Senin, 30 April 2012

KPK Menzalimi Angelina Sondakh


Sesuai dangan teori perundang-undangan, suatu aturan yang diberlakukan sebagai bagian dari sistem hukum harus memenuhi 3 kriteria, yaitu Lex Scripta (tertulis), lex Stricta (tegas dan tidak membuka ruang penafsiran) serta not retroactive (tidak berlaku surut). Aturan itu diakui secara internasional dan dianggap sebagai sesuatu yang benar sampai saat ini. Bahwa sistem hukum membuka pengecualian dalam beberapa hal seperti diakuinya konvensi atau kebiasaan, juga merupakan sesuatu yang diakui.

Dalam upaya mempertahankan hukum pidana, Indonesia mempergunakan prosedur beracara yang berpedoman pada aturan tertulis yaitu UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Seluruh prosedur beracara dalam khazanah hukum pidana mengacu kepada KUHAP sepanjang tidak diatur secara khusus. Tentu saja aturan beracara tersebut dituangkan secara tertulis agar setiap masyarakat mengetahui secara persis, mengukur langkah-langkah yang akan dilakukan sekaligus menyesuaikan apa yang hendak dilakukannya dalam ruang hukum acara pidana.

Dalam hukum acara pidana (KUHAP) yang dianut sistem hukum Indonesia, tidak disebutkan sejak kapan seseorang dinyatakan sebagai tersangka. Dalam artian, KUHAP tidak menyebutkan pada dokumen apa seseorang dijadikan sebagai tersangka. KUHAP hanya mengatur bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP). Inilah yang sering menimbulkan pertanyaan dari mereka-mereka yang dinyatakan sebagai tersangka bahwa mereka belum menerima pemberitahuan telah ditetapkan sebagai tersangka. Ketiadaan surat/dokumen pemberitahuan ini dikarenakan dalam KUHAP memang tidak ada surat/dokumen yang harus dikeluarkan mengenai penetapan tersangka sekaligus dikirimkan pada tersangka.

Dalam praktek, seseorang diketahui sebagai tersangka sejak terbitnya Surat Perintah Penyidikan (Sprin Dik) atau ketika Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) diumumkan ke publik. Sebenarnya Surat Perintah Penyidikan tidak mengharuskan adanya nama tersangka di dalamnya. Penyidikan adalah  serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Dari pengertian penyidikan itu, sebuah Sprin Dik tidak boleh mencantumkan nama tersangka. Nama tersangka baru diperoleh ketika bukti-bukti telah terkumpul, sedangkan bukti-bukti itu harus diperoleh secara pro justitia atau diperoleh atas dasar Surat Perintah Penyidikan.

Kasus Angelina Sondakh

Ketua KPK pada Februari 2012 telah mengadakan jumpa pers yang menyatakan bahwa Angelina Sondakh telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara yang berkaitan dengan Wisma Atlet Sea Games Palembang. Dalam laman Vivanews sebagaimana dapat dibaca DISINI, nampak bahwa Surat Perintah Penyidikan terhadap Angelina Sondakh tertanggal 19 April 2012. Apa yang dapat dibaca dari berita ini ?

Dari berita tersebut nampak bahwa KPK telah melakukan pendzaliman terhadap Angelina Sondakh. Sejak bulan Februari hingga April, Angelina Sondakh telah berjalan kemana-mana dengan membawa label tersangka di atas kepalanya. Secara hukum, dia tidak bebas beraktivitas, apalagi status cekal pun ditimpakan padanya. Demikian pula kawan-kawan atau pihak-pihak yang hendak membuat hubungan hukum, pasti mengurungkan niat mengingat statusnya sebagai tersangka. Secara sosial, dapat dibayangkan rasa malu yang harus diterimanya karena publik terlanjur mencapnya sebagai orang yang bersalah. Howard Becker, seorang Kriminolog yang mengemukakan Teori Labelling mengungkapkan bahwa seseorang yang dianggap melakukan perbuatan menyimpang lalu mendapat cap/label dari pihak lain/masyarakat, akan mengalami stigma dan kalau itu terus berlanjut, orang tersebut akan menerima atau terbiasa dengan cap/label tersebut.

Publik tidak pernah tahu, atas dasar apa Ketua KPK mengumumkan status tersangka bagi Angelina Sondakh. Kalau status tersangka itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup sebagaimana Pasal 1 angka 14 KUHAP, sudah pasti, bukti permulaan itu diperoleh sebelum adanya surat perintah penyidikan. Kalau diperoleh sebelum adanya surat perintah penyidikan, maka sudah pasti pula bukti-bukti itu diperoleh tidak secara pro justisia. Logika ini kalau diteruskan akan sampai pada kesimpulan bahwa surat dakwaan disusun atas berkas perkara yang tidak sah karena didasarkan pada alat-alat bukti yang tidak pro justisia.

Dalam UU, tidak ada penjelasan yang tegas tentang “bukti permulaan yang cukup”. Istilah ini dapat ditemukan pada Pasal 1 butir 14 KUHAP tentang tersangka dan istilah hampir sama dapat ditemukan pada Pasal 17 KUHAP tentang perintah penangkapan. Dalam bagian penjelasan Pasal 1 angka 17 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.  Yahya Harahap menjelaskan bahwa untuk memahami pasal-pasal tersebut, sebaiknya kata “permulaan” dihilangkan sehingga kalimat dalam Pasal 17 KUHAP berbunyi : diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Jika seperti ini, pengertian dan penerapannya lebih pasti. Dan kalau tidak salah tangkap, pengertian yang dirumuskan dalam pasal itu hampir sama dengan pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika, yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan, harus didasarkan atas affidavit and testimony, yakni harus didasarkan pada adanya bukti dan kesaksian. Menurut PAF Lamintang dan Theo Lamintang, kalimat “bukti permulaan yang cukup” dalam rumusan Pasal 17 KUHAP harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal berupa alat-alat bukti seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.

