Sabtu, 17 September 2011

Fenomena Skor-skor Mencolok di Liga Eropa

 
Tadi malam (17/09) Barcelona melumat Osasuna dengan skor mencolok 8-0. Beberapa minggu yang lalu, Real Madrid mengalahkan Zaragoza dengan skor 6-0, sedang Barcelona menghempaskan Villareal dengan skor 5-0. Berpindah ke liga Jerman, Muenchen mengukuhkan dominasinya atas kemenangan terhadap Hamburg dengan skor 5-0 dan Freiburg 7-0. Sedangkan di ranah Inggris, Manchester United menghancurkan Arsenal 8-2,  serta Bolton 5-0 dan Manchester City menang atas Tottenham 1-5, serta Swansea 4-0
Fenomena apakah gerangan yang sedang terjadi di daratan eropa ? Mengapa skor-skor mencolok mudah ditemukan pada musim kompetisi saat ini ? Apakah ini merupakan suatu trend yang akan terus berlanjut ataukah hanya fenomena sesaat saja ?
Liga Eropa (European League) adalah liga paling atraktif di seluruh dunia. Publisitas yang berlebihan, kondisi keuangan yang jor-joran ditambah gemerlap polah para pelaku industri sepak bola menjadikan kompetisi di belahan bumi tersebut menjadi incaran dan tujuan para pemain, pencinta ataupun penggila bola dari manapun. Tidak ada publisitas media yang melewatkan berita tentang kompetisi liga-liga di eropa. Apalagi pada hari sabtu dan minggu ketika kompetisi sedang bergulir, hampir semua kolom berita olahraga akan memberikan porsi besar bagi liputan tentang sepak bola eropa.
Sayangnya, kompetisi ini menurut saya sedang memasuki titik balik. Skor-skor yang tidak berimbang sekarang sedang mendominasi pemberitaan.  Mungkin pada tahap awal penonton akan merasakan kekaguman yang sangat pada hasil-hasil pertandingan itu. Namun lama-kelamaan, penikmat bola perlahan-lahan akan mengutuk partai-partai yang sejak awal sudah diyakini akan berjalan tidak seimbang. Tidak ada lagi rasa deg-degan menanti hasil yang mengharu biru. Tidak ada pula rasa penasaran menunggu akhir pertandingan ketika di satu pihak ada yang tertawa dan pihak lain ada yang menangis tersedu sedan.

Penyebab lahirnya skor-skor mencolok

Ada beberapa alasan yang mungkin bisa menjadi bahan renungan, mengapa skor-skor mencolok saat ini mudah ditemui di panggung sepakbola eropa. Setidaknya ada 6 (enam) hal yang menurut saya, demikian penting (tentu tanpa mengurangi rasa hormat pada analisis anda yang mungkin berbeda)

