Jumat, 13 Januari 2012

Statistik Kriminal : Pasukan Penyapu Kejahatan yang Terlupakan


Setiap orang dewasa pernah melakukan perbuatan melanggar hukum. Tidak ada pengecualian tentang hal ini. Baik pelanggaran hukum yang berskala besar ataupun yang remeh temeh seperti tidak mengenakan helm, berbohong, mengambil barang orang lain atau memfitnah. Tentu saja tidak setiap pelanggaran itu harus berujung pada proses peradilan. Inilah yang dimaksud dengan arti “sistem peradilan pidana” menurut Prof. Mardjono Reksodiputro. Menurut Beliau, sistem peradilan pidana adalah upaya menanggulangi kejahatan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran kecil tersebut masuk dalam kategori “dapat ditoleransi” sehingga seluruhnya tidak perlu masuk ke dalam sistem peradilan pidana.


Seberapa banyak terjadi pelanggaran hukum dalam masyarakat ? Adakah manfaatnya, mengetahui jumlah pelanggaran kejahatan dalam masyarakat ? Bagaimana suatu wilayah hukum dikatakan marak kejahatan ?  Untuk pertanyaan-pertanyaan seperti inilah pasca perang dunia kedua berkembang suatu disiplin ilmu yang bernama kriminologi atau lebih spesifik lagi, ilmu statistik kriminologi.
Secara etimologis, statistik kriminologi adalah simbiosis antara ilmu statistik dan ilmu kriminal. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa, kalau ilmu statistik berkaitan dengan pengukuran dan pencatatan, ilmu kriminologi berbicara tentang penyebab/motif dan pelaku kejahatan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ilmu statistik kriminal adalah ilmu yang membahas pengukuran dan pencatatan keadaan kriminalitas/kejahatan dalam masyarakat. Definisi ini sesungguhnya sangat sumir, meskipun sudah cukup dijadikan sebagai patokan untuk menelisik lebih jauh/lebih dalam ilmu statistik kriminal.
Sesuai dengan sifat ilmu ini yang hanya melakukan perekaman data kejahatan dalam masyarakat harus pula dipahami bahwa pendekatan kualitatif belaka memiliki sejumlah keterbatasan. Hal ini telah disadari sejak awal oleh beberapa pakar kriminologi dunia seperti Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey yang menyebutkan ketidakmungkinan secara pasti menetapkan kejahatan dalam suatu wilayah atau waktu tertentu.


Lalu, apakah dengan demikian ilmu ini dapat dikesampingkan begitu saja ? jawabnya tidak. Sajian data dalam statistik kriminal dapat dipergunakan sebagai batas minimal dalam mengukur tingkat kejahatan. Artinya, data statistik kriminal yang terrekam dapat dijadikan sebagai data awal atau data permulaan. Data yang sebenarnya tentu saja lebih dari itu. Basis perekaman dalam Statistik kriminal diperoleh dari pencatatan oleh petugas-petugas yang berwenang, baik karena mengetahui dengan sendirinya, melalui media ataupun karena pelaporan oleh masyarakat. Pencatatan ini hanya merupakan ukuran terhadap sebagian kejahatan yang terjadi dalam masyarakat mengingat banyaknya kejahatan/pelanggaran hukum yang tidak dilaporkan oleh masyarakat.
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro,  mekanisme pencatatan dan pelaporan masyarakat ini sangat tergantung pada dua hal, yaitu : (1) Sifat dari kejahatan yang bersangkutan. Tidak semua kejahatan dirasakan sama beratnya oleh masyarakat. Tergantung kepada berat ringannya pengukuran masyarakat terhadap sesuatu kejahatan. Dari situ dapat diramalkan kemauan atau keseganan masyarakat melaporkan suatu kejahatan yang diketahuinya terjadi, dan (2) kesungguhan daripada usaha menegakkan hukum. Pencatatan sangat bergantung pada petugas-petugas pencatat, frekwensi operasi penindakan kejahatan ataupun pemahaman petugas terhadap kejahatan yang terjadi.
Angka yang menunjukkan kesenjangan antara kejahatan yang terjadi dalam masyarakat dan hasil perekaman data dalam statistik kriminal kemudian disebut sebagai “the dark number” atau “hidden criminality”. Jumlah ini sangat tidak pasti karena merupakan hasil pengurangan dari data yang tidak diketahui pula.