Pelanggaran oleh KPK terhadap Angelina Sondakh juga telah mereduksi hak Angelina untuk segera mendapat pemeriksaan sebagaimana Pasal 50 ayat (1) KUHAP : “ tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik...”. Penjelasan Pasal ini adalah : “ Diberikannya hak kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal ini adalah untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya nasib seseorang yang disangka melakukan tindak pidana terutama mereka yang tidak dikenakan tindakan penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum, adanya perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar. Selain itu juga untuk mewujudkan peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.”

Pada konteks ini, sebenarnya KPK telah melanggar HAM karena merampas kemerdekaan Angelina untuk hidup bebas tanpa perlakuan yang diskriminatif sebagaimana Pasal 28 I UUD 1945 : (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. (2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Kita semua mendukung KPK, oleh karenanya koreksi maupun kritik harus senantiasa dilakukan agar KPK tidak keluar dari rel kebenaran dan orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak pula berlaku sewenang-wenang yang mengatasnamakan lembaga super body tersebut.

Jumat, 27 April 2012

Di Kampung ini tidak berlaku Hukum Nasional !



Kamis dini hari tanggal 23 Februari 2012, puluhan orang melakukan penyerangan bersenjata pada beberapa orang yang sedang melayat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Penyerangan tersebut mengakibatkan 2 orang tewas di tempat dan 4 orang luka berat. Pelaku yang belakangan diketahui adalah warga dari Kampung Ambon Cengkareng itu kemudian telah ditetapkan sebanyak 10 orang sebagai tersangka meski kemungkinan masih akan bertambah. Kuat dugaan, motif penyerangan adalah utang-piutang dalam transaksi narkoba. Narkoba merupakan bisnis utama di kampung ambon meski tidak semua warganya terlibat. Beberapa kali Polisi dan BNN melakukan razia di Kampung Ambon namun bisnis itu tetap eksis dan makin subur. Warga Kampung Ambon yang dipersatukan oleh tujuan yang sama (sebagai pelaku bisnis narkoba) telah memiliki sistem pertahanan sendiri dari pantauan penegak hukum. Setiap anggota polisi akan ditolak sedang terhadap orang asing akan dicurigai dan diawasi sampai kemudian dianggap sebagai pihak yang aman. Bagi masyarakat Kampung Ambon, Udang-Undang narkotika atau psikotropika tidak berlaku di Kampung mereka.

Apakah kampung Ambon, suatu loophole (celah) hukum di wilayah Indonesia ?  Bagaimana suatu wilayah dapat menerapkan aturan sendiri yang terpisah dari aturan negara dan apakah kemudian hal itu akan dibiarkan oleh negara ?

Sejarah Kampung Ambon di Cengkareng bermula dari kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, untuk memindahkan orang-orang Ambon yang menetap di kawasan Senen dan Kwitang, Jakarta Pusat, ke pinggiran kota pada 1973. Dipilihlah lokasi di Kelurahan Kedaung Kali Angke, Cengkareng. Lalu di lokasi itu dibangun Perumahan Permata untuk menampung orang Ambon pindahan tersebut.


Sekarang diperkirakan ada 2.000 kepala keluarga. Mereka menempati beberapa RT di Perumahan Permata. Pada 1990-an peredaran narkoba bermula meski masih kecil-kecilan. Tahun berganti tahun, Kampung Ambon mengalami perubahan. Selain mayoritas penduduknya dari Ambon, kini warganya telah bercampur baur dengan para pendatang dari beragam etnis.



Transformasi sebagian besar masyarakat Kampung Ambon menjadi pebisnis narkoba tidak berjalan cepat. Terdapat rentang waktu yang panjang dengan berbagai kejadian yang kemudian mengarahkan Kampung Ambon seperti yang sekarang dikenal.

Ada tiga faktor yang dapat membawa pengaruh sehingga seseorang melakukan tindakan kriminal. Yang pertama adalah pengaruh awal, seperti latar belakang dan keturunan. Yang kedua adalah keadaan masa kini, dimana ia tinggal, apakah ia memiliki pekerjaan dan adakah krisis dalam hidupnya. Sedangkan yang ketiga adalah keadaan sesaat sebelum melakukan tindakan kriminal, apa yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan, apakah tindakannya berresiko, seberapa mudahnya ia melakukan tindakan kriminal itu.[1]

Seseorang tidak perlu memiliki ketiga faktor tersebut untuk melakukan tindakan kriminal. Pada berbagai teori kriminal, seseorang cukup hanya memenuhi satu faktor untuk kemudian melakukan perbuatan kriminal. Di Kampung Ambon, ketiga faktor tersebut bersenyawa dan membentuk pribadi manusia pelaku kriminal. Pada faktor pertama, warga diikat erat oleh kesamaan latar belakang, baik sebagai sesama orang ambon/maluku  atau latar belakang penderitaan yang sama. Faktor kedua yang berperan menyatukan kelompok ini adalah faktor ekonomi. Kesulitan mendapatkan pekerjaan dengan dasar pendidikan yang hampir tidak ada menjadikan warga kampung Ambon bekerja sama menyiasati beratnya hidup di ibukota. Demikian pula faktor ketiga, beban hidup yang berat ditambah iming-iming keuntungan yang besar membuat bisnis narkoba menjadi salah satu pilihan yang rasional bagi warga Kampung Ambon.

