Selasa, 26 Juli 2016

Siapa Menaruh Racun ?





Jessica Kulama Wongso (JKW) sedang  menjalani persidangan di PN Jakarta Pusat. Berbagai alat bukti sedang diperhadapkan demi untuk menguak misteri siapa penabur racun dalam gelas kopi Wayan Mirna Salihin (WMS).

Bagi kita masyarakat awam yang tidak membaca seluruh berkas perkara, pemahaman kita hanya lahir dari berita-berita media atau mengikuti sepenggal-sepenggal keterangan saksi di siaran live tv. Siapapun boleh berkomentar terhadap perkara ataupun jalannya perkara itu. Pakar atau masyarakat awam sah-sah saja memberikan pendapat baik yang sifatnya konstruktif ataupun sekedar nyinyir. Setiap orang boleh menjadi Hakim dan memutus sesuatu. Meskipun kita semua juga menyadari bahwa “vonis” yang kita berikan hanyalah sekedar pendapat dan rekaan karena vonis yang sebenarnya datang dari ruang sidang.

Dalam konteks berpendapat itu, tidak ada salahnya juga kalau tulisan ini ikut-ikutan “nyinyir” terhadap perkara dengan dakwaan pembunuhan berencana tersebut. Dari berbagai sumber, dakwaan JKW disusun tunggal dengan menempatkan Pasal 340 KUHP (Pembunuhan Berencana) sebagai pasal yang diancamkan. Dalam khazanah per-surat-dakwaan-an, penggunaan Pasal tunggal seperti itu sesungguhnya tidak lazim meskipun tidak dapat dikatakan salah. Dalam perkara sejenis, Penuntut Umum akan mengajukan dakwaan berlapis (subsidiaritas) agar perbuatan Terdakwa tidak lolos dari jeratan hukum. Misalnya dalam Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan Primair, maka 338 KUHP (Pembunuhan) akan menjadi dakwaan subsidiair sedangkan Pasal 351 ayat (3) KUHP (Penganiayaan yang menyebabkan mati) hadir sebagai Dakwaan Lebih subsidiair;

Dalam perkara dengan perbuatan “membubuhkan racun”, formula di atas nampaknya sulit untuk dilakukan. Karena me-racun adalah suatu perbuatan yang direncanakan untuk membunuh dan sejak awal tidak diniatkan untuk menganiaya. Dengan formula itu, kalau perbuatan “merencanakan” tidak dapat dibuktikan oleh Penuntut Umum maka hanya ada satu kemungkinan yang dapat terjadi di ruang sidang yaitu Terdakwa di-BEBAS-kan. Hampir mustahil, Majelis Hakim akan beralih ke Pasal subsidair dan lebih subsidiair (kalaupun didakwakan);

Siapa yang membubuhkan Racun ?

Persoalan tentang siapa yang membubuhkan racun akan menjadi porsi terbesar dalam perdebatan di ruang sidang. Disinilah sebenarnya titik kritis dalam persidangan. Siapa yang memenangkan pertempuran di titik ini ialah yang akan keluar sebagai pemenang. Untuk itu, tulisan berikut ini akan membahas kemungkinan-kemungkinan argumen yang terjadi dan kemungkinan besar akan menjadi materi Surat Tuntutan ataupun Pembelaan

