Selasa, 29 November 2011

Surat Dakwaan Perkara Tindak Pidana Pemberantasan dan Pencucian Uang

Ketika seorang penuntut umum melimpahkan perkara (tentu saja bersama surat dakwaan) ke pengadilan, tentunya ia telah merasa yakin akan mampu mebuktikan dakwaannya di depan Hakim.
Keharusan meneliti berkas perkara dari penyidik dan kesanggupan menyusun surat dakwaan adalah dua tugas utama seorang penuntut umum. Adagium yang paling penting dalam suatu proses pembentukan jaksa sering dinyatakan dengan kalimat “Jaksa/penuntut umum adalah ahli-ahli pembuktian yang siap mempertanggungjawabkan penanganan perkara di depan Hakim, penasihat hukum dan juga publik. Keharusan untuk membuktikan suatu perkara di depan persidangan adalah tugas utama sorang penuntut umum. Untk itu, ia harus senantiasa berpegang pada alat-alat bukti sesuai dengan mekanisme pembuktian yang dianut oleh sistem peradilan pidana yaitu Negative wettelijke system. Bagi seorang penuntut umum, keberadaan alat-alat bukti bagaikan senjata dan peluru seorang prajurit ketika hendak memasuki arena pertempuran.
Meskipun Pasal 140 KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan berkas perkara telah lengkap, bagi kalangan penuntut umum, hal itu dimaknai telah tercukupinya semua alat-alat bukti yang selanjutnya akan dipaparkan di depan persidangan.
Alat-alat bukti itu sesuai dengan pasal 184 KUHAP secara berturut-turut adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat-surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Posisi atau urut-urutan tersebut melambangkan kekuatan pembuktian. Dalam hal terjadi pertentangan antara alat-alat bukti, maka alat bukti dengan urutan teratas dapat dimaknai lebih kuat ketimbang yang berada di bawahnya. Berdasarkan sistem pembuktian negatif (Negative wettelijke stelsel), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 183 KUHAP, penjatuhan pidana barulah dapat dilakukan apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya.
Apa pentingnya surat dakwaan ? menurut Osman Simanjuntak, surat dakwaan memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi bagi penuntut umum, fungsi bagi Hakim dan fungsi bagi terdakwa.. Bagi penuntut umum, surat dakwaan sebagai objek (materi) yang diperdebatkan di sidang pengadilan melalui pemeriksaan tentang sejauh mana kebenarannya. Bagi hakim,  surat dakwaan menjadi bahan pemeriksaan di persidangan yang akan memberikan corak dan warna terhadap putusannya. Sedangkan bagi terdakwa, surat dakwaan merupakan dasar dan bahan pembelaan terhadap dirinya dalam pemeriksaan di persidangan.
Sifat pentingnya penyiapan alat-alat bukti sebagai dasar dalam penyusunan surat dakwaan, dewasa ini telah direduksi oleh beberapa ketentuan dalam kaidah perundang-undangan pidana sendiri. Salah satunya adalah melalui sistem Pembalikan beban pembuktian ((Omkering van het Bewijslat atau Reversal Burden of Proof). Istilah ini sering disalahkaprahi oleh sebagian orang (bahkan oleh beberapa ahli hukum pidana sendiri) sebagai sistem pembuktian terbalik.
Dalam mekanisme pembuktian konvensional, kewajiban pembuktian berada di tangan penuntut umum sebagaimana prinsip siapa yang mendalilkan harus membuktikan. Dalam mekanisme Pembalikan beban pembuktian, maka terdakwa diberikan kewajiban untuk melakukan upaya pembuktian terhadap apa yang didakwakan oleh penuntut umum.  Prinsip ini sebenarnya tidak dapat dipergunakan secara serampangan karena sesungguhnya bertentangan prinsip “non self incrimination” atau dengan Pasal 189 ayat (3) KUHAP : “keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri”.
Menariknya, prinsip ini telah diadopsi oleh UU Tindak pidana korupsi melalui  Pasal 12 B ayat (1) berbunyi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; (b) yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.”
