Kalau
suatu hari anda membangun rumah atau membeli kendaraan dengan cara tunai karena
anda mendapat warisan ataupun melalui kredit karena anda hanya seorang pegawai
negeri pas-pasan, sebaiknya simpanlah semua nota atau kwitansi pembayaran yang
berkaitan dengan pembangunan/pembelian tersebut. Itu penting, karena boleh jadi
suatu waktu ketika anda melakukan kesalahan kecil, rumah atau kendaraan anda
akan diungkit-ungkit oleh penegak hukum. Kesalahan kecil itu tidak perlu harus
berkaitan dengan rumah atau kendaraan anda. Ia dapat berdiri sendiri dan
menjadi portal bagi penegak hukum untuk mempersoalkan kekayaan anda yang diduga
tidak wajar hanya karena anda tidak mengarsipkan nota/kwitansi
pembelian/pembangunan.
Sebagai
contoh ketika anda tanpa sadar, tidak membayar hutang anda pada seorang kawan
meski jumlahnya hanya berkisar ratusan ribu rupiah, maka anda dapat diduga
melakukan tindak pidana penipuan atau penggelapan. Penipuan/penggelapan dalam Pasal
2 ayat (1) huruf q dan r Undang-Undang No. Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang (UU TPPU) dikategorikan sebagai tindak pidana asal yang dapat membawa
implikasi ke arah tindak pidana pencucian uang. Oleh karena UU TPPU tidak
merinci adanya hubungan kausalitas yang tegas antara perbuatan sebagaimana tindak
pidana asal dan aset/harta benda yang dimiliki seseorang maka terbuka ruang
yang luas untuk ditafsirkan sebagai perilaku pencucian uang. Artinya, rumah dan
kendaraan anda akan ikut ditelisik, dari mana sumber pembangunan/pembeliannya.
Ketika anda tidak dapat membuktikan (meski alasannya adalah anda tidak memiliki
metode pengarsipan yang baik) maka rumah dan kendaraan anda akan disita dan
dirampas untuk negara.
Kasus
Gayus Tambunan dapat dijadikan “cermin” yang menarik. Dakwaan Tindak Pidana
Korupsi yang dikenakan terhadap Gayus hanya mencakup kerugian sebesar Rp.570.952.000,-
Atas nama kebenaran dan keadilan, harta benda Gayus yang berjumlah ratusan
milyar rupiah kemudian ikut disita “hanya” karena kepemilikan uang dalam jumlah
besar itu tidak sesuai dengan profile Gayus sebagai seorang pegawai negeri.
Dalam
persidangan tindak pidana korupsi, khususnya berkaitan dengan penggunaan
pasal-pasal yang menunjuk adanya kerugian negara, hubungan kausalitas terjadi
antara perbuatan melawan hukum yang tersurat maupun tersirat dengan kerugian
negara. Hubungan itu harus riil dan tidak boleh berdasar asumsi. Ketika
suatu perbuatan melawan hukum ternyata
tidak dalam posisi “sejajar” dengan besaran kerugian negara maka Majelis Hakim
akan dengan mudah meruntuhkan “rumah kartu” pembuktian Penuntut Umum.
Pendeknya, dalam hukum pidana, asumsi tentang besaran kerugian negara adalah
sesuatu yang diharamkan.
Persoalannya
kemudian menjadi pelik saat Undang-Undang No. Tahun 2010 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (UU TPPU) lahir dan mengetengahkan mekanisme yang selama ini
diharamkan oleh hukum pidana. Ketika Penuntut Umum melimpahkan perkara ke
pengadilan, ia harus yakin dengan didukung oleh minimal dua alat bukti bahwa
perbuatan pidana telah terjadi dan tersangka adalah pelaku perbuatan pidana
tersebut. Anomali tindak pidana pencucian uang terjadi ketika Penuntut Umum
harus membawa Terdakwa ke depan pengadilan hanya berdasar pada asumsi-asumsi
yang diperoleh karena minimnya alat-alat bukti. Asumsi-asumsi itu kelak akan
disandarkan pada Pasal 77 UU TPPU : Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan
hasil tindak pidana. Sekali lagi,
undang-undang tidak menyebutkan bahwa pada saat penyidikan ataupun penuntutan,
tersangka wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil
tindak pidana.