Menurut penelitian Steven Box dalam Power, Crime and Mystification sebagaimana dikutip Rd. Muhammad Ikhsan, ada beberapa sebab sehingga korban tidak melaporkan peristiwa pidana yang dialaminya :
1)  Korban mengetahui bahwa ia menjadi korban kejahatan tetapi tidak bersedia melapor, karena menganggap polisi tidak efisien atau tidak akan mempedulikan laporannya. Selain itu mungkin, menganggap bahwa peristiwa itu merupakan urusan pribadi karena si korban akan menyelesaikannya langsung di luar pengadilan dengan si pelaku secara extra judicial. Ataupun juga si korban merasa malu dan tidak bersedia menjadi saksi di hadapan polisi maupun di pengadilan, lantaran “aib” dalam kejahatan kesusilaan atau mengalami penipuan karena kebodohannya. Kasus seorang pria hidung belang yang menjadi korban penipuan oleh PSK di kompleks pelacuran dapat menjadi contoh sebab tiadanya laporan tindak penipuan terakhir ini.
2)   korban tidak mengetahui bahwa ia telah menjadi korban suatu peristiwa kejahatan. Di sini sebagai contoh dalam kasus penipuan yang dilakukan dalam skenario kejahatan yang rapi dan canggih.
3)   korban yang sifatnya abstrak dan karena itu sukar diidentifikasi secara khusus dan jelas, misal pada masyarakat konsumen pembeli bahan pangan yang mengandung formalin.
4)   korban mengalami kejahatan sedangkan ia sendiri terlibat dalam kejahatan itu. Dalam sudut pandang viktimologi hal ini acap disebut dengan kejahatan tanpa korban. Contohnya di sini adalah pengguna narkoba yang sakau dan pelaku homo seksualitas.
5)    secara resmi tidak timbul korban, karena adanya kewenangan “diskresi kepolisian” untuk menentukan peristiwa apa dan yang mana sajakah merupakan kejahatan. Satu dan lain hal ini menyangkut kebijakan aplikatif penegakan hukum di lapangan.  


Untuk menjembatani angka yang tercatat dalam perekaman data ataupun the dark number, ilmu statistik kriminal menyediakan angka yang disebut “rate” atau angka perimbangan. Angka perimbangan menyatakan besarnya frekwensi dari kejahatan yang dicatat tersebut dalam kaitannya dengan jumlah penduduk (general population). Angka-angka ini lalu dibandingkan dengan angka yang lain selama periode yang sama pada waktu sebelumnya atau bahkan dibandingkan dengan daerah lain. Hasil perbandingan kemudian dikenal sebagai “crude rates” (angka pertimbangan kasar). Agar statistik kriminal ini makin mendekati angka yang senyatanya maka crude rates ini harus diolah kembali dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan dan perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat, termasuk menurut jenis kelamin dan umur. Berdasar asumsi bahwa terdapat suatu hubungan yang tetap (costant) antara data yang tercatat dengan jumlah kejahatan yang sebenarnya, maka hasil “rate” ini lalu dijadikan acuan untuk menilai adanya peningkatan atau penurunan kuantitas maupun kualitas kejahatan dalam suatu wilayah.
Sistem hukum Amerika Serikat menyusun suatu indeks kejahatan (index crime) yang terdiri dari 7 (tujuh) macam kejahatan untuk mengukur fluktuasi marak atau tidaknya kejahatan keseluruhan (total crime) yang terjadi, yaitu : pembunuhan kriminal (criminal homicide), perkosaan (forcible rape), perampokan (robbery), penganiayaan berat (aggavated assault), pencurian dengan pembongkaran (burglary), pencurian selain mobil  diatas US $ 50 (larceny), pencurian mobil (auto theft). Amerika Serikat hanya menyusun ketujuh jenis kejahatan tersebut sebagai sarana pengukuran karena menilai bahwa kejahatan-kejahatan tersebut sangat dekat dengan keseharian warganya serta sangat menusuk perasaan psikologis warga ketika mengalaminya.