Di Kampung Ambon, narkoba adalah sesuatu yang biasa. Kebiasaan menjumpai dan memiliki barang haram tersebut menjadikan pikiran mereka “beradaptasi” sehingga menganggap narkoba sebagai bagian dari diri mereka yang tidak melanggar hukum. Tentu saja dalam kondisi demikian para tokoh-tokoh utama menjadi penguasa dalam dunia tersebut (warlord) yang berwenang menentukan salah benarnya seseorang dalam bisnis narkoba.
Dalam khazanah hukum pidana, suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan jahat (kriminal) dikarenakan dua hal, yang pertama dikenal sebagai mala in se atau dianggap jahat sejak awal. Terhadap perbuatan yang masuk kategori ini, kerugian yang ditimbulkannya sangat terasa karena langsung menyentuh kehidupan sehari-hari. Contoh dari perbuatan ini adalah Pembunuhan, pencurian atau penganiayaan. Sedang yang kedua dikenal sebagai mala in prohibita atau dianggap sebagai perbuatan jahat sejak diatur secara resmi melalui suatu bentuk perundang-undangan yang disahkan oleh otoritas yang berhak.
Baik kejahatan yang dianggap jahat sejak awal ataupun jahat setelah dinyatakan oleh Undang-Undang tetap tidak dapat ditolerir dalam sistem hukum nasional. Sistem Hukum Nasional berlaku di seluruh wilayah nasional termasuk apa yang sedang terjadi di Kampung Ambon. Tidak ada kekebalan hukum yang berlaku di tempat itu, termasuk kalaupun di tempat tersebut di jaga (di beking) oleh sejumlah petugas Polisi dan TNI. Aparat Penegak Hukum dapat masuk ke dalam wilayah manapun di Kampung Ambon sebagaimana beberapa kali razia yang dilakukan petugas Polisi dan BNN.

Sejatinya masyarakat Kampung Ambon menyadari bahwa bisnis narkoba merupakan pekerjaan yang dilarang oleh sistem perundang-undangan nasional. Oleh karenanya mereka membentuk semacam sistem pertahanan diri yang berupaya melindungi kepentingan dan bisnis mereka dari aparat penegak hukum atau masyarakat luar. Mekanisme pertahanan diri itu secara tidak langsung membentuk Kampung Ambon seperti suatu penjara imajiner. Oleh karenanya mendekati kompleksitas permasalahan sekaligus solusi penegakan hukum di tempat itu harus dengan pendekatan pemahaman terhadap dunia penjara.

Menurut J. Dilulio, John sebagaimana dikutip A. Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, Realitas kehidupan di penjara tak terlihat nyata bagi orang awam, Donald Clemer mengidentifikasi penjara sebagai lingkungan tertutup, sistem sosial para narapidana. Gresham M Sykes mengatakan sistem sosial penghuni tidak sekedar pengaturan penjaga penjara tapi juga pengaturan informal sebagai interaksi bertemunya masalah-masalah dalam suatu lingkungan spesifik. Penjara adalah masyarakat dalam masyarakat (society within a society), menjadi dasar keberadaan penjara kecuali para penghuni dijaga secara total terpisah satu dengan lainnya.[2]

Sistem Pertahanan Diri yang mencirikan kampung Ambon (sebagaimana penjara) sebagai lingkungan tertutup, harus dihadapi dengan pendekatan penegakan hukum. Langkah petugas Polisi dan BNN melakukan razia narkoba patut didukung meski harus dipahami bahwa langkah tersebut harus segera diikuti dengan pendekatan sosial. Pada tataran penegakan hukum, sikap represif aparat harus dikedepankan sebagai pembuka jalan dan terapi kejut bagi warga lainnya. Pada tingkatan itu harus dihindari berbagai sikap kongkalikong atau kolusi dengan para pelaku bisnis narkoba agar publik bisa percaya dan menghargai sikap para penegak hukum.

Upaya represif aparat penegakan hukum sepatutnya dilakukan pada tokoh-tokoh utama bisnis narkoba di Kampung Ambon sedangkan terhadap para warga yang lain dapat dilakukan upaya rehabilitasi sekaligus sterilisasi agar narkoba tidak terus-menerus menjadi bisnis.

Selanjutnya, penegakan hukum itu harus segera diikuti dengan berbagai upaya lainnya yang memastikan bahwa pelaku bisnis itu tidak kembali menekuni bisnis narkoba tersebut. Menurut Barda Nawawi Arief, upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal”. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.[3]

  
[1] David J Cooke, Pamela J Baldwin dan Jaqueline Howison, Psychology in Prisons, diterjemahkan oleh Hary Tunggal, menyingkap Dunia Gelap Penjara, Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 2008
[2] A. Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung, 2011
[3] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Pidana, Kencana, Jakarta, 2007