Demikian pula UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,  Pasal 77 : Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pasal 78 (1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Prinsip Pembalikan beban pembuktian dalam kaitannya dengan penyusunan surat dakwaan, menimbulkan persepsi negatif bagi sebagian kalangan penuntut umum. Persepsi itu adalah tidak menyempurnakan pembuktian pada tahap penyidikan atau penuntutan dengan alasan bahwa penyempurnaan akan di lakukan di depan persidangan ketika terdakwa memberikan keterangan tentang asal-usul harta kekayaannya. Hal ini sebenarnya adalah suatu blunder, karena bagaimanapun UU memberikan dasar bagi terdakwa untuk menjelaskan asal-usul harta kekayaannya, penuntut umum tetap harus menyempurnakan pembuktiannya untuk mengantisipasi bilamana terdakwa ternyata memiliki alasan-alasan yang logis.
Sejatinya, penerapan prinsip Pembalikan beban pembuktian masih merupakan pranata baru dalam sistem hukum acara pidana. Oleh karenanya menarik untuk dicermati doktrin atau pandangan ahli terkait hal ini. Ahli seperti Yenti Garnasih (Doktor pertama yang mengkaji masalah Pencucian uang di Indonesia) berpendapat bahwa dalam perkara tindak pidana pencucian uang, untuk memulai pemeriksaan tidak diperlukan bukti terlebih dahulu. Dalam kasus Bahasyim, berarti penyidik menduga atau curiga dugaan tindak pidana pencucian uang sebagaimana laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menindaklanjuti penyidikan penyidik, penuntut umum meyakini ada tindak pidana pencucian uang sehingga dituangkan dalam surat dakwaan.
Bila pendapat Dr. Yenti Garnasih ini dijadikan pegangan, secara tidak sadar sebenarnya para penuntut umum telah mengorbankan hal yang paling essensil dalam penyusunan surat dakwaan yaitu upaya menyempurnakan pembuktian sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Kalau logika ahli itu ditarik mundur ke belakang, maka penyidikan sesungguhnya telah bergeser dari domainnya sebagaimana dinyatakan dalam KUHAP sebagai “ upaya mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang TP yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Lebih jauh, pola piker demikian akan sangat berbahaya karena rentan penyalahgunaan wewenang oleh penyidik. Betapa tidak, penyidik dapat saja menangkap dan menahan orang tanpa alat-alat bukti yang cukup selanjutnya meneruskan kepada penuntut umum agar diajukan ke pengadilan. Penyidik dapat berdalih bahwa pengajuan/penyempurnaan alat-alat bukti akan dilakukan di depan hakim melalui mekanisme Pembalikan beban pembuktian.
Dari sisi hukum acara pidana formil, pelaksanaan prinsip Pembalikan beban pembuktian juga masih dapat diperdebatkan. Apakah prinsip tersebut akan dilaksanakan sebelum pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan penuntut umum, setelahnya atau diselang-seling ? Ataukah diajukan ketika pemeriksaan terdakwa dilakukan ? Kalau dilakukan ketika proses pemeriksaan terdakwa, apakah setelahnya penuntut umum masih diberikan hak untuk menghadirkan saksi guna mengcounter keterangan terdakwa ? Ataukah ada formalitas khusus yang diberikan kepada penuntut umum untuk melakukan tindakan lain ketika proses pemeriksaan sedang berlangsung ? (misalnya memeriksakan surat-surat yang berkaitan dengan pembuktian dari terdakwa pada Laboratorium forensik). Bagaimana pula dengan perbuatan pidana yang didakwakan ? Apakah uraian dakwaan dapat didasarkan pada kecurigaan atau ketidakmampuan penyidik/penuntut umum melakukan penelusuran harta kekayaan terdakwa ? Masihlah banyak persoalan yang kelak akan berkaitan dengan hukum acara pidana terhadap persoalan ini, dan tentu saja tidak boleh semata-mata hanya diserahkan pada kebijaksanaan hakim di ruangan sidang. Tetap harus ada petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis tentang pelaksanaan prinsip ini di tingkat lapangan.