Meskipun ada kelemahan dalam sistem perekaman data statistik kriminal, metode ini sampai saat ini masih dianggap sebagai yang terbaik dalam sistem peradilan pidana. Media perekaman data yang biasanya dilakukan oleh institusi-institusi peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) merupakan satu-satunya data yang dapat dijadikan panduan dalam hal : (1) menjelaskan bagaimana sebaran dan kualitas kejahatan yang terjadi dalam masyarakat pada suatu kurun waktu ataupun wilayah hukum tertentu,  (2) dengan basis perekaman data yang jelas dapat diketahui bagaimana pola penganggaran, persiapan pebijakan, pengambilan tindakan ataupun evaluasi terhadap langkah penegakan hukum, (3) menjadi data bagi pihak lain untuk mengetahui bagaimana pola kesadaran hukum ataupun persepsi terhadap hukum dalam lingkungan masyarakat.
Penggunaan ilmu statistik kriminal dalam dunia penegakan hukum Indonesia sampai saat ini masih sangat minim. Banyak yang belum memahami fungsi ataupun kegunaannya. Padahal suatu sistem perekaman data statistik kriminal yang baik dapat menjadi instrumen penting bagi penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan. Di kalangan penyidik ada adagium, bahwa seuatu kejahatan (bagaimanapun rapinya) pastilah meninggalkan suatu jejak atau tanda tangan. Menurut informasi dari beberapa kawan penyidik, penggunaan ilmu statistik kriminal dalam beberapa kasus telah menghasilkan pengungkapan kejahatan, mulai dari kejahatan jalanan seperti pencurian kendaraan hingga kejahatan “white collar” berupa sindikat pemalsuan dokumen kredit fiktif. Bahkan kasus besar (rahasia !!!) yang sekarang sedang ditangani oleh Mabes Polri dan Kejaksaan Agung atas dukungan PPATK juga dibongkar berdasarkan pemanfaatan ilmu statistik kriminal.
Dengan basis pencatatan yang baik, jejak kejahatan dapat dipilah dan disimpan untuk kemudian dipergunakan ketika terjadi kejahatan lain untuk mengetahui apakah dilakukan oleh pihak yang sama atau bersumber dari ilmu kejahatan yang sama.


Keberadaan statistik kriminal jika dianalogikan dengan komposisi pasukan perang pasukan Gengis Khan identik dengan pasukan ketiga atau penyapu, setelah pasukan pertama, pasukan pembuka (pasukan buser) dan pasukan kedua atau pasukan penghancur (pasukan penyidik). Semoga keberadaannya tidak terlupakan dan hanya menjadi sekedar pemanis cerita bagi dunia penegakan hukum kita.



Semangat !!!

Rabu, 11 Januari 2012

Hulu Ekonomi dari Kasus-Kasus Pelanggaran Hukum


Akhir tahun 2011 hingga awal tahun 2012, bidang Penegakan hukum menampilkan dinamika yang sangat intens. Berbagai kasus yang bersentuhan langsung dengan publik silih berganti muncul kepermukaan. Sorotan masyarakat juga marak pada keberadaan institusi penegak hukum, kewenangannya maupun  sistem beracara pada lembaga-lembaga tersebut. Penegakan hukum hadir dalam perbincangan di warung-warung kopi hingga menjadi bahan utama media massa dalam menyajikan berita.  Berbagai survey juga hadir menyajikan informasi tentang hukum, baik sebagai bidang yang mandiri atau yang berkaitan dengan bidang lain seperti politik dan pemerintahan. Singkatnya, dunia penegakan hukum benar-benar mendominasi persepsi dan memori publik sehari-hari.

Dengan dominasi yang sedemikian kuat pada ingatan publik, menarik untuk melihat bagaimana rencana pemerintah berkaitan dengan pembangunan bidang hukum pada tahun 2012 sesuai Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2012.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014, Pemerintah menetapkan 3 (tiga) agenda pembangunan nasional yang merupakan arah kebijakan pembangunan jangka menengah, yaitu : (1) Sasaran pembangunan kesejahteraan; (2) Sasaran pembangunan demokrasi; serta (3) Sasaran pembangunan penegakan hukum. Ketiga sasaran strategis pembangunan nasional yang telah ditetapkan dalam RPMJN 2010-2014 tersebut, selanjutnya dijabarkan secara rinci dan bertahap ke dalam tema-tema pembangunan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun.