Rabu, 25 April 2012

HASHSHASSIN, Kelompok Kejahatan Transnasional Terorganisasi pertama kali



Bagi penggemar film-film action, keberadaan sosok pahlawan yang merayap dalam kegelapan lalu mengeksekusi korbannya kemudian menghilang sebelum orang lain sadar tentu bukan hal yang asing. Penonton seringkali terpana menyaksikan kelihaian tokoh idolanya menjalankan misi rahasia tanpa gembar-gembor. Keinginan publik itu bersahutan dengan para penulis skenario dan para sutradara yang kemudian menciptakan tokoh-tokoh fiktif nan hebat. Sejarah film banyak diwarnai karakter-karakter seperti ini, mulai dari sekuel-sekuel James Bond, Indiana Jones, The A Team, Charlies Angels, Remington Steel, The Saint, hingga Ethan Hunt dalam Mission Impossible.
Saking ramainya film-film dengan karakter canggih dalam ilmu bela diri dan teknologi, penonton seringkali lupa bahwa orang-orang seperti itu tidak hanya hidup dalam dunia fiktif perfilman namun benar-benar nyata, ada dalam kehidupan. Keahlian bela diri, mengeksekusi dan mengelabui lawan dengan standar yang tinggi telah menjadi ciri khas beberapa kelompok dalam dunia nyata di berbagai belahan negara. Serdadu Gurkha di Nepal adalah contoh serdadu dengan kemampuan berperang yang alamiah, agresif di medan pertempuran, tidak takut mati, loyalitas yang tinggi, tahan dalam berbagai medan, fisik yang kuat dan pekerja keras. Demikian pula dengan Ninja di Jepang sejak zaman para Shogun. Ninja hadir dalam sosok yang terampil bela diri, ahli menyusup dan serba misterius.
Namun dari sekian banyak kelompok-kelompok dunia yang dekat dengan dunia kekerasan, kelompok yang paling misterius sekaligus menimbulkan keingintahuan yang kuat bagi saya adalah Kelompok HASHSHASSIN.  Kelompok ini pernah hidup dan meninggalkan sepak terjang yang menakutkan pada abad ke-XI sampai XIII Masehi di wilayah Timur Tengah. Penggambaran terhadap kelompok ini dapat dilihat pada film "the prince of persia" dan game "assassin creek". Perbedaan kelompok HASHSHASSIN dengan kelompok Ninja atau Gurkha adalah bahwa kelompok HASHSHASSIN berdiri sendiri sebagai suatu organisasi independen dengan agenda-agenda tersendiri. Sedangkan kelompok Ninja dan Gurkha menempel pada kekuasaan, melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kekuasaan ataupun agenda kekuasaan.
Kelompok HASHSHASSIN boleh jadi adalah cikal bakal Kelompok Kejahatan Terorganisir (Organized Crime), jauh sebelum kelompok-kelompok Gangster Amerika, mafia Italia, Triad di China atau Yakuza di Jepang. Pada umumnya, kelompok-kelompok ini sebagaimana juga HASHSHASSIN, adalah kelompok yang berlatar belakang finansial dan “terjun” ke dalam dunia politik sebagai upaya untuk memperluas sumber-sumber finansial guna mengukuhkan kebutuhan kelompok. Meski seringkali berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik, kelompok ini juga menerima “order” dari kelompok lain sepanjang sesuai dengan keinginan dan mendatangkan pemasukan bagi kelompok.
Menurut seorang kawan dalam catatan lepas. blogspot, Ada beberapa pendapat tentang asal-usul nama Hashshasshin ini. Ada yang berpendapat bahwa nama ini diambil dari kata arab yaitu Hashishin yang berarti pengguna hashis (ganja). Kata ini diambil karena merujuk kepada perbuatan kelompok ini yang sering menghisap ganja. Ada juga yang berpendapat bahwa kata Hashashin itu sendiri berasal dari pemimpin mereka yaitu Hasan-i Sabbah atau yang dijuluki sebagai The Old Man from Mountain. Jadi Hashashin maksudnya adalah pengikut Hasan. Dan karena kemahiran Hashashin untuk membunuh, maka Hashashin menjadi asal kata dari Assasin. Namun menurut sejarawan Amin Malouf, Hasan-i Sabbah suka menyebut pengikutnya dengan Asasiyun yang berarti asas (fondasi) dari iman. Penyimpangan total terhadap syariat islam dan keyakinan masyarakat syiah yang mereka lakukan menjadi alasan para ulama syiah mendakwa mereka sebagai orang-orang murtad dan sesat. Assassins sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi memiliki perbedaan secara substansial dan doktrinal. Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.
Setelah dua abad lebih kelompok assasins lihai membunuh musuh-musuhnya dengan racun dan senjata. Kelompok-kelompok ini juga mahir melakukan serangan-serangan bawah tanah yang pernah menjadi momok di kawasan timur tengah. Karena tidak mampu membentuk satuan tentara konvensional, kaum Nizariyyah membentuk peperangan asimetris yang mengubah tindakan pembunuhan politis menjadi suatu sistem untuk bertahan hidup dan pertahanan terhadap musuh-musuhnya. Mereka melatih pasukan komando tersamar yang sangat terlatih (ahli dalam bahasa, ilmu pengetahuan, perdagangan dan lain-lain, yang dikenal sebagai Fedayeen, yang secara diam-diam akan menginfiltrasi posisi musuh dan selalu menyamar. Fedayeen menggunakan ketrampilan mereka yang termasyhur untuk tujuan-tujuan politik tanpa harus membunuh; misalnya seorang korban, biasanya berpangkat tinggi, di suatu pagi akan mendapati belati Fedayeen di atas bantalnya di saat bangun pagi. Ini petunjuk yang jelas bagi orang tersebut bahwa dia tidak lagi aman dimanapun, bahwa lingkaran dalam para pelayannya telah diinfiltrasi oleh kelompok pembunuh tersebut, dan bahwa tindakan apapun yang menyebabkannya berkonflik dengan kaum Hashshashin harus dihentikan, jika ia ingin hidup. Di Persia mereka menggunakan taktiknya secara langsung terhadap kaum Turki seljuk yang membunuhi kaum Nizari. Saat membunuh tokoh tertentu, mereka sangat hati-hati, melakukannya tanpa jatuhnya korban yang tidak perlu dan hilangnya nyawa orang yang tak bersalah, meski mereka juga sengaja membentuk reputasinya yang mengerikan dengan membantai korbannya di depan umum. Umumnya, mereka mendekati dengan memakai samaran, atau telah menjadi agen tersamar di suatu kelompok. Mereka lebih menyukai belati atau pisau kecil yang tersembunyi, mereka menolak menggunakan racun, panah atau alat lain yang bisa memungkinkan penyerangnya lolos dan hidup.
Dilihat dari kaca mata sekarang, kegiatan kelompok HASHSHASSIN masuk dalam Pengaturan United Nations Conventions Againts Transnational Organized Crime, atau yang dikenal dengan Palermo Convention, tahun 2000. Dalam konvensi itu, kelompok ini dapat dimasukkan ke dalam kategori Kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crime). Apa yang dilakukan oleh kelompok HASHSHASSIN tidak terikat oleh batas-batas teritorial negara, baik dalam kawasan maupun berbeda kawasan (borderless). Pada dewasa ini, hampir dapat dipastikan bahwa beberapa jenis atau bentuk kejahatan tidak lagi dapat hanya dipandang sebagai yurisdiksi kriminil satu negara, akan tetapi sering diklaim termasuk yurisdiksi kriminil lebih dari satu atau dua negara.
Mengingat bahwa struktur dan independensi kelompok HASHSHASSIN hidup di abad XI sampai XIII M, kelompok ini dapat dikatakan luar biasa karena pengaturan terhadap kelompok demikian baru ada + 800 tahun kemudian.