Rabu, 23 November 2011

Isu seputar Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang

Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dalam Bab VIII bagian Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang pengadilan, khususnya pada bagian kedua mengenai Penyidikan, pasal 74 dan 75.
Pasal 74 selengkapnya berbunyi :
Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan,kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.
Penjelasan Pasal 74 ini adalah :
Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.
Sedangkan Pasal 75 adalah :
Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.
Pasal 75 ini tidak diberi penjelasan lagi oleh pembuat UU alias cukup jelas.
Penyidikan tindak pidana pencucian ini sekarang sedang ramai diperdebatkan dalam kaitannya dengan penyidikan tindak pidana asal.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa penyidikan tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan meskipun tindak pidana asalnya belum pernah dilakukan. Ini didasari oleh argumen bahwa banyak tindak pidana asal yang terjadi di waktu lampau, dilakukan di luar wilayah Indonesia ataupun alasan kurangnya alat bukti yang diperoleh.
Pendapat dan argumen ini disandarkan pada penjelasan umum UU No. 8 Tahun 2010, yang menyebutkan : Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi negara, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor.
Berbagai dalil tersebut sangat rasional dan cukup dapat dipahami. Sebagai contoh,  tindak pidana pencucian uang dapat terjadi melalui transfer dana ke Indonesia setelah pelaku tindak pidana asal (pedagang narkotik kolombia) melakukan bisnis narkotik di Kolombia. Oleh counter part mereka di Indonesia, uang tersebut dapat saja dipergunakan untuk bisnis property dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Tentu saja, penyidik tidak dapat menunggu terlaksananya penyidikan dalam kasus narkotik untuk dapat melakukan penyidikan TPPU. Kendala yurisdiksi dan asas nasionalitas dalam relasi hubungan internasional akan menjadi isu utama. Untuk maksud demikian maka penyidikan TPPU dilakukan atas dasar Pasal 69 UU PPTPPU : “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”. Oleh sebagian kalangan, bahkan oleh orang yang berada di Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) sebagaimana pernah terlibat diskusi, pasal ini dimaknai sesuai dengan contoh di atas. Artinya, penyidikan tindak pidana asal bukan prasyarat mutlak terselenggaranya penyidikan TPPU yang legal.
Pandangan ini juga memberi jawaban terkait dengan Pasal 75 UU PPTPPU, dalam hal penyidikan tindak pidana asal dan penyidikan TPPU tidak berjalan sesuai dengan rencana. Misalnya, setelah dilakukan penyidikan lanjutan ditemukan bahwa ternyata perkara tindak pidana asalnya sangat minim bukti. Dalam kondisi demikian, penyidikan TPPU dapat terus berlangsung hingga ke persidangan.
Pendapat lain yang tidak kalah kuatnya adalah pendapat yang menyatakan bahwa penyidikan TPPU mutlak baru dapat dilakukan setelah penyidikan tindak pidana asalnya berjalan. Pendapat ini besar kemungkinan didasari oleh penafsiran gramatikal Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU. Dalam penjelasan pasal tersebut, terdapat dua anak kalimat yang dihubungkan oleh kata penghubung “apabila”. Ini mengindikasikan bahwa anak kalimat pertama (Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang) baru dapat dilakukan setelah anak kalimat kedua (menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya) dilakukan. Artinya, anak kalimat pertama tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari anak kalimat kedua. Dengan demikian, penyidikan tindak pidana pencucian uang tidak boleh (mutlak) dilaksanakan apabila penyidikan tindak  pidana asalnya belum dilakukan. Lalu apa yang dapat dijadikan patokan bahwa penyidikan TPPU sudah dapat mulai dilakukan ? Jawabnya adalah ketika penyidik tindak pidana asal menemukan bukti permulaan yang cukup. Mengingat tahap ketika penyidik tindak pidana asal menemukan bukti permulaan yang cukup adalah tahapan yang sangat abstrak dan subyektif maka tahap itu