RKP tahun 2012, merupakan penjabaran RPJMN tahun 2010-2014, yang memuat langkah-langkah untuk mendukung tercapainya Visi Indonesia 2014 yaitu, “ terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan”. Tema RKP tahun 2012 yaitu “ percepatan dan perluasan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif dan berkeadilan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat”.
Untuk melaksanakan misi yang harus diemban dalam RPJMN 2010-2014 guna mewujudkan visi pembangunan 2010-2014, telah ditetapkan 11 prioritas nasional dalam RKP tahun 2012 yaitu : (1). Reformasi birokrasi dan tata kelola; (2). Pendidikan; (3). Kesehatan; (4). Penanggulangan kemiskinan; (5). Ketahanan Pangan; (6). Infrastruktur; (7). Iklim investasi dan iklim usaha; (8). Energi; (9). Lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10). Daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik; (11). Kebudayaan, kreatifitas dan inovasi teknologi.

Sejalan dengan tema dan prioritas pembangunan nasional dalam RKP 2012 tersebut, alokasi anggaran belanja tetap dalam koridor diarahkan pada pencapaian empat sasaran utama strategi pembangunan, yaitu : (1). Mendorong laju pertumbuhan ekonomi (pro growth); (2). Menciptakan dan memperluas lapangan kerja (pro job) diantaranya melalui pemberian insentif fiskal guna meningkatkan investasi dan ekspor serta peningkatan belanja modal untuk pembangunan infrastruktur; (3). Memperbaiki kesejahteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman sosial yang berpihak pada rakyat miskin (pro poor); (4). Ramah pelestarian lingkungan hidup dan merespon persoalan-persoalan perubahan iklim (pro environment)
Selanjutnya strategi tersebut dijabarkan dalam inisiatif-inisiatif baru, antara lain : (1). Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI); (2). Percepatan pembangunan Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur; (3). Mendorong pelaksanaan program klaster empat dan; (4). Mendorong peningkatan kesempatan kerja;

Pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada angka 4,6 pada tahun 2009, lalu meningkat 6,1 pada 2010 dan 6,5 pada 2011. Angka-angka tersebut merupakan bagian dari grand design pemerintah yang ingin menciptakan kondisi negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara US$ 14,250 – US$ 15,500 dengan total nilai PDB antara US$ 4,0 Triliyun – US$ 4,5 Triliyun. Untuk itu, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4-7,5 % pada periode 2011-2014 dan sekitar 8,0-9,0 % pada periode 2015-2025.

Dalam Nota Keuangan tersebut nampak bahwa dunia penegakan hukum, demokrasi ataupun keamanan dan ketertiban tidak masuk 11 prioritas minimal tahun 2012. Sesungguhnya sikap memandang “sebelah mata” persoalan dunia penegakan hukum telah terlihat dari tema RKP 2012 yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Bahkan para analis menyatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir hukum telah mengabdikan dirinya untuk kepentingan ekonomi. Pemerintah selalu memasang logika bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berimbas pada penurunan tingkat kemiskinan sekaligus peningkatan jumlah orang sejahtera. Logika ini masih menjadi perdebatan yang hangat bagi para ekonom. Bagi kalangan ekonom yang menyanggahnya, tesis ini tidak mutlak benar dari sisi pragmatis karena pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi di Indonesia hanya menguntungkan segelintir masyarakat dan membenamkan sebagian besar yang lain ke jurang kemiskinan. Inilah yang disebut “bubble economic”. Tidak mengherankan, disaat pemerintah melansir pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, masyarakat kecil juga terus-menerus mengeluhkan kesulitan hidup menjangkau harga-harga.

foto : kabar pagi-tvOne
Sikap pemerintah yang lebih mengedepankan aspek ekonomi dalam setiap RPK pada implementasinya di lapangan memantik sejumlah masalah. Dengan mendahulukan pertumbuhan ekonomi, pemerintah tentu saja akan memberi insentif-insentif khusus pada dunia usaha. Insentif itu tidak hanya berkaitan dengan keringanan pajak ataupun kemudahan birokrasi melainkan juga perlindungan dari sisi keamanan dan gangguan berusaha.

