Komisioner
terakhir adalah Adnan Pandu Praja yang dapai dibandingkan dengan Andre Villas
Boas. Villas Boas adalah pelatih muda minim pengalaman yang pernah sukses
bersama Porto sepeninggal era Mourinho.
Villas Boas adalah nama yang asing di telinga bahkan setelah memimpin
Porto menjuarai UEFA Cup sampai tiba-tiba berpindah ke Chelsea. Namanya lalu
menjadi familiar meski kemudian harus menuai kegagalan dalam meramu tim
bertabur bintang di Chelsea. Villas Boas akhirnya berlabuh di Tottenham dan
berupaya merajut kembali asa menuju tahta pelatih hebat. Hal penting yang menjadi poin dalam
kepelatihan Villas Boas adalah keinginannya untuk bersikap transparan dalam
pengelolaan klub dan tidak menyukai campur tangan yang berlebihan dan terkesan
intervensi dari pemilik klub.