Selasa, 17 April 2012

Pieter Erberveld : Bara yang Terus Membakar



Sewaktu masih bersekolah di SD, saya sering membuka buku-buku sejarah milik ayah saya. Saya membacanya dengan antusias sebagaimana saya biasa membaca buku-buku cerita yang dipinjamkan ibu dari perpustakaan sekolah. Salah satu kisah yang sangat membekas dalam ingatan (bahkan hingga saat ini) ketika membaca buku-buku bapak adalah kisah tentang Pieter Erberveld, seorang pemberontak VOC zaman penjajahan Belanda.  Nama itu kembali teringat ketika seorang dosen di kampus Salemba menyinggung tentang hukuman Pecah Kulit yang pernah diberlakukan VOC di Batavia.

Setelah sekian lama berlalu, ingatan tentang Pieter Erberveld muncul lagi dan memaksakan lahirnya tulisan ini. Pieter Erberveld, menurut peneliti Jepang Mayumi Yamamoto dalam tulisannya Spell of the Rebell, Monumental Apprehensions : Japanese Discourses on Pieter Erberveld, dilahirkan sekitar 300 tahun lalu dari seorang ayah Jerman dan Ibu Thailand. Sebagai orang keturunan Eropa dan Asia, Erberveld sangat dekat dengan masyarakat pribumi. Setelah kematian ayahnya, ia menerima warisan berupa tanah dalam jumlah yang sangat luas. Tanah ini kemudian disita oleh VOC (perusahaan dagang hindia Belanda) dengan alasan ketiadaan dokumen hingga kemudian menjadi bibit kebencian Erberveld pada VOC. Pieter Erberveld dan koleganya dari Jawa lalu mengupayakan suatu pemberontakan untuk menghabisi orang-orang Belanda dari Batavia. Rencana tersebut bocor dan mereka ditangkap lalu dieksekusi.

Cerita tentang Erberveld tidak berakhir dengan eksekusi. Justru metode eksekusi yang mendirikan bulu roma itu menjadi cerita horor yang melampaui waktu-waktu setelahnya. Dalam beberapa literatur, metode eksekusi Erberveld dilakukan dengan Pecah Kulit yaitu mengikat kedua tangan dan kedua kakinya lalu ditarik oleh empat ekor kuda pada posisi yang saling berlawanan arah. Tubuh Erberveld lalu memecah menjadi empat bagian. Hukuman itu kemudian dikenal sebagai hukuman pecah kulit sebagaimana nama tempat dilaksanakan eksekusi tersebut yaitu Kampung Pecah Kulit (oleh sebagian orang, nama pecah kulit diasosiasikan dengan pekerjaan sebagian warganya yang memecah/menyamak kulit hewan). Setelah tubuhnya memecah, kepalanya dipenggal dan ditancapkan pada sebatang tombak yang diletakkan di atas sebuah tembok bertulis dua bahasa, yaitu bahasa Belanda dan Jawa.
Menurut Arsip Perpustakaan Nasional RI pada bagian Koleksi Bersejarah Batavia, hukuman mati untuk terdakwa lain (seluruhnya berjumlah 19 orang) Dilakukan dengan cara yang sangat sadis yaitu punggung diikat pada sebuah kayu salib, tangan kanan dibacok sampai putus, lengan dijepit, daging kaki dan dada dicungkil keluar. Tubuh lalu dibelah dari bawah ke atas. Jantung dikeluarkan dan dilemparkan ke wajah mereka. Kepala dipancung, badan-badan dipotong-potong lalu disebarakan di sekitar rumah kediaman mereka. Kepala mereka ditancapkan pada sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota menurut keputusan pemerintah. Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung!"

Dua bahasa pada tembok tempat tombak dengan kepala ditancapkan itu, kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berbunyi : ““Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat Pieter Erberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya. Batavia, 14 April 1722”

Perbuatan Pieter Erberveld dan koleganya dari Jawa itu rupanya dianggap sebagai kesalahan yang sangat berat oleh pihak Belanda sehingga model eksekusi yang sangat sadis lalu dipilih sebagai cara menghakimi Erberveld dkk.  Masih menurut Arsip Perpustakaan Nasional RI pada bagian Koleksi Bersejarah Batavia, dalam perjalanan sejarah, tahun 1920-an, seorang ilmuwan Belanda Prof. Molsbergen menemukan banyak ketidakwajaran dalam proses pengadilan itu. Perkara penghianatan yang tergolong criman leasae majestatis - kejahatan terhadap yang dipermuliakan.- seharusnya diadili oleh Raad van Justitie, bukan oleh collage van heemraden. Pelaksanaan hukuman mati tidak boleh disembarang tempat, tetapi harus di tempat yang biasa di pakai oleh raad van Justitie. Para terdakwa tidak diberi pembela. Harta milik para terdakwa tidak hanya disita separoh sebagaimana keputusan yang dijatuhkan, tetapi seluruhnya.

