Selasa, 31 Desember 2013

Bahkan Bersihpun Harus Risih

Kalau suatu hari anda membangun rumah atau membeli kendaraan dengan cara tunai karena anda mendapat warisan ataupun melalui kredit karena anda hanya seorang pegawai negeri pas-pasan, sebaiknya simpanlah semua nota atau kwitansi pembayaran yang berkaitan dengan pembangunan/pembelian tersebut. Itu penting, karena boleh jadi suatu waktu ketika anda melakukan kesalahan kecil, rumah atau kendaraan anda akan diungkit-ungkit oleh penegak hukum. Kesalahan kecil itu tidak perlu harus berkaitan dengan rumah atau kendaraan anda. Ia dapat berdiri sendiri dan menjadi portal bagi penegak hukum untuk mempersoalkan kekayaan anda yang diduga tidak wajar hanya karena anda tidak mengarsipkan nota/kwitansi pembelian/pembangunan.

Sebagai contoh ketika anda tanpa sadar, tidak membayar hutang anda pada seorang kawan meski jumlahnya hanya berkisar ratusan ribu rupiah, maka anda dapat diduga melakukan tindak pidana penipuan atau penggelapan. Penipuan/penggelapan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf q dan r Undang-Undang No. Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dikategorikan sebagai tindak pidana asal yang dapat membawa implikasi ke arah tindak pidana pencucian uang. Oleh karena UU TPPU tidak merinci adanya hubungan kausalitas yang tegas antara perbuatan sebagaimana tindak pidana asal dan aset/harta benda yang dimiliki seseorang maka terbuka ruang yang luas untuk ditafsirkan sebagai perilaku pencucian uang. Artinya, rumah dan kendaraan anda akan ikut ditelisik, dari mana sumber pembangunan/pembeliannya. Ketika anda tidak dapat membuktikan (meski alasannya adalah anda tidak memiliki metode pengarsipan yang baik) maka rumah dan kendaraan anda akan disita dan dirampas untuk negara.

Kasus Gayus Tambunan dapat dijadikan “cermin” yang menarik. Dakwaan Tindak Pidana Korupsi yang dikenakan terhadap Gayus hanya mencakup kerugian sebesar Rp.570.952.000,- Atas nama kebenaran dan keadilan, harta benda Gayus yang berjumlah ratusan milyar rupiah kemudian ikut disita “hanya” karena kepemilikan uang dalam jumlah besar itu tidak sesuai dengan profile Gayus sebagai seorang pegawai negeri.
Dalam persidangan tindak pidana korupsi, khususnya berkaitan dengan penggunaan pasal-pasal yang menunjuk adanya kerugian negara, hubungan kausalitas terjadi antara perbuatan melawan hukum yang tersurat maupun tersirat dengan kerugian negara. Hubungan itu harus riil dan tidak boleh berdasar asumsi. Ketika suatu  perbuatan melawan hukum ternyata tidak dalam posisi “sejajar” dengan besaran kerugian negara maka Majelis Hakim akan dengan mudah meruntuhkan “rumah kartu” pembuktian Penuntut Umum. Pendeknya, dalam hukum pidana, asumsi tentang besaran kerugian negara adalah sesuatu yang diharamkan.

Persoalannya kemudian menjadi pelik saat Undang-Undang No. Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) lahir dan mengetengahkan mekanisme yang selama ini diharamkan oleh hukum pidana. Ketika Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan, ia harus yakin dengan didukung oleh minimal dua alat bukti bahwa perbuatan pidana telah terjadi dan tersangka adalah pelaku perbuatan pidana tersebut. Anomali tindak pidana pencucian uang terjadi ketika Penuntut Umum harus membawa Terdakwa ke depan pengadilan hanya berdasar pada asumsi-asumsi yang diperoleh karena minimnya alat-alat bukti. Asumsi-asumsi itu kelak akan disandarkan pada Pasal 77 UU TPPU : Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.  Sekali lagi, undang-undang tidak menyebutkan bahwa pada saat penyidikan ataupun penuntutan, tersangka wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Orang bisa berdalih bahwa “kepentingan pemeriksaan” yang dimaksud disitu juga mencakup ketika perkara berada di tingkat penyidikan dan penuntutan. Padahal kalau melihat posisi Pasal dalam UU TPPU, sangat jelas, bahwa bagian keempat tentang pemeriksaan di sidang pengadilan merupakan bagian yaang terpisah dari bagian ketiga  tentang Penuntutan.

Dengan menggunakan konstruksi hukum pidana biasa (minus TPPU), Penyidik atau Penuntut Umum yang tidak memiliki alat-alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus menghentikan penyidikan/penuntutannya. Sebaliknya, dengan menggunakan konstruksi TPPU, asumsi atau perkiraan-perkiraan itu menjadi “peluru” bagi penyidik atau Penuntut Umum untuk melimpahkan perkaranya  ke tingkat yang lebih tinggi.
Sekilas penggunaan mekanisme TPPU itu dapat berpotensi menyelamatkan kerugian keuangan atau perekonomian negara yang pola penggerogotiannya dilakukan secara halus dan tidak terdeteksi. Marilah kita berkeliling dan melihat rumah-rumah mewah para pejabat birokrasi atau membaca berita tentang rekening-rekening dalam jumlah yang luar biasa sementara profile mereka hanya sebagai pejabat pemerintahan belaka. Mereka inilah yang dimaksud sebagai corruption by greed (korupsi dengan alasan serakah). Mereka ini pula yang seharusnya menjadi sasaran senjata Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tetapi sesungguhnya, aturan TPPU itu juga berpotensi menerabas pihak yang benar. Betapa tidak, Masyarakat kita adalah masyarakat yang kurang rapi metode pengarsipan dokumen/surat-surat pentingnya. Semua masih berprinsip bahwa pengaturan itu tidak diperlukan sepanjang dilakukan dalam jumlah yang kecil/seadanya atau pembelian/pembangunan sesuatu tersebut dilakukan tanpa merugikan pihak lain atau corruption by need (korupsi dengan alasan ekonomi).

Di sisi lain, pemerintah kita juga tidak mempunyai mekanisme pencatatan keuangan atau perekonomian yang menelisik sampai ke dompet setiap warganya. Pemerintah masih berkutat pada pencatatan keuangan yang sifatnya makro dan belum menjangkau hingga ke sistem keuangan pribadi warga. Bandingkanlah dengan warga negara asing yang memiliki sistem pencatatan keuangan rapi. Di Negara-negara tersebut, Pemerintah mencatat setiap bentuk penerimaan dan pengeluaran keuangan warga untuk mempermudah proses perpajakan. Sehingga ketika terjadi persoalan, negara dapat dengan mudah membuka file keuangan warganya sekaligus memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan itu.

Dalam kondisi demikian, orang bersihpun saat ini harus risih, bukan karena khawatir ditelisik melainkan karena tidak memiliki bukti pembangunan/pembelian. Slogan “kalau bersih kenapa harus risih” rasanya harus di perbaharui. Akan lebih tepat kalau ditambah sehingga menjadi “kalau bersih dan punya kuitansi, kenapa harus risih”.

Di tengah moral penegak hukum yang masih sering dipertanyakan warga, marilah kita berharap bahwa kita semua tidak tidak pernah terjebak pada masalah pidana, sekecil apapun agar harta/aset kepemilikan kita yang lain tidak ikut ditelisik dan menjadi masalah baru.