1.     Besaran dana klub yang tidak berimbang.
Sejatinya sebuah klub memiliki pola pemasukan dan pengeluaran dana yang disiplin. Dengan sistem pengelolaan keuangan yang mapan, sebuah klub akan menciptakan kondisi keuangan yang sehat. Dengan kondisi yang sehat pula, klub akan mampu berbelanja pemain hebat yang diharapkan menjadi pemain dalam permainan. Kehadiran pemilik-pemilik modal kelas wahid (utamanya dari timur tengah) selanjutnya merubah peta persaingan di industri bola. Dengan kondisi keuangan yang bagaikan sumur tanpa dasar, mereka mampu membeli pemain mana saja dan menciptakan klub yang meraksasa dengan semua lini dipenuhi pemain top. Dalam hal ini, Manchester City dan Chelsea bisa menjadi contoh yang tepat
Selanjutnya bandingkan dengan klub-klub semenjana atau klub-klub yang hanya ditopang oleh dana yang pas-pasan. Klub-klub itu hanya akan bergantung pada pemain yang kualitasnya rata-rata. Pola permainan juga akan terasa monoton karena pemain yang demikian hanya akan bermain dengan permainan yang ala kadarnya pula.
2.     Manajer atau pelatih yang berkualitas
Dewasa ini ilmu kepelatihan sepakbola sesungguhnya bukan ilmu yang tersembunyi seperti dahulu. FIFA dan seluruh percabangannya terus-menerus mentransfer ilmu sepakbola kepada seluruh warga dunia. Kursus-kursus kepelatihan dan ujian kompetensi/sertifikasi pelatih juga makin marak. Artinya, setiap pelatih bola akan memiliki basis ilmu kepelatihan yang seragam dan sama. Dalam kondisi demikian, kualitas seorang manager/pelatih akan ditentukan oleh faktor ‘seni” yaitu kreatifitas menciptakan pola permainan dalam menyerang atau bertahan. Manager/pelatih kemudian tidak memperhatikan lagi faktor usia. Setiap orang dapat menjadi pelatih sukses sepanjang memiliki naluri kreatif dalam menghadirkan kemenangan. Lihat saja Villa Boas (Chelsea) yang sukses membawa Porto Juara UEFA Cup 2011 di usia 30-an, Pep Guardiola yang sukses di usia 40-an atau Morinho di usia 50-an dan Sir Alex Fergusson pada 60-an.
3.     Fasilitas setiap klub
Kemampuan setiap klub memanage pemain atau pengelola permainan juga menjadi faktor yang kelak membedakan hasil pertandingan. Lihat saja klub-klub elit seperti Milan, Barcelona atau United. Semua memiliki fasilitas yang luar biasa dalam mengelola pemain ataupun aset-aset klub. Pihak-pihak yang terlibat bukan hanya pekerja yang mampu melakukan pekerjaannya melainkan direkrut dari ahli-ahli profesional nomor satu. Para terapis, ahli kesehatan, ahli kejiwaan sampai ahli motivasi bahu-membahu merawat para pemain agar menampilkan performa yang maksimal. Setiap pemain dimonitor dengan berbagai perangkat pengukuran yang detail untuk melihat kesiapan otot, mental dan pendukung lainnya dalam memulai pertandingan.
4.     Kebijakan transfer dan Persiapan pramusim yang sempurna
Kebijakan transfer dan persiapan menjelang kompetisi dimulai juga menjadi faktor pembeda. Setiap klub memiliki kebijakan transfer yang berbeda, meskipun kebanyakan didasarkan pada pola yang akan digunakan pelatih dalam kompetisi. Dengan pola yang sudah tertata rapi, para manager/pelatih akan membawa anak asuhnya menuju peak performance (penampilan puncak) ketika kompetisi berlangsung.
5.     Fanatisme pemain ke 12
Tim-tim dengan sejarah yang panjang biasanya secara tidak langsung menciptakan penggemar yang fanatik. Masih ingat dengan para hooligan di Inggris atau kelompok-kelompok ultras di Italia ? meskipun pada beberapa hal kelompok ini sering membuat onar, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa semangat yang diletupkan di bangku penonton dapat menjalar ke dada setiap pemain di tengah lapangan.
6.     Dukungan sarana dan prasarana dari federasi sepak bola dan negara
Fasilitas permainan yang nyata seperti stadion, sarana transportasi ataupun yang tidak nyataseperti sistem pengamanan, sistem kompetisi yang rapi dan hierarki permainan yang teratur di tingkat antar klub dan negara juga menjadi pendukung permainan yang penting.
Setiap orang yang terlibat dalam permainan ini baik di dalam maupun di luar lapangan tahu dan sadar akan fungsinya masing-masing. Setiap orang menyadari bahwa keberlangsungan permainan ini tergantung dari seberapa baik setiap orang menjalankan perannya.

Pertandingan dengan skor-skor yang mencolok ini biasanya hanya berlangsung di awal musim. Selanjutnya para klub yang mengikuti beberapa kompetisi (liga, piala negara atau piala di tingkat federasi eropa/Champion dan UEFA Cup) akan terjerembab ke dalam problem klasik yaitu kelelahan dan konsistensi. Namun demikian, kalau para klub dapat melewati hadangan kedua hal itu, maka berarti lonceng kematian kenikmatan kompetisi eropa akan segera datang. Kelak kita akan melihat kompetisi eropa bagaikan Eredivisie di Belanda yang hanya menjadi rebutan antara Ajax, Feyenoord dan PSV.
Tentu saja semua pihak berharap bahwa kompetisi di setiap liga eropa tidak hanya melibatkan klub-klub tertentu. Seperti di Spanyol, dengan race of two horses-nya antara Barca dan Madrid, The big four di Inggris atau derbi de la madonina antara Inter dan Milan di Italia. Pertandingan akan berlangsung semarak dan memancing rasa penasaran kalau banyak klub yang memiliki kemampuan setara dan saling mengalahkan. Apalagi kalau ditambah dengan sedikit bumbu taruhan traktir makan siang keesokan harinya antara sesama teman kantor.
Salam dari Ragunan.

Minggu, 04 September 2011

Pembunuhan Tokoh Politik (Inspirasi dari The Day Of The Jackal)