Orang
bisa berdalih bahwa “kepentingan pemeriksaan” yang dimaksud disitu juga
mencakup ketika perkara berada di tingkat penyidikan dan penuntutan. Padahal
kalau melihat posisi Pasal dalam UU TPPU, sangat jelas, bahwa bagian keempat
tentang pemeriksaan di sidang pengadilan merupakan bagian yaang terpisah dari bagian
ketiga tentang Penuntutan.
Dengan
menggunakan konstruksi hukum pidana biasa (minus TPPU), Penyidik atau Penuntut
Umum yang tidak memiliki alat-alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa
harus menghentikan penyidikan/penuntutannya. Sebaliknya, dengan menggunakan
konstruksi TPPU, asumsi atau perkiraan-perkiraan itu menjadi “peluru” bagi
penyidik atau Penuntut Umum untuk melimpahkan perkaranya ke tingkat yang lebih tinggi.
Sekilas
penggunaan mekanisme TPPU itu dapat berpotensi menyelamatkan kerugian keuangan
atau perekonomian negara yang pola penggerogotiannya dilakukan secara halus dan
tidak terdeteksi. Marilah kita berkeliling dan melihat rumah-rumah mewah para
pejabat birokrasi atau membaca berita tentang rekening-rekening dalam jumlah
yang luar biasa sementara profile mereka hanya sebagai pejabat pemerintahan
belaka. Mereka inilah yang dimaksud sebagai corruption
by greed (korupsi dengan alasan serakah). Mereka ini pula yang seharusnya
menjadi sasaran senjata Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tetapi
sesungguhnya, aturan TPPU itu juga berpotensi menerabas pihak yang benar.
Betapa tidak, Masyarakat kita adalah masyarakat yang kurang rapi metode
pengarsipan dokumen/surat-surat pentingnya. Semua masih berprinsip bahwa
pengaturan itu tidak diperlukan sepanjang dilakukan dalam jumlah yang kecil/seadanya
atau pembelian/pembangunan sesuatu tersebut dilakukan tanpa merugikan pihak
lain atau corruption by need (korupsi
dengan alasan ekonomi).
Di
sisi lain, pemerintah kita juga tidak mempunyai mekanisme pencatatan keuangan
atau perekonomian yang menelisik sampai ke dompet setiap warganya. Pemerintah
masih berkutat pada pencatatan keuangan yang sifatnya makro dan belum
menjangkau hingga ke sistem keuangan pribadi warga. Bandingkanlah dengan warga
negara asing yang memiliki sistem pencatatan keuangan rapi. Di Negara-negara
tersebut, Pemerintah mencatat setiap bentuk penerimaan dan pengeluaran keuangan
warga untuk mempermudah proses perpajakan. Sehingga ketika terjadi persoalan,
negara dapat dengan mudah membuka file keuangan warganya sekaligus memastikan
bahwa tidak ada yang salah dengan itu.
Dalam
kondisi demikian, orang bersihpun saat ini harus risih, bukan karena khawatir
ditelisik melainkan karena tidak memiliki bukti pembangunan/pembelian. Slogan
“kalau bersih kenapa harus risih” rasanya harus di perbaharui. Akan lebih tepat
kalau ditambah sehingga menjadi “kalau bersih dan punya kuitansi, kenapa harus
risih”.
Di
tengah moral penegak hukum yang masih sering dipertanyakan warga, marilah kita
berharap bahwa kita semua tidak tidak pernah terjebak pada masalah pidana,
sekecil apapun agar harta/aset kepemilikan kita yang lain tidak ikut ditelisik
dan menjadi masalah baru.