Criman leasae majestatis adalah kejahatan makar yang ditujukan terhadap raja atau ratu Belanda. Pada zaman perang kemerdekaan, kejahatan yang (masih) terdapat dalam Pasal 104, 106, 107,108,110 KUHP sering digunakan untuk menindas para pahlawan Indonesia. Oleh VOC, pasal-pasal makar ditafsirkan sebagai perbuatan yang ditujukan untuk menggulingkan kekuasaan VOC di Indonesia. Kejahatan makar adalah kejahatan yang tergolong berat sehingga setiap percobaannya pun sampai-sampai disamakan dengan perbuatan makar secara keseluruhan. Oleh karenanya menjadi aneh kalau kemudian, kejahatan makar yang dituduhkan pada Erberveld malah diadili di College van Heemraden atau semacam dewan yang mengurusi kepemilikan tanah, pembangunan, infrastruktur dan bertanggung jawab atas keamanan publik kawasan. Nampak bahwa perkara Erberveld adalah perkara yang sesungguhnya bukan kejahatan atas latar belakang ideologi melainkan kejahatan yang berkaitan dengan agraria atau infrastruktur di kota Batavia. Ini nampak jelas ketika VOC melakukan penyitaan terhadap seluruh harta benda Erberveld dari putusan yang seharusnya hanya dilakukan terhadap setengahnya. Oleh karenanya, pidana mati tidak tepat dilakukan terhadap Erberveld dan para koleganya.

Bahwa VOC melakukan peradilan hingga eksekusi yang sedemikian sadis terhadap Erberveld kemungkinan besar (ini asumsi saya atas data yang bersumber dari VOC!) karena Erberveld dianggap telah “menyerang” VOC dari sisi yang selama berdirinya sangat dijaga dengan ketat melalui serangkaian konflik dan peperangan. Erberveld menyerang sisi ekonomi dari VOC, suatu tindakan yang pada masa itu belum pernah dilakukan oleh siapapun kecuali oleh kekuatan besar seperti Inggris dan Portugal. Sebagaimana kita pahami, VOC adalah suatu perusahaan dagang sehingga kalkulasi untung rugi selalu dilakukan. Berbagai upaya dominasi dilakukan VOC untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi semata. Perbuatan Erberveld dengan menguasai tanah yang sangat luas dan menjadikannya sebagai sarana produksi di luar VOC telah menyepelekan VOC sehingga berbagai dalih dilakukan demi untuk menghancurkan sarana produksi yang coba dibangun Erberveld.

Tapi benarkah Erberveld dipersalahkan hanya karena persoalan percobaan melakukan makar terhadap VOC ? William Bradley Horton dalam tulisannya di Jurnal Indonesia 76 (Oktober 2003) tentang Pieter Erberveld : The Modern Adventure of an eighteenth-century Indonesian Hero, menyatakan bahwa persoalan sesungguhnya dalam kasus itu tidak diketahui oleh orang banyak termasuk warga Batavia pada saat itu. Pieter Erberveld adalah simbol perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, nasionalisme Indonesia, keyakinan terhadap Islam, identitas non Belanda sekaligus simbol kemahakuasaan VOC.

Pieter Erberveld sesungguhnya adalah seorang pahlawan yang mencoba mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Mungkin saja latar belakang perlawanan datang dari persoalan pribadi yang kemudian dielaborasi menjadi ketertindasan bersama koleganya. Suluh peperangan terhadap penjajah Belanda yang dilatari oleh kepentingan pribadi banyak ditemukan disepanjang nusantara. Ini bukan hal yang aneh. Setiap perjuangan butuh katalisator, termasuk dalam perjuangan melawan penjajah. Pada kasus Erberveld, katalisator itu adalah kasus pertanahan yang kemudian membesar menjadi perlawanan terhadap kesewenang-wenangan.

Bara perlawanan dan kebiadaban eksekusi Pieter Erberveld terus membara dan membakar, melipat ruang waktu hingga kini, jauh setelah kehidupannya. Bara perlawanan itu terasa dan dapat dilihat ketika masyarakat mesuji memprotes tanah mereka yang diambil alih oleh pengusaha atau oleh rakyat Bima yang menentang eksplorasi tanah mereka demi kepentingan pertambangan.

Sejarah memang menempatkan perjuangan seseorang atas dasar pendapat masa kini tentang menang dan kalah. Ketika VOC berkuasa dengan pongahnya di bumi Indonesia, Erberveld dijadikan sebagai penjahat kelas kakap. Kini ketika Belanda telah meninggalkan bumi pertiwi, saatnya perjuangan Erberveld ditafsirkan ulang agar negara ini tidak meniru apa yang telah dilakukan VOC, mulai dari peradilan sesat, eksekusi yang biadab hingga penulisan sejarah yang mengukuhkan kepentingan kelompok.


Senin, 16 April 2012

Sistem Peradilan Pidana yang abai pada masyarakat


Pemerintah seringkali memiliki pandangan yang berbeda dengan pilihan masyarakat.

Dalam perkara-perkara besar, sistem hukum pidana negara-negara common law (Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara commonwealth) mengharuskan adanya sistem Jury. Sistem ini menyerahkan keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa pada sekelompok Jury yang dipilih dari masyarakat awam. Pemilihan Jury dilakukan secara acak meski kemudian diserahkan penentuannya pada pihak Terdakwa/Penasihat Hukumnya dan Jaksa setempat. Selanjutnya para Jury dikumpulkan pada suatu tempat dan disterilisasi dari berbagai informasi media ataupun komunikasi dengan pihak luar hingga perkara tersebut selesai. Pada proses itu, posisi Hakim pasif dan hanya menentukan berat ringannya hukuman (kalau para Jury berpendapat bahwa terdakwa bersalah) serta membebaskan (kalau menurut Jury, terdakwa tidak bersalah)

Mengapa negara-negara common law menggunakan mekanisme Jury dalam sistem peradilan   pidananya ? Karena mereka berpandangan bahwa hukum identik dengan harmoni. Setiap pelanggaran hukum hakekatnya merusak tatanan harmoni sosial yang telah terbangun. Oleh karenanya, yang mengetahui dan berwenang memberikan penilaian bahwa pintalan kain harmoni telah terkoyak haruslah dari masyarakat itu sendiri. Aparatur yang menerima gaji dari negara tidak boleh mengintervensi dan memberikan hasil pada proses ini.