Versi Penuntut Umum

Penuntut Umum akan berusaha membuktikan bahwa JKW adalah pelaku yang membubuhkan racun dalam gelas kopi WMS. Dalam tayangan CCTV yang diperlihatkan media, rasanya tidak terlihat siapa pelaku yang membubuhkan racun.  Apakah dengan demikian tidak ada alat bukti yang menguatkan dakwaan Penuntut Umum ? Dalam sistem pembuktian dikenal ada yang namanya alat bukti mutlak dan alat bukti kuat, yang secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut : Bilamana seorang lelaki dan seorang wanita yang bukan muhrim masuk ke dalam suatu penginapan esek-esek dan dapat dipantau lewat CCTV keduanya melakukan perzinahan maka sesungguhnya telah diperoleh alat bukti mutlak. Namun bilamana penginapan itu tidak memiliki CCTV, maka seseorang yang melihat keduanya masuk dalam  kamar dapat dikategorikan sebagai alat bukti kuat. Apakah hal itu tidak dapat disebut sebagai asumsi ? Ya, tentu saja karena tidak ada panca indera yang mempersepsi kejadian tersebut secara langsung maka hal itu dianggap asumsi. Namun demikian, asumsi itu adalah asumsi yang berdasar. Asumsi yang berdasar diperlukan dalam sistem hukum untuk melindungi korban yang mengalami suatu kejahatan namun bukti yang diajukan sangat minim. Apalagi dizaman ini, masyarakatnya semakin pandai bersandiwara dan berakting.
Dalam kasus JKW, bilamana gelas kopi yang bergerak dari meja pembuatan sampai ke meja tamu diasumsikan tidak dibubuhi racun (termasuk dalam sedotan), maka satu-satunya locus kemungkinan yang terjadi adalah di meja tamu. Pada posisi kopi di meja tamu, hanya ada satu orang yang duduk dan memiliki kuasa terhadap gelas kopi yaitu JKW. Ada jeda waktu tertentu yang hadir antara ketika kopi diletakkan dalam gelas dan ketika kopi dilihat oleh pelayan telah berubah warna. Bilamana terjadi dua hal maka Penuntut Umum boleh dikatakan telah berada di atas angin. Kedua hal itu adalah : Pertama, tidak ada orang lain yang mendekati gelas kopi selain JKW, dan Kedua, perubahan warna itu adalah benar karena telah masuknya racun sianida. Untuk hal pertama dapat dibuktikan melalui kamera pemantau CCTV dan keterangan saksi sedangkan untuk hal yang kedua dapat dilakukan uji langsung di depan ruang persidangan;

Bila itu terjadi maka berlakulah apa yang disebut sebagai Argumentum ad ignorantium. Argumentasi tentang suatu proposisi adalah benar karena tidak terbukti salah, atau suatu proposisi adalah salah karena tidak terbukti benar.

Versi Penasihat Hukum

Penasihat Hukum akan selalu mempertanyakan physical evidence (bukti fisik) dalam persidangan. Alasan ini sengaja diajukan karena kelemahan alat-alat bukti yang diajukan Penuntut Umum. Tidak ada saksi atau CCTV yang dapat menjelaskan dengan gamblang perbuatan JKW menabur racun dalam gelas kopi WMS.  Ketiadaan bukti fisik itu menempatkan posisi Penasihat Hukum lebih tenang dalam persidangan karena tugas mereka hanya menyanggah dan membantah. Setiap keterangan saksi akan diragukan dan dicarikan celah untuk diragukan juga oleh Majelis Hakim.

Penasihat Hukum juga akan menggoyahkan keyakinan Hakim dan Publik dengan selalu bersikap pesimis terhadap alat-alat bukti yang diajukan Penuntut Umum. Itu memang hak dan senjata Penasihat Hukum. 

Dalam sistem hukum common law, ketiadaan bukti fisik dapat menyebabkan kasus ditutup. Dalam perkara OJ. Simpson, ketiadaan bukti fisik mengakibatkan OJ dibebaskan oleh Hakim. Demikian pula dalam rancangan KUHP yang baru, bukti fisik dianggap sedemikian penting sehingga ditempatkan pada posisi teratas alat bukti;

Jangan lupakan Motif Perbuatan

Bagaimanapun proses pembuktian silih berganti dilakukan Penuntut Umum dan Penasihat Hukum, Publik dan seluruh perangkat persidangan juga harus mencermati motif perbuatan si pelaku. Kalaupun JKW dianggap menabur racun di gelas WMS, harus ada alasan yang kuat di belakang perbuatan tersebut. JKW adalah seorang terpelajar yang memiliki rekam jejak jelas. Dia bukan seorang psikopat yang tiba-tiba punya rencana membunuh orang lain tanpa alasan jelas. Alasan itu harus sedemikian kuatnya hadir sehingga jalan pintas untuk menghilangkan nyawa dilakukan dengan racun. 