Kita tidak tahu apakah Nazaruddin sedang berhalusinasi, membumbui cerita ataukah mengabarkan kebenaran ketika di jaringan Skipe menyatakan bahwa ia baru saja lolos dari percobaan pembunuhan. Dalam dunia komunikasi yang serba kompleks seperti sekarang, kebenaran kadangkala hanya diartikan seberapa banyak ia dikonsumsi publik dan terus-menerus disegarkan oleh media. Pembuktian sendiri sudah dianggap sebagai hal terpisah yang dimaknai tidak berhubungan dengan kejadian awal.
Pembunuhan (dalam arti yang nyata), oleh sebagian orang masih dianggap sebagai metode paling efektif untuk menyelesaikan suatu urusan. Bahkan dalam dunia politik, pembunuhan tidak hanya merubah kebijakan politik negara tetapi juga sampai  membelokkan nasib suatu bangsa.
Siapa yang menyangka karir cemerlang seorang tokoh muda seperti John F. Kennnedy harus berakhir di ujung peluru ? Simak pula rentetan pembunuhan yang terjadi pada klan Nehru yang bermula dari Jawaharlal Nehru, anaknya Indira Gandhi hingga cucunya Rajiv Gandhi. Atau pada kasus Yitzhak Rabin dan Benazir Bhutto yang tewas ketika sedang menapak kembali kesuksesan yang pernah mereka raih. Dari khazanah dalam negeri kita juga mengenal beberapa. Pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik serial Mpu Gandring mulai dari Tunggul Ametung, Ken Arok (Sri Rajasa), Anusapati hingga Tohjaya. Pendeknya, sejak zaman dulu, pembunuhan tokoh-tokoh politik bukanlah hal baru.
Terkait dengan hal ini, terdapat sebuah novel menarik yang menggambarkan bagaimana proses dan berlikunya upaya pembunuhan terhadap seorang tokoh politik. Buku itu ditulis oleh Frederick Forsyth dengan judul The Day of the Jackal. Oleh penerbitnya Arrow Books, London, buku ini diklaim sebagai salah satu dari 100 novel kriminal terbaik sepanjang sejarah. Sebagai jurus pemasaran, penerbit novel ini juga menyatakan bahwa novel ini telah mengilhami berbagai peristiwa serupa di berbagai belahan dunia. Yigal Amir, seorang militan ekstrem kanan membunuh Yitzhak Rabin PM Israel pada 1995 kabarnya karena terinspirasi buku ini.
Sebenarnya alur cerita novel ini sangat sederhana. Ia hanya menggambarkan bagaimana seorang pembunuh profesional direkrut oleh suatu kelompok politik untuk membunuh tokoh politik terkemuka yang menjadi Presiden Perancis, Charles De Gaulle. Hal yang luar biasa dan digarap dengan sangat detil oleh Forsyth adalah liku perjalanan sang pembunuh dengan berbagai cara dan modus operandi yang dilakukan sebelum ia melakukan pembunuhan. Ketekunan menganalisis setiap detil cerita menjadikan novel ini (klaim dari penerbit juga) seringkali ditiru dengan sukses oleh kelompok penjahat. Hal-hal kecil seperti pemilihan jenis senjata, cara penyimpanan, pelatihan hingga pemalsuan paspor dijelaskan dengan sangat lengkap dan runtut nyaris tanpa cela.
Novel yang sampul depannya bergambar siluet Jenderal De Gaulle dengan topi militernya (sekilas mirip pak Harto pada film G-30 S) juga menganut pakem lama dalam dunia pustaka. Pola lama itu diantaranya adalah bahwa penjahat selalu selangkah di depan aparat, tidak ada kejahatan yang sempurna serta kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan.
Kelemahan novel ini adalah bangunan pengertian tentang landasan pembunuhan atas dasar politik kurang mendapat sentuhan yang serius. Pembaca hanya diberi petunjuk bahwa kebijakan De Gaulle dalam kasus pemberian kemerdekaan terhadap Aljazair tidak disetujui oleh seluruh kekuatan politik Perancis pada saat itu.
Pembunuhan, masa kini di Indonesia.
(Foto : Kompas/Suhartono)
Pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik di Indonesia relatif sepi atau hampir tidak ada yang menonjol sepanjang orde baru. Pada zaman orde lama, Presiden Soekarno beberapa kali mendapat percobaan pembunuhan meski selalu gagal. Apakah saat ini, 66 tahun setelah merdeka, tradisi pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik telah berakhir ? jawabannya, mungkin belum. Alasannya sederhana, pengamanan terhadap pejabat tinggi atau tokoh-tokoh partai/masyarakat selalu dilakukan secara terbuka melibatkan pengerahan pasukan pengamanan secara menyolok. Pejabat kita masih dicekam ketakutan akan dibunuh atau dihabisi bahkan untuk alasan yang tidak jelas.
Padahal mekanisme pembunuhan jaman sekarang juga telah turut menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Kalau seorang tokoh politik hendak dihabisi karir politiknya, sejarah negara ini menyediakan berbagai modus operandi yang dapat dikenali dengan mudah. Ada yang video asusilanya di obral habis melalui media, ada yang tiba-tiba terjerat kasus untuk sesuatu yang terjadi puluhan tahun sebelumnya, ada yang diberi jabatan tertentu lalu dalam jabatan itu dikecam berramai-ramai, bahkan ada pula yang mendadak mendapat penugasan ke tempat lain yang jauh dari tempatnya beraktifitas.
Berbagai teori konspirasi kemudian tumbuh di tengah masyarakat. Mulai dari Teori pengalihan kasus, Teori pencitraan sampai Teori persiapan pemilihan pejabat publik. Masyarakat tentu saja semakin cerdas memberikan penilaian. Masyarakat tahu siapa saja yang sedang “dibunuh” atau siapa saja yang sedang “dikarbit” untuk menduduki jabatan publik.
Jadi, pembunuhan tidak perlu dilakukan kalau hanya untuk menghentikan karir seseorang. Cukup dimatikan secara perdata, sosial atau bahkan politik maka orang tersebut akan mati dengan sendirinya.