dapat ditarik ketika Surat Perintah Penyidikan (tindak pidana asal) dibuat. Artinya, penyidikan TPPU tidak boleh mendahului tanggal Surat Perintah Penyidikan tindak pidana asal. Penentuan tapal batas ketika Sprindik/SP Sidik TP asal dibuat, dapat dibenarkan oleh KUHAP yang mendefinisikan suatu penyidikan sebagai “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang TP yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dengan keluarnya Sprindik/SP Sidik perkara TPPU setelah tanggal Sprindik/SP Sidik tindak pidana asal maka semua pihak dapat berbaik sangka bahwa dalam rentang waktu tersebut, penyidik telah bekerja keras dan ternyata menemukan ada bukti permulaan yang cukup kasus TPPU.
Tidak ada penjelasan yang tegas dalam UU tentang “bukti permulaan yang cukup”. Istilah ini dapat ditemukan pada Pasal 1 butir 14 KUHAP tentang tersangka dan istilah hampir sama dapat ditemukan pada Pasal 17 KUHAP tentang perintah penangkapan. Dalam bagian penjelasan Pasal 1 angka 17 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.  Yahya Harahap menjelaskan bahwa untuk memahami pasal-pasal tersebut, sebaiknya kata “permulaan” dihilangkan sehingga kalimat dalam Pasal 17 KUHAP berbunyi : diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Jika seperti ini, pengertian dan penerapannya lebih pasti. Dan kalau tidak salah tangkap, pengertian yang dirumuskan dalam pasal itu hampir sama dengan pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika, yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan, harus didasarkan atas affidavit and testimony, yakni harus didasarkan pada adanya bukti dan kesaksian. Menurut PAF Lamintang dan Theo Lamintang, kalimat “bukti permulaan yang cukup” dalam rumusan Pasal 17 KUHAP harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal berupa alat-alat bukti seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan
Terhadap Pasal 69 UU PPTPPU, pandangan kelompok ini menyatakan bahwa pengertian kata  “tidak wajib dibuktikan” adalah tidak harus ada putusan hakim tentang perkara dalam tindak pidana asal. Artinya, perkara tindak pidana asal ataupun perkara TPPU-nya dapat saling mendahului maju ke persidangan, atau bahkan dapat diajukan secara bersama-sama melalui satu surat dakwaan. Pendapat ini masih bersesuaian dengan premis awal bahwa penyidikan tindak pidana asal dan penyidikan TPPU adalah dua hal yang terpisah meskipun ada prasyarat yang mempersatukan, yaitu penyidikan TP asal harus lebih dahulu. Kalau kemudian timbul persoalan bahwa terbuka kemungkinan perkara TP asal melemah karena kurangnya alat bukti, tetap tidak menghalangi majunya perkara TPPU ke persidangan (dengan catatan, perkara TP asal belum di SP3-kan) maka dapat diantisipasi dengan melanjutkan perkara TPPU ke persidangan dan putusan hakim kemudian menjadi salah satu alat bukti dalam perkara TP asal. Ini serupa dengan analogi, seorang ibu yang melahirkan seorang anak. Setelah dewasa dan telah memiliki hidupnya sendiri, si anak kembali untuk membantu ibunya menjalani hidup hingga ke penghujung takdirnya.
Demikian pula dengan maksud Pasal 75 UU PPTPPU yang masih sejalan dengan pandangan kelompok ini. Pasal 75 menekankan adanya bukti permulaan yang cukup perkara TPPU dan TP asal. Dimanakah dapat diperoleh bukti permulaan yang cukup itu ? tentu saja pada proses penyidikan. Proses penyidikan tentu saja harus diawali oleh lahirnya Sprindik/SP Sidik. Tanpa Sprindik/SP Sidik TP asal maka penyidikan akan mengarah pada apa yang disebut di negara-negara common law sebagai “fruit of the poisoneous tree”. Doktrin ini mengajarkan bahwa melakukan sesuatu yang baik dengan cara yang salah tidak dapat diterima. Doktrin ini menjadi satu aturan yang disebut the exclutionary rule. Menurut Gordon van Kessel, “exclusionary rules are a police control mechanism rather than an integral part of the adversary system”. Dengan demikian, Pasal 75 ini sebenarnya bermaksud menggabungkan dua surat perintah penyidikan yang masing-masing berdasar pada bukti permulaan yang cukup. Untuk penggabungan itu, penyidik lalu memberitahukannya kepada PPATK.