Bagi masyarakat negara-negara common law, hukum (pidana) adalah sesuatu yang dekat dengan keseharian mereka. Ia ada dan hadir setiap saat, mencirikan dan mengatasi persoalan masyarakat. Bagi mereka, logika hukum tidak berjalan linear sebagaimana termaktub dalam teks-teks hukum yang lusuh dan berdebu di perpustakaan. Hukum punya logika sendiri yang kadang berkelok-kelok mengikuti kontur persepsi masyarakat. Masyarakat juga membutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam merespons suatu persoalan demi untuk menegaskan bahwa hukum itu ada. Prosedur formil yang berbelit-belit oleh masyarakat sering dianggap sebagai kelemahan dan kelambanan yang diartikan sebagai ketiadaan hukum. Logika ketiadaan hukum dapat  memaksa masyarakat mengambil langkah sendiri yang drastis dan seringkali malah menyalahi hukum

Pemerintah negara-negara tersebut menyadari bahwa apa yang dipikirkan dan dipahami oleh pemerintah belum tentu sama dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Betapapun pemerintah diawaki oleh orang-orang ahli dan cerdas, masyarakat berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.  Pemerintah hanya sampai pada tahap mengikuti jejak keinginan dan harapan masyarakat.

Bagaimana dengan Indonesia ?

Sistem Peradilan Pidana Indonesia cenderung tidak mengakui eksistensi masyarakat. Dalam sistem yang dianut bangsa ini, masyarakat, negara atau bahkan si korban dalam suatu tindak pidana telah diwakili oleh Penuntut Umum. Kata “diwakili” ini dimaknai secara nyata sebagai mengambil alih seluruh kondisi, keadaan atau bahkan keinginan secara keseluruhan.

Disini sesungguhnya terdapat anomali. Penuntut Umum yang mengambil alih seluruh kondisi, keadaan atau bahkan keinginan masyarakat, negara atau bahkan si korban secara keseluruhan lalu menyesuaikan perbuatan terdakwa dengan pasal-pasal yang terdapat dalam kitab perundang-undangan. Sedangkan apa yang menjadi harapan atau keinginan negara/masyarakat atau bahkan korban tidak pernah dipertanyakan lagi. Ketika saksi korban memberikan keterangan di depan peradilan pun, keinginan dan harapan yang dikemukakan hanya menjadi pemanis persidangan tanpa relevansi dengan pemidanaan ataupun penjatuhan hukuman.

Mekanisme persidangan pidana yang hanya berpijak pada upaya pembuktian kesalahan terdakwa dan pemidanaannya cenderung mengabaikan peran korban, harapan dan keinginannya di masa datang. Pada beberapa contoh di pengadilan ditemukan banyak kejadian memilukan yang dialami korban. Misalnya dalam suatu kasus pembunuhan, negara/peradilan tidak memperhitungkan bagaimana kelanjutan hidup dari isteri korban dan anak-anaknya setelah sang suami meninggal secara mengenaskan. Negara hanya berpikir bagaimana menjatuhkan hukuman seberat-beratnya bagi terdakwa.

Pada titik ini sebenarnya terjadi perbedaan pemahaman yang tajam antara masyarakat dan negara. Perbedaan pemahaman ini juga memperlihatkan betapa konsep keadilan yang dianut negara berbeda dengan konsep keadilan yang dipahami masyarakat. Bagi negara, keadilan diukur dan diletakkan dalam kerangka persesuaian dengan pasal-pasal aturan perundang-undangan. Keadilan lalu menjadi sangat tinggi dan susah dijangkau oleh masyarakat awam. Keadilan seakan hanya menjadi milik orang cerdik pandai dan orang berharta banyak. Masyarakat umum yang menempati porsi terbesar jumlah penduduk negara hanya mampu berharap “dewi keadilan” datang dan menyambangi persoalan sehari-hari mereka.

Foto : SumbaNews
Perbedaan pemahaman itu juga nampak pada beberapa kasus kolosal yang melibatkan masyarakat umum dan kelompok kecil masyarakat yang di back up oleh negara. Contoh yang paling transparan berkaitan dengan hal ini adalah dalam kasus pendudukan pelabuhan Bima.
Pemerintah melalui Polisi melihat insiden pendudukan pelabuhan Bima oleh rakyat sebagai “sebab sedangkan masyarakat melihat pendudukan tersebut sebagai Akibat. Bagi Pemerintah, pendudukan itu merupakan hal yang terpisah dengan SK Bupati tentang izin eksplorasi pertambangan. Perbedaannya, masyarakat menilai pendudukan itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SK Bupati.

Pemahaman terhadap persoalan yang berbeda seringkali menghasilkan akhir yang berbeda. Demikian pula, perbedaan pemahaman ini menimbulkan konsekuensi pilihan metode penyelesaian. Bagi pemerintah atau polisi, pilihan yang paling rasional sesuai aturan hukum bernegara adalah mengakhiri pendudukan itu, apapun resikonya tanpa memikirkan soal SK Bupati. Sebaliknya bagi masyarakat, model penyelesaiannya adalah dengan mencabut  SK Bupati tentang izin eksplorasi pertambangan. Pencabutan SK itu dianggap akan mengakhiri pendudukan karena masyarakat merasa puas keinginan mereka telah terwujud...