Pembunuhan dengan racun adalah bentuk pembunuhan yang jarang dilakukan. Dalam sejarah, racun hanya digunakan untuk membunuh tokoh-tokoh politik, artis/seniman atau orang-orang penting lainnya. Tentu saja Racun dapat dengan mudah digunakan di kalangan masyarakat umum karena sifatnya yang gampang dimanipulasi dan mudah diperoleh. Dalam prakteknya, penggunaan racun hanya dilakukan karena adanya dendam yang kuat. Untuk itu, pencarian motif pelaku harus menjadi prioritas Hakim. Memang persidangan akan semakin panjang dan lama. Tapi itu lebih baik daripada orang terus berada di alam keraguan, atau setidaknya kita tidak berharap menjadi ex falso qua libet (dari yang palsu bisa benar bisa salah)

Minggu, 24 Juli 2016

Ruang Sidang yang Kering




Si Fulan duduk terpekur penuh kepasrahan ketika keterangannya ditolak oleh Majelis Hakim dengan gestur dan ungkapan yang menyakitkan hatinya. Si Fulan baru saja menerangkan bahwa ia terpaksa mengambil sebuah sepatu mahal dari toko tempatnya bekerja demi untuk memuaskan dahaganya mengenakan sepatu bagus ketika bertemu rekan-rekannya sesama petugas security. Ia berharap akan mengembalikan sepatu itu setelah pertemuan dengan rekan-rekannya selesai. Hakim yang menangani perkaranya tidak percaya dengan penjelasan itu, bahkan balik “memaksakan” pendapat bahwa sepatu mewah itu akan dijual dan hasilnya akan dipakai untuk berhura-hura.  Penuntut Umum yang duduk tenang, tersenyum karena tuduhan pencurian yang diajukannya telah terbukti. Sebaliknya Penasihat Hukum berputar-putar mempersoalkan CCTV Toko yang tidak jelas; 

Fulan terdiam pasrah. Tidak ada seorangpun penegak keadilan di ruangan itu yang berempati dengan alasannya. Di suatu toko mewah yang dijaganya dengan gaji tepat di titik Upah Minimum Daerah, ia berharap-harap cemas akan dapat memakai sepatu harapannya itu kelak. Ia tidak sedang berpikir menjadi kaya dan bergonta-ganti sepatu demi memuaskan hasratnya akan barang mewah.Ia hanya berpikir “meminjam” dan memakainya sehari demi sejumput perhatian rekan-rekannya;

Tapi apalah dayanya, Toko yang dijaganya itu terlalu kejam bagi dirinya, Serangkaian penyelidikan yang berujung penangkapan telah membuatnya duduk sebagai Terdakwa. Penuntut Umum dan Hakim akan menentukan lamanya ia harus menjalani pidana setelah berminggu-minggu sebelumnya ia sudah merasakan dinginnya ubin rumah tahanan.

Sketsa kejadian itu nyata terjadi di suatu ruang Pengadilan. Mungkin tidak sama persis, namun sebagai pembawa kerangka berpikir, intisari kejadian itu hadir apa adanya;

Dalam suatu pertemuan dengan Tim PPATK yang berkunjung ke Yogyakarta pada sekitar April 2016, saya mengemukakan keresahan saya tentang jalannya persidangan di Pengadilan. Keresahan itu lahir dari pengalaman dan pengamatan. Juga termasukmendengarkan pendapat,keluhan atau pernyataan rekan-rekan yang sering bersidang dan mengalami langsung penanganan perkara. Keresahan saya itu adalah bahwa sekarang Penuntut Umum dan juga Hakim tidak lagi mengejar motif dalam suatu rangkaian perbuatan pidana melainkan bagaimana fakta persidangan telah memenuhi unsur pasal yang didakwakan;

Pemenuhan unsur pasal dakwaan itu berimplikasi serius karena secara langsung telah mengesampingkan pencarian kebenaran yang selama ini menjadi nafas lembaga peradilan.  Penuntut Umum alpa bahwa hakekat suatu lembaga persidangan adalah mencari kebenaran dan keadilan. Kebenaran dan keadilan itu hadir melalui pemahaman terhadap motif, latar belakang dan alasan terjadinya suatu perbuatan pidana. Dengan melupakan motif, maka yang diperoleh hanyalah suatu rangkaian peristiwa yang kering akan nilai kemanusiaan.