Rabu, 16 November 2011

Diklat Specialised Management of Financial Crime Program 2

Mengikuti pendidikan dan pelatihan (Diklat) adalah suatu upaya untuk me-recharge pemikiran dan pola dalam bekerja. Diklat bagaikan oase di tengah kehausan rasa jenuh dan harapan nuansa lain dalam bekerja. Betapa tidak, setelah sekian lama terjebak dalam rutinitas pekerjaan yang berjalan monoton, diklat menghadirkan suasana segar dan baru tentang berbagai perkembangan. Perkembangan sistem dan pola kerja institusi lain serta mekanisme kerjasama yang dapat dibangun diantaranya.
Bertempat dalam lingkungan Akpol Semarang, terdapat satu bagian wilayah yang dikelilingi dengan pagar listrik bertegangan tinggi. Namanya cukup mentereng, Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC). Ditempat tersebut pada 21 Oktober sampai 11 Nopember 2011, berlangsung Diklat Specialised Management of Financial Crime Program 2. Pesertanya datang dari Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan PPATK.
Sesuai dengan nama diklatnya, konsentrasi lebih ditujukan pada upaya mengembangkan sinergi antar berbagai institusi dalam penanganan kejahatan yang berhubungan dengan keuangan. Tulisan ini tidak membahas isi/materi Diklat (kelak akan dipaparkan pada kesempatan lain), melainkan pada hal-hal ringan yang terjadi pada saat Diklat tersebut.

1.    Tentang pelaksanaan diklat, Pemateri dan Penyelenggara
Diklat dilaksanakan selama dua minggu dengan jadwal yang sangat ketat. Pagi hari, Diklat dimulai pada pukul 08.30 hingga pukul 10.00. kemudian dilanjutkan dengan coffee break/tea time selama setengah jam. Setelahnya, pelajaran berlanjut hingga pukul 12.00, sebelum istrahat makan siang selama sejam. Pada pukul 13.00, pelajaran berlangsung kembali sebelum break pada pukul 15.00. Setelah break selama setengah jam, pelajaran diteruskan hingga pukul 17.00. Sesudahnya, proses pelajaran terhenti dan peserta dipersilahkan untuk mengisi waktu dengan berbagai kegiatan yang sifatnya pribadi.
Program ini dibiayai oleh Uni Eropa dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan kerjasama dan pengetahuan para penegak hukum dalam menangani tindak pidana yang berkaitan dengan keuangan.
Pada awal program, para peserta diajak penyelenggara membuat kontrak yang pada intinya adalah mengikuti pembelajaran dengan aktif, tertib waktu dan tidak menggunakan ponsel selama pembelajaran. Ternyata pola ini efektif selama program berlangsung karena peserta yang diberi tanggung jawab dapat benar-benar melaksanakan klausul kontrak tersebut tanpa harus dikejar-kejar. Terhadap hal ini, penyelenggara memberikan pujian secara khusus.
Tidak seperdi Diklat yang lain, penyelenggara meniadakan pembelajaran malam. Sebagai gantinya, para peserta dapat memasuki ruang komputer dan mendengarkan paparan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pencucian uang atau teknik-teknik penyidikan dari komputer, sekaligus mengisi soal-soal ujian pada bagian akhir. Keberhasilan menjawab soal-soal ujian ini (minimal 70 % benar) akan menghasilkan satu sertifikat untuk setiap modul.
Pemateri didatangkan dari Bank Umum, PPATK, KPK, Polri, Kejaksaan, Akademisi UI dan Akuntan dari Bank Dunia. Materi telah dirancang sedemikian rupa, berlangsung secara teratur dan sistematis, berawal dari Pola kerja dan hambatan yang dialami para pebisnis perbankan. Sesudahnya, pihak PPATK masuk memaparkan tentang Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebelum dieksekusi oleh pihak Polri, Kejaksaan dan KPK.
Penyelenggara yang berperan mendampingi para peserta selama Diklat adalah orang yang secara khusus didatangkan dari Austrac Australia (PPATK-nya Australia). Kendala bahasa yang berbeda dapat dipecahkan oleh pihak JCLEC dengan menyertakan seorang interpreter setiap kali pemateri/penyelenggara asing memulai pembicaraan.

