Kamis, 11 Agustus 2016

Siapa Menaruh Racun (2) ?



Otto Hasibuan adalah pengacara kawakan di negeri ini. Tidak ada yang meragukan sepak terjangnya di dunia peradilan. Ia telah lama malang-melintang sebagai Penasihat Hukum. Jabatannya sebagai Ketua Peradi menjadi tonngak pemuncak perjalanan karirnya. Kini dirinya sedang menjadi sorotan publik ketika menjadi aktor utama pembela gadis manis yang didakwa menabur racun sianida dalam sebuah gelas kopi. Menarik melihat sepak terjangnya dalam peradilan yang disiarkan secara langsung oleh media televisi;

Dalam persidangan tersebut, Otto Hasibuan berusaha menciptakan keraguan atas berbagai keterangan saksi maupun barang bukti. Publik pun dibuatnya terperangah dengan model pembelaan demikian. Sikapnya yang tenang dan percaya diri menguatkan keyakinan sebagian orang bahwa ketiadaan direct evidence (bukti langsung) akan menjadi kartu as bagi kliennya. Publik juga terperangah ketika dengan lugas dan “merangkak”, ia mempertanyakan keaslian barang bukti kopi dalam botol, akurasi pengujian pembanding ataupun keaslian CCTV yang dihadirkan ahli. Hampir dua pertiga dari waktu pembelaannya diarahkan untuk meragukan keaslian barang bukti;

Mengapa Otto Hasibuan sangat serius mempertanyakan keaslian barang bukti kopi (termasuk CCTV) dalam persidangan ?  Sejauh pengamatan saya, ini seringkali menjadi titik lemah dalam sebuah rantai penyidikan. Kebanyakan (tidak semua) penyidik dan Jaksa Peneliti tidak terlalu serius menangani hal ini. Hakekatnya, perlakuan terhadap setiap barang bukti harus selalu dilengkapi dengan berita acara. Terhadap barang bukti yang kasat mata terukur dan mudah penanganannya, berita acara dapat dengan mudah dibuat. Namun terhadap barang bukti yang tidak terukur, perlakuannya sering membingungkan. Ambil contoh, gelas berisi kopi vietnam. Ketika sebagian isinya diambil untuk kepentingan apapun termasuk untuk uji, berita acara menjadi penandanya. Demikian pula ketika dipindahkan ke dalam botol, berita acara juga harus dibuat. Bahkan ketika hendak diserahterimakan atau dipindahkan ke tempat lain, harus dilakukan dengan berita acara. Pendeknya setiap perlakuan terhadap barang bukti harus dilakukan dengan berita acara demi untuk menjaga keaslian barang bukti.

Bagaimana kalau perlakuan itu dilakukan tanpa adanya berita acara ? Atau bagaimana ketika barang bukti diragukan keasliannya ? Maka berlakulah apa yang di negara-negara common law disebut sebagai doktrin “the fruit of poisonous tree” (buah dari pohon beracun). Doktrin ini mengandung arti bahwa dari suatu pohon yang beracun, sudah pasti akan menghasilkan buah yang beracun pula. Jika dibawa ke ranah persidangan, doktrin ini mengajarkan, sesuatu yang baik dengan cara perolehan yang salah tidak dapat diterima. Dalam Sistem Peradilan Pidana, doktrin ini diterapkan, terhadap alat bukti yang diambil secara melawan hukum tidak dapat diterima sebagai alat bukti yang sah. Alat bukti demikian harus dikesampingkan. Doktrin ini kemudian berkembang menjadi asas “exclutionary rules”, suatu mekanisme kontrol untuk penyidik sebagai mata rantai awal pemeriksaan suatu perkara pidana (Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Akusatorial dan Adversarial : Butir-butir pikiran Peradi untuk Draft RUU-KUHP) Tentu saja, alat-alat bukti (termasuk barang bukti) yang diperoleh dengan cara-cara yang melanggar aturan/ prosedur pengambilan barang bukti maka keberadaannya di persidangan dianggap tidak sah dan tidak dapat dipergunakan untuk memperkuat pembuktian;

KUHAP Pasal 184 memang menyebutkan adanya “alat bukti yang sah”, meskipun tidak jelas, pengertian dan makna dari kata “sah” tersebut. Dalam beberapa perkara yang berkaitan dengan lingkungan hidup, metode, perlakuan, waktu atau tempat pengambilan sampel seringkali menjadi pintu masuk untuk meragukan keaslian barang bukti. Ketika Penuntut Umum tidak dapat membuktikan keaslian barang bukti atau menggunakan alat bukti yang tidak sah (seperti asas “Miranda Rule”) karena tidak sesuai dengan kaidah penanganan alat bukti yang tepat maka Penasihat Hukum tinggal duduk manis sambil tersenyum menunggu pembebasan kliennya;

UU Mahkamah Konstitusi No. 24 Tahun 2003, yang mengatur hukum beracara di MK, Pasal 36 ayat (2) dan (3) secara tegas menyebutkan bahwa alat bukti harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum dan apabila tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum maka tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah;

Otto sangat jeli melihat celah ini, dia meletakkan “bala tentaranya” pada area pertempuran yang justru menjadi titik lemah lawannya. Dia juga cerdik memposisikan argumennya pada bagian yang rawan dalam pola komunikasi penyidik dan peneliti perkara. Otto bahkan menyerang pondasi pembuktian yang menjadi awal mula pertahanan dan serangan lawannya. Dengan mengambil posisi yang menguntungkan itu, ia berharap pembuktian musuh akan runtuh bak rumah kartu yang kehilangan pijakannya;

Lalu, apakah dengan demikian Otto akan mudah menjadi pemenangnya ? Tentu saja tidak sesederhana itu. Ada berbagai variabel yang mempengaruhi proses persidangan. Ada banyak kartu yang terdapat di atas meja. Asas “ exclutionary rules” secara legal belum diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sistem negeri ini masih mengakomodasi pengarusutamaan kebenaran materiil, sebagaimana Yahya Harahap menggunakan pisau analisis “the theory of priority right (teori hak yang lebih diprioritaskan)”. Apakah lebih mendahulukan dan mengutamakan hak individu semata dengan jalan menutup mata atas kepentingan publik ? atau dengan ungkapan yang lebih kongkret : apakah tepat dan adil untuk melepaskan terdakwa dari tuntutan dan pertanggungjawaban hukum, hanya atas alasan pada saat pemeriksaan penyidikan, penyidik melanggar Miranda Rule ?”