Senin, 09 April 2012

Tradisi Sifon (Ritual bersetubuh pasca sunatan) dari kaca mata Yuridis



Tradisi ritual Sifon adalah tradisi sunatan untuk laki-laki dewasa (telah berkeluarga) yang dalam proses penyembuhannya harus melakukan hubungan badan dengan perempuan tertentu yang bukan istri atau anggota keluarga dekat. Tradisi ritual ini muncul dan berkembang sampai sekarang (kendatipun sudah hampir punah dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi) di daerah Timor Barat terutama di suku Atoni Meto dan Dawan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), suku Malaka di Kabupaten Timor Tengah Utara dan beberapa daerah di kabupaten Belu. Beberapa tempat ini termasuk bagian wilayah dari propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ritual sifon biasanya dilakukan pada setiap musim panen. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dari berbagai macam penyakit, juga membersihkan diri dari noda dosa dan pengaruh bala setan dan secara biologis dimaksudkan untuk menambah kejantanan dan keperkasaan seorang pria dewasa. Tradisi ini juga dimaksudkan untuk mendinginkan proses sunatan yang menurut dukun dan pelakunya memiliki hawa panas. Ritual dilakukan dengan menggunakan sebilah sembilu atau pisau. Tetapi proses penyembuhan yang sesungguhnya adalah Sifon itu sendiri. Yakni ketika dalam keadaan luka yang masih belum sembuh total, si pasien harus melakukan hubungan badan dengan perempuan tertentu, yang telah disediakan oleh Ahelet (dukun sunat) atau yang dipersiapkan sendiri oleh si pasien.

Bagaimana melihat ritual sifon dari kaca mata yuridis ? Apakah sifon merupakan suatu pelanggaran hukum ? bagaimana penegak hukum menyikapi tradisi Sifon yang dipercaya dan diyakini masyarakat sebagai adat turun-temurun ?

Pembahasan tentang Tradisi Sifon akan lebih tepat kalau dilihat dari berbagai aspek, mulai dari aspek sosiologi, antropologi, historis, kesehatan atau hukum. Pembahasan secara komprehensif tersebut dimaksudkan agar pemahaman yang diperoleh lebih menyeluruh dan tidak terkesan memvonis atau secara serampangan menyalahkan sesuatu yang berlangsung turun-temurun.

Oleh karena tidak mungkin salah satu pihak melakukan pembedahan masalah secara keseluruhan, maka pembahasan secara parsial tetap dimungkinkan oleh orang-perorang guna memberikan sumbangsih terhadap suatu desain besar pemahaman terhadap persoalan.

Dari sisi hukum atau yuridis, tradisi sifon layak dikategorikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kesusilaan. Bab tentang kesusilaan diatur dalam KUHP Bab XIV mulai dari Pasal 281.

Pertama kali yang harus dipahami berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan sebagaimana dalam KUHP adalah bahwa terhadap suatu perbuatan kesusilaan yang dilakukan oleh dua orang dewasa berbeda jenis kelamin dalam keadaan suka sama suka, maka sistem hukum pidana yang kita anut tidak menganggapnya sebagai perbuatan pidana. Ini merupakan peninggalan hukum barat yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu sebagaimana kemudian kita adopsi dalam KUHP. Dalam sistem hukum barat dikenal adagium “hukum berhenti tepat di pintu kamar tidur” yang mengandung makna bahwa perbuatan kesusilaan sepanjang dilakukan tanpa paksaan, tekanan atau ancaman tidak boleh diintervensi oleh hukum negara.

Perbuatan dua orang dewasa dalam kondisi suka sama suka tersebut menjadi persoalan hukum kalau kemudian salah satu pihak telah berkeluarga (nikah) dan pasangannya yang resmi menolak atau tidak menerima perbuatan tersebut. Dalam keadaan demikian, perbuatan kedua pihak tersebut masuk kategori perzinahan (overspel). Tentu saja untuk mempermudah proses penanganan secara hukum, keberatan atau penolakan seorang pasangan resmi tersebut dapat dilakukan secara tertulis pada penegak hukum.

Pada tradisi sifon, istri pelaku ritual sifon adalah orang yang berpikiran bahwa perbuatan suaminya adalah perbuatan yang diperintahkan adat. Oleh karenanya dalam ritual sifon, tidak ada penolakan dari pihak istri terhadap apa yang akan dilakukan suaminya. Bahkan pihak istri (sebagaimana pemahaman seluruh klan suku) beranggapan bahwa perbuatan suaminya dilakukan semata-mata untuk kesehatan, perlindungan dari bala dan kejantanan. Tanpa ada penolakan atau pengaduan dari isteri maka pada bagian ini tidak terjadi apa yang dinamakan perbuatan pidana.

Perbuatan pidana yang mungkin terjadi dalam tradisi Sifon adalah dalam proses penyediaan wanita untuk pasangan bersetubuh seorang pelaku Sifon. Kalau kemudian wanita yang hendak disetubuhi tersebut tidak bersedia lalu kemudian terjadi paksaan, tekanan atau ancaman (baik fisik maupun psikis) maka terjadilah perbuatan pidana yang diklasifikasi sebagai perkosaan atau setidaknya pencabulan. Menurut seorang kawan yang cukup paham dengan tradisi Sifon, saat ini sudah sulit mencari wanita yang bersedia dijadikan sebagai pasangan bersetubuh dalam ritual Sifon. Para wanita dalam klan suku menolak dikarenakan kepercayaan bahwa setelah bersetubuh dalam ritual Sifon, mereka akan memperoleh penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Oleh karenanya menjelang musim panen ketika tradisi ini dilakukan, para wanita enggan keluar rumah. Dalam kondisi demikian, sangat mungkin terjadi upaya paksa dengan tekanan atau ancaman agar para wanita bersedia menjadi pasangan bersetubuh. Pada bagian ini, tanpa pengaduan dari si korban pun penegak hukum harus turun tangan menangani perkara ini sebagai perbuatan pidana.

Berdasarkan penggambaran-penggambaran demikian, sepanjang dilakukan sesuai dengan adat dan kebiasaan turun temurun maka ritual sifon bukanlah perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana dari kaca mata hukum nasional. Perbuatan pidana baru muncul ketika terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan adat yang berimplikasi pelanggaran terhadap hukum nasional.
Penegak hukum yang menjaga sisi ketertiban masyarakat baru akan masuk kalau terjadi indikasi pelanggaran pidana. Sepanjang tidak ada indikasi, maka yang dikedepankan adalah upaya-upaya preventif agar pelanggaran hukum tidak terjadi.

Entah kalau tradisi Sifon ini dilihat dari sisi agama atau kesehatan…