Celakanya, perlindungan terhadap keamanan ini ditafsirkan secara membabi buta, sehingga ketika terjadi persengketaan dengan masyarakat setempat, pemerintah secara jelas mengambil posisi di belakang para pengusaha. Atas dalih investasi, masyarakat lokal setempat harus menanggung resiko ditembaki atau diusir dari wilayahnya. Sengketa agraria yang terjadi menjadi tidak seimbang karena pemerintah yang seharusnya menjadi penengah, malah ikut mendukung salah satu pihak. Kasus Mesuji bagaikan pucuk dari suatu gunung es. Negara ini seringkali menghadapi sengketa yang serupa, mulai dari sengketa tanah ulayat PT. Freeport di Papua, PT. Lonsum di Sulsel, izin kuasa Pertambangan di Raba Bima ataupun PT. Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara.

Dalam setiap sengketa antara perusahaan dan masyarakat setempat, pemihakan pemerintah selalu menimbulkan persoalan menjadi lebih luas. Rangkaian kasus-kasus kekerasan terhadap warga seringkali menggeser persoalan sengketa agraria yang privat menjadi persoalan kekerasan yang memancing kemarahan publik. Media lalu memblow up kasus-kasus kekerasan yang terjadi sehingga melupakan persoalan yang sebenarnya yaitu pemihakan pemerintah yang terang-terangan pada pelaku dunia usaha. Dalam konteks ini, sebenarnya Negara bukan tidak hadir melainkan melakukan pemihakan secara nyata

Suatu pertumbuhan ekonomi seringkali mengambil posisi vis a vis dengan hukum. Tidak salah kalau Jusuf Kalla (JK) pernah mengatakan kalau ekonomi diibaratkan sebagai tuas gas dalam mobil maka hukum adalah tuas rem. Keduanya adalah instrumen penting bagi pencapaian tujuan dan keselamatan.  Keberadaan salah satu instrumen tidak boleh menihilkan instrumen lain. Keduanya harus bekerja sama dalam suatu kondisi yang kondusif. Sopirlah yang harus pandai-pandai memainkan peran agar keduanya berfungsi secara cermat dan menciptakan hasil yang positif.

Rabu, 04 Januari 2012

Kasus Sandal Jepit AAL dan Informasi Yang Tidak Akurat


Dunia penegakan hukum kembali meramaikan media belakangan ini. Sumber berita tidak datang dari penanganan kasus-kasus besar di sentrum kekuasaan, melainkan datang dari pojok sebuah kampung di Kota Palu Sulawesi Tengah. Berita itu adalah berita tentang pencurian sandal seorang polisi yang dilakukan seorang anak. Kabar tersebut semakin marak ketika tokoh-tokoh pemerhati anak turun tangan menyuarakan keprihatinan. Mulai dari pernyataan, unjuk rasa hingga pengumpulan sandal untuk dihadiahkan pada Kapolri dilakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap AAL.

Tulisan berikut ini ingin memberikan pemahaman pada kita semua tentang apa yang terjadi, sebagai pembanding dari berita-berita yang disuguhkan media. Mungkin saja isinya sedikit berbeda, karena persoalan ini dilihat dari kaca mata seorang pemerhati hukum yang tidak punya pretensi apa-apa. Tidak juga karena keinginan agar meraup oplah atau pembaca sebanyak mungkin.
Kasus AAL (inisial nama anak/pelaku) bermula ketika ia merasa menemukan sandal (seharga  Rp.  30.000.-) di pagar sebuah pekarangan rumah. Sandal tersebut diambilnya dan dibawa pulang. Pemilik sandal yang belakangan mengetahui bahwa sandalnya diambil AAL lalu memanggil AAL, memaksanya mengaku (dan benar diakui AAL) kemudian memukulinya.

Seseorang disebut sebagai anak ketika usianya di bawah 18 tahun. Kategori anak nakal (melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan melanggar hukum) adalah anak yang usianya telah melewati 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Ini menurut Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. AAL menurut media baru berusia 15 tahun ketika melakukan tindak pidana, sehingga secara syah, ia mendapat status anak.

Status “anak” ini mengandung kosekuensi baik pada proses beracara ataupun proses penuntutan. Dalam proses pemeriksaan (baik penyidikan, penuntutan dan persidangan), AAL harus didampingi oleh orang tuanya. Selain itu juga disyaratkan adanya penelitian khusus dari Pembimbing Kemasyarakatan. Pemeriksaan juga harus dilakukan secara tertutup atau tanpa kehadiran penonton, bahkan pintu dan jendelapun harus ditutup agar tidak disaksikan pihak lain. Para pelaksana persidangan seperti Hakim, Penuntut Umum dan Penasihat Hukum dilarang mengenakan toga sidang ataupun pakaian dinas.  