Peradilan kemudian menjelma menjadi hanya sekedar arena peperangan antara Penuntut Umum, Penasihat Hukum bahkan kadang-kadang Hakim yang memihak. Adu taktik dan strategi dilancarkan demi untuk mengiyakan dan menidakkan isi dakwaan. Dalam praktek yang massif di berbagai lembaga pengadilan (bahkan bermula pada saat penyelidikan), seakan-akan terdapat suatu garis batas yang jelas antara motif yang tidak penting diungkap dengan perbuatan yang mencocoki rumusan pasal. Khazanah pengetahuan hukum memberi batas yang lain setelahnya dengan titik voltoid (delik sempurna). Terkadang penegak hukum masih berupaya membongkar motif, meskipun upaya itu banyak dilakukan sekedar basa-basi yang tidak menentukan (sekedar lip service).

Keresahan saya itu sebenarnya bukan hal baru. Michel Foucault telah lebih dulu merasakannya pada tahun 1970-an. Menurut Foucault, wacana hukum sangat tergantung pada kekuasaan tertentu (power), pengetahuan (knowledge) dan relasi antara keduanya yang menghasilkan kebenaran (truth) dan keadilan (justice). Kebenaran bukan lagi resultan dari Penyelidikan dan penyidikan melainkan produk dari suatu sistem  kekuasaan melalui penggalangan pengetahuan.
Foucault

Dalam “Truth and Judicial Forms” Foucault menuliskan, Pengetahuan dan kebenaran bukanlah produk alamiah dari sebuah penyelidikan dan penyidikan objektif, melainkan sebuah pertempuran, perang, konflik, yang di dalamnya ditemukan berbagai resiko,kesempatan, yang didalamnya bertemu dan bergesekan berbegai kepentingan (politik, ekonomi,sosial, kultural). Pengetahuan dan kekuasaan bersifat timbal balik, korelatif dan saling bertumpuk satu sama lain (superimpose). Tidak ada pengetahuan yang tidak memproduksi kekuasaan, sebaliknya tidak ada kekuasaan yang tanpa memiliki pengetahuan tertentu dalam pengoperasian, perjuangan dan pelanggengannya (Yasraf Amir Piliang, Posrealitas : Realitas Kebudayaan dalam era Posmetafisika)

Pencitraan yang dimaksud Foucault dilaksanakan demi sekedar menggugurkan kewajiban. Hakim bersidang sekedar untuk menggugurkan kewajibannya dalam memutus, Jaksa menggugurkan kewajibannya untuk menuntut dan Penasihat Hukum juga menggugurkan kewajibannya untuk membela. Maka yang terjadi kemudian adalah persidangan semu (pseudo court) karena semua perangkat "bergegas" untuk menyelesaikan tugasnya tanpa memikirkan seperti apa kebenaran dan keadilam. Persidangan kemudian berkembang menjadi angka dan statistik yang kering akan nilai dan penyumbang maraknya angka-angka itu pada hari esok. Kekuasaan para pemilik kewenangan di ruang sidang kemudian dicitrakan sebagai profesi mulia yang dipahat dari gading rutinitas dan ditegakkan di atas pencitraan dan ketakutan
 
Foucault pasti tidak pernah mengikuti persidangan di Indonesia, namun analisisnya tentang kekuasaan dan pengetahuan sangat tepat menggambarkan kondisi ruang sidang pengadilan kita.  Penuntut Umum tidak lagi berpayah-payah membongkar rangkaian peristiwa sebelum hari H dan jam D. Majelis Hakim pun tidak akan menelisik lebih jauh kebenaran pendapat si Fulan. Penuntut Umum, Hakim bahkan Penasihat Hukum telah melakukan framing (pembingkaian) terhadap apa yang akan terjadi di ruang sidang. Framing itu terbentuk dari berbagai variabel yang lebih tepat disebut kendala, antara lain berupa volume perkara, banyaknya agenda, insentif yang seragam atau bahkan kebiasaan yang lahir dari rentetan peristiwa.  Maka Pengadilan pun kemudian berubah menjadi hanya tempat untuk memutus perkara dan menghukum orang, jauh dari sisi humanis yang memperbolehkan simpati dan empati berkelindan.