2.    Tentang makanan
Satu hal yang menarik dalam program ini adalah berkaitan dengan makanan yang sangat istimewa. Makanan di set up oleh para ahli gizi berkaitan dengan asupan kalori yang dibutuhkan peserta dalam mengikuti Diklat. Variasi makanan juga sangat diperhatikan oleh para chef yang sangat handal. Berbagai jenis makanan disajikan dengan cita rasa eropa namun tetap menggunakan bahan-bahan lokal. Hampir seluruh peserta Diklat memuji rasa dan variasi makanan selama di JCLEC. Hasilnya adalah para peserta dapat mengikuti pembelajaran dengan tenang tanpa merasa kelelahan. Satu-satunya pengecualian adalah pada materi setelah makan siang, para peserta sering dilanda kantuk akibat suasana siang dan perut yang kekenyangan.
Selain itu, sepanjang penyelenggaraan Diklat, air minum kemasan dalam botol, minuman berupa teh atau kopi tersedia secara gratis. Setiap peserta, pemateri ataupun penyelenggara dapat memperolehnya setiap saat bahkan hingga tengah malam ataupun subuh dinihari.

3.    Tentang fasilitas
Dalam penyelenggaraan diklat, foto copy materi selalu disediakan penyelenggara sebelum atau setelah materi disajikan. Foto copy yang disediakan segera ini melengkapi fasilitas dalam ruang kelas ber AC yang berisi Layar proyektor dan dua televisi flat yang diletakkan di dinding dalam ruangan.
Demikian pula suasana kamar dan berbagai fasilitas penunjangnya yang setara dengan kamar dalam hotel. Peserta diberikan keleluasaan untuk menempati setiap kamar sekaligus menikmati jasa laundry setiap harinya.
Dalam kompleks JCLEC juga tersedia ruang-ruang kecil untuk diskusi kelompok. Setiap ruangan tersebut telah pula dilengkapi dengan komputer, TV Flat yang berkoneksi dengan komputer serta berbagai fasilitas pendukung pembelajaran lainnya. Setiap ruangan (disebut ruang sindikat) dapat dimonitor melalui CCTV dari ruang kontrol sehingga nampak bagaimana para peserta melakukan diskusi ataupun hanya sekedar ber-SMS ria.

Sebenarnya masih banyak hal-hal menarik di JCLEC yang dapat dijadikan contoh bagi pelaksanaan Diklat di lembaga lain (untuk semua ini big thanks pada Pak JJ dan Mbak Yuni yang telah berjuang keras mewujudkan yang terbaik demi kenyamanan dan ketenangan para peserta selama pembelajaran)