Sampai dengan saat tulisan ini dibuat, persidangan baru memasuki proses pemeriksaan saksi-saksi. Artinya belum ada tuntutan. Kalau ada media yang menyatakan bahwa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan 5 tahun, maka itu jelas-jelas salah. Yang terjadi adalah pelaku (AAL) baru selesai menjalani proses pembacaan dakwaan dengan ancaman Pasal 362 KUHP. Ancaman hukuman maksimal dalam pasal ini adalah 5 tahun. Mungkin inilah yang kemudian diberitakan sebagai tuntutan padahal tuntutan dan dakwaan adalah dua hal yang berbeda.

Satu hal yang penting, karena status AAL adalah “anak” maka sesuai Pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, AAL hanya dapat dijatuhi pidana maksimal selama 2 tahun dan 6 bulan (karena seorang “anak” maksimal hanya menjalani pidana setengah dari orang dewasa).
Lalu, apakah dengan demikian AAL akan dijatuhi pidana penjara ? Belum tentu, UU Pengadilan Anak menyatakan bahwa selain dapat menjatuhkan pidana penjara, Hakim juga dapat menjatuhkan pidana : mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Dalam perkara AAL ini kemungkinan besar pidana yang akan dijatuhkan hakim adalah salah satu dari 3 hal tersebut.

Terus terang, perkara-perkara seperti AAL ini bagaikan buah simalakama bagi penegak hukum. Di satu sisi, perkara tersebut telah memenuhi unsur-unsur pembuktian sehingga sesungguhnya tidak ada alasan untuk menghentikan kasus ini. Apalagi dalam praktek, korban yang merasa dirugikan terus menerus mendatangi penegak hukum mempertanyakan kelanjutan kasusnya. Kasus ini adalah delik biasa dan bukan delik aduan, sehingga tanpa laporanpun kalau polisi mengetahui ada kejadian wajib melakukan proses hukum. Dalam perkara AAL, Jaksa peneliti ataupun penyidik telah berusaha mengupayakan perdamaian antara pelaku dan korban, namun korban tetap berkeras. Menurut Mabes Polri, bahkan orang tua pelakulah yang ngotot agar anaknya dibawa ke pengadilan agar anak itu menyedari kesalahannya.

Dalam sistem penanganan pidana anak, kita belum mengenal mekanisme afdoening buiten process  seperti di negeri Belanda. Dalam mekanisme demikian, penegak hukum yang dipimpin seorang penuntut umum dapat mengambil alih pemeriksaan dan mengumpulkan pihak yang bersengketa lalu mengupayakan  penyelesaian secara damai. Bila terjadi kesepakatan, maka dituangkan secara tertulis dan persoalan dianggap selesai.

Sistem hukum kita juga belum mengenal keadilan Restoratif dalam mekanisme perundang-undangan. Keadilan restoratif mendudukkan para pihak yang bersengketa bersama-sama dengan tokoh masyarakat atau pemerintahan. Dalam konsep demikian, pelaku mengganti kerugian, korban memaafkan pelaku dan pelaku dapat melakukan suatu kegiatan yang membawa manfaat bagi lingkungannya sekaligus menjahit kembali harmoni yang terkoyak oleh perbuatannya.

Berbagai kasus anak seperti AAL ini seharusnya menjadikan para legislator sadar, bahwa ada sistem atau mekanisme yang salah dalam penanganan perkara anak. Untuk itu, sebaiknya dilakukan percepatan penyusunan materi perundang-undangan yang memberi landasan pada penegak hukum menyelesaikan perkara-perkara demikian diluar proses peradilan ataupun diluar pidana pemenjaraan.

Bagaimana dengan kasus pemukulan yang dialami AAL ? Tentu saja itu adalah dua hal yang berlainan dan memiliki proses penyelesaian yang berbeda. Terhadap si pelaku yang anggota Polisi dapat saja dilakukan peradilan kode etik dan peradilan umum.
Sungguh tidak elok perbuatan memukul anak kecil seperti AAL. Sama tidak eloknya kalau kita yang tidak mengetahui persis duduk persoalannya lalu memvonis bahwa pihak ini bersalah atau pihak itu keterlaluan.

Senin, 02 Januari 2012

Kaya Di Hulu – Miskin Di Hilir


Seorang kawan pernah mengatakan bahwa dari lima tahun masa kepemimpinan pemerintah di negeri ini, tahun pertama digunakan sebagai masa bulan madu, tahun kedua dan ketiga adalah masa pengembalian modal sedang tahun keempat dan kelima adalah tahun persiapan menjelang pilkada. Tentu saja selorohan itu bukan dimaksud untuk memvonis keadaan yang sebenarnya, meskipun juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Pola pembagian prioritas pembangunan seperti itu cukup menarik dipakai sebagai salah satu bahan untuk menelisik kinerja pemerintah pada tahun-tahun mendatang.

Tahun 2011 adalah tahun dimana pengetatan anggaran di tingkat bawah benar-benar dilakukan. Saking ketatnya upaya pemerintah pusat itu, pelaksana di tingkat lapangan seringkali keteteran melakukan langkah-langkah pembangunan. Alhasil, beberapa hari lalu, Presiden SBY mengeluhkan minimnya penyerapan anggaran pada seluruh kementerian/lembaga. Secara rata-rata, sampai dengan 30 November 2011, realisasi belanja Kementerian dan Lembaga di tingkat pusat  baru mencapai 71 % dari total anggaran yang tersedia. Ini mengandung makna bahwa dari jumlah APBN tahun 2011, ada 29 % anggaran yang tidak dapat digunakan oleh kementrian/lembaga sehingga harus dikembalikan kepada negara.

Belum lagi kalau kita bicara kebocoran anggaran yang diprediksi oleh Prof. Sumitro berkisar di angka 30 % dari total APBN. Angka itu juga dikukuhkan oleh prediksi Bank Dunia pada tahun 2003 yang menyebut angka 10-50 % dari angka APBN bangsa kita.

Pada tahun 2011 ini pula sentrum pemberantasan korupsi mengungkapkan besarnya angka-angka yang berseliweran di tingkat parlemen negara. Badan Anggaran ternyata penuh dengan permainan kongkalikong yang mengerikan. Kalau para petani mengenal sistem ijon terhadap produksi pertanian yang belum waktunya dipanen, di parlemen sistem ijon itu jauh lebih mengerikan. Mata publik terheran-heran menyaksikan para pengusaha berselingkuh dengan para penguasa lalu mencegat proyek-proyek pelaksanaan anggaran bahkan ketika masih berada pada tahap penganggaran

Rangkaian fakta-fakta di atas mengindikasikan beberapa hal. Pertama, ada uang dalam jumlah besar yang berseliweran di hulu (meskipun hanya berupa angka-angka di atas kertas), namun hanya tersedia dalam jumlah sedikit di tingkat hilir/lapangan. Pertanyaannya, kemana sebagian uang itu bergerak dan mengarah ? Kedua, sistem ekonomi pembangunan kita ternyata sangat rentan dibajak oleh para koruptor. Sistem yang ada memiliki berbagai kelemahan sehingga berpotensi melahirkan para koruptor baru. Kelemahan itu dibarengi pula dengan sistem penegakan hukum yang berfungsi bak pemadam kebakaran. Penegakan hukum hanya menangkapi para pelaku namun tidak pernah menyentuh sistem yang melingkupinya. Tidak heran kalau koruptor yang ditangkap dengan segera digantikan oleh koruptor lain dalam suatu siklus sistem yang rentan seperti itu.

Di tahun baru ini, 2012, grand strategy pembangunan kita masih tidak banyak berubah. Hal yang paling miris adalah Pemilu 2014 semakin mendekat. Kemungkinan, akan banyak para pencari dana yang bergerak mengupayakan biaya pemenangan pemilu. Operasi Batok kemungkinan akan digelar secara besar-besaran, baik secara halus, terang-terangan ataupun dengan “merampok”.
Kita sebagai warga bangsa mesti merapatkan barisan agar di tahun ini, demokrasi kita tidak dibajak oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Kita harus bersatu padu agar negara kita tidak terjerembab menjadi negara gagal.



Selamat